Rusyad Nurdin lahir pada 17 April 1918 di Nagari Baruah Gunung, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Nurdin Datuk Batu Besar, seorang kepala sekolah. Rusyad awalnya menempuh pendidikan HIS Payakumbuh, tetapi menyelesaikan di HIS Padang. Di Padang, mereka tinggal bersama kakak tertua mereka, Husin Sutan Mudo yang saat itu menjadi guru di Sekolah Roomsch Katholie. Setelah lulus dari HIS, Rusyad sempat melanjutkan studi ke MULO di Padang dan Bukittinggi, tetapi tidak selesai.[1]
Pada 1933, Rusyad merantau ke Bandung mengikuti saran kakak iparnya, D.P. Sati Alimin, seorang anggota Minangkabau Raad. Di sana, ia masuk ke MULO yang dikelola oleh perguruan Pendididkan Islam (Pendis) pimpinan Mohammad Natsir. Pada tahun pertamanya sekolah, ia mendengar pidato dari Natsir dalam bahasa Belanda mengenai ideologi pendidikan Islam. Pengalaman tersebut memengaruhi jalan hidup Rusyad Nurdin. Selain Natsir, guru-guru di Pendis yang aktif di antaranya Fachruddin Alkahiri, Indra Tjahja, Tjoa, dan Sutan Muchtar Abidin. Setelah lulus dari MULO pada 1936, ia masuk ke Kweekschool (Sekolah Guru) hingga tamat pada 1938.[1]
Selain belajar di jenjang pendidikan Pendis, Rusyad Nurdin duduk dalam kepengurusan pimpinan pusat organisasi Pemuda Persatuan. Ia juga aktif di Jong Islamieten Bond. Setelah lulus, Rusyad mengabdi sebagai guru HIS di almamaternya. Saat MULO Pendis diubah menjadi Kweekschool, Rusyad sempat mengajar di sana hingga sekolah tersebut ditutup pada 1942 karena pendudukan Jepang. Selama revolusi fisik, Rusyad bergabung dengan Laskar Hizbullah yang dipimpin oleh Sutan Husinsyah.[1]
Di luar kesibukannya mengajar, ia berceramah di masjid, termasuk menjadi khatib shalat Jumat, profesi yang ia jalani hingga akhir hayatnya. Bersama Isa Anshary, ia pernah menerbitkan majalah bulanan Lasykar Islam dan Aliran Islam.[1]
Politik
Sebelum pendudukan Jepang, ia pernah bergabung di Partai Islam Indonesia (PII) pimpinan Soekiman Wirjosandjojo yang berpusat di Yogyakarta. Meski demikian, ia baru benar-benar aktif di politik setelah pengakuan kedaulatan melalui di Partai Masyumi.[1]
Ketika DPRD Jawa Barat terbentuk pada 1950, ia menjadi salah seorang anggota. Setelah pemilu pertama 1955, ia ditinjuk menjadi Ketua DPRD Jawa Barat menggantikan Tubagus Djaja Rachmat yang terpilih menjadi anggota DPR-RI. Namun, tak lama kemudian, ia juga menyusul ke pusat karena terpilih menjadi anggota Konstituante mewakili Masyumi.[1]
Di parlemen, Rusyad menunjukkan sikap anti-komunisnya. Sikap itu membuat ia sempat tidak dapat menghadiri sidang Konstituante lantaran menjadi tahanan Jaksa Agung. Rusyad menjalani status tahanan rumah selama sepuluh hari dan tahanan kota selama sebulan. Selepas bebas, ia kembali ke Konstituante, tetapi tidak lama lantaran lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat Dekrit Presiden Juli 1959.[1]
Pendidikan
Pembubaran Konstituante disusul dengan pembubaran Partai Masyumi. Sejak itu, Rusyad Nurdin memilih fokus di dunia pendidikan. Bersama-sama Soemardja, H.A. Sadali, Zainal Muttaqien, Abdullah Dahlan, dan Aban Sobandi, ia menghidupkan kembali Perguruan Islam Tinggi di Bandung yang sempat terhenti. PIT menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Islam Bandung (Unisba).[1]
Sejak 1960, Rusyad Nurdin memiliki jadwal rutin sebagai khutbah Jumat di Kampus ITB atas permintaan dosen seperti Tb. M. Sulaeman dan Ahmad Sadali. Ibadah berlangsung di Aula Barat (kini Masjid Salman) dengan jemaah terbatas pada awalnya.[1]
Pada 1962, setelah instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar di sekolah-sekolah tinggi diberikan kuliah agama, ITB memulai pelaksanaan kuliah tersebut dengan Rusyad Nurdin sebagai pengajar.[1]
Masa tua
Dalam usia uzur, Rusyad masih aktif berdakwah dengan mengunjungi berbagai pelosok Jawa Barat, malah sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia juga memiliki jadwal mengisi khutbah Jumat di berbagai masjid di Jakarta.[1]