Real Betis Balompié, S.A.D., mengarah ke Betis (diucapkan [ˈβetis]), tim sepak bola profesional yang berbasis di Sevilla. Real Betis Balompié bermain di La Liga dan menempati posisi ke-10 dalam klasifikasi historik liga Spanyol,[1]: sampai tahun 2007 telah mengikuti 45 kali musim kompetisi Divisi I, meraih 3 gelar juara resmi, 1 gelar juara liga, 2 gelar juara Piala Raja Spanyol dan 4 kali tampil sebagai finalis Piala raja.
Tim ini merupakan tim keempat yang menjuarai La Liga (1934/35) dan merupakan tim ketujuh yang pernah meraih dua gelar terpenting di Spanyol: La Liga pada tahun 1935 dan Copa del Rey pada tahun 1977.
Real Betis pernah masuk ke dalam daftar tim sepak bola terbaik dunia yang dikeluarkan oleh IFFHS pada tahun 1995,[2]1997,[3] dan 2005,[4] dan merupakan tim Andalusia kedua yang paling sering masuk ke dalam daftar tersebut.
Pada tahun 1907, sekelompok pelajar akademi militer dan fakultas kedokteran dari Escuela Politécnica, secara resma mendirikan Sevilla Balompié. Cikal bakal tim ini berawal pada tahun 1904 di mana kelompok pelajar ini telah mulai bermain sepak bola secara berkala. Para pemain awal tim ini berasal dari beberapa keluarga antara lain: keluarga Hermosa, Wesolousky, Castillo, Cáscales dan Gutiérrez dan mereka menggunakan kostum berwarna biru-putih. Presiden pertama dari klub adalah Juan del Castillo Ochoa dan kapten kesebelasan pertama –yang juga merangkap sebagai pelatih-, pada tahun 1914, adalah Manuel Ramos Asencio. Pada tahun-tahun awal klub ini mengalami beberapa kali pergantian markas dari calle Alfonso XII (1907-1909), ke Federico de Castro (1910-1911) dan kemudian ke Jerónimo Hernández (1912-1914).
Nama kesebelasan yang dipilih oleh anak-anak muda ini menggambarkan ide mereka yang ingin menentang pengaruh sepak bola Inggris: “Sevilla BALOMPIÉ” (setelah sebelumnya bernama, “España Balompié”). Klub ini terdaftar secara resma sebagai statu organisasi pada tanggal 1 Februari 1909.[5]
Tidak lama setelah itu, “Balompié” berhasil menjadi tim pertama yang menjuarai Piala Sevilla pada tahun 1910, dan merupakan juara bertahan sampai tahun 1913. Tim ini juga berpartisipasi kompetisi Piala Andalusia yang dimulai pada tahun 1910 dan diundang untuk mengikuti Piala Spanyol, namun berhalangan karena keterbatasan dana.[6][7]
Pada tahun 1909 berdiri Betis Foot-ball Club, yang merupakan pecahan dari Sevilla Foot-ball Club.
Pada tahun 1914 tim Balompié kembali meraih gelar Juara Sevilla dan mengubah namanya dari “Sevilla Balompié” menjadi “Real Betis Balompié”, setelah bergabung dengan Betis Foot-ball Club, yang secara resma telah mendapat gelar nama “Real” dari kerajaan Spanyol;[8][9]. Seperti telah disebutkan, Betis Foot-ball Club yang berdiri pada tahun 1909 telah dibubarkan pada tahun 1913 dan dibentuk kembali pada tahun berikutnya oleh keluarga Borbolla, dan mendapat gelar kehormatan dari Raja Spanyol, Alfonso XIII.
Pada tanggal 6 Desember1914, dewan pimpinan Sevilla Balompié, dan dua hari kemudian, dewan pimpinan Betis Foot-ball Club, menyetujui penggabungan kedua klub.
Pada bulan Agustus 1915, Gubernur Sevilla, Severo Núñez, meresmikan status dan perubahan nama klub, dari "Sevilla" Balompié menjadi "Real Betis" Balompié (apunte nº 283 página 36 del Libro de Gobierno del Registro Civil: enmienda y nota al margen).[8][9]
Di luar masalah hukum, dari segi teknis, penggabungan ini juga berarti perubahan bagi para pemain dan gelar-gelar juara yang telah diraih klub Balompié. Lapangan bermain yang semula berada di El Campo de las Tablas Verdes berpindah ke Prado de San Sebastián. Betis FC menyumbangkan gelar “Real” untuk penggabungan ini.
Sampai tahun tiga puluhan, klub baru sebagai hasil penggabungan Sevilla Balompié dan Betis Foot-Ball Club ini, tetap terkenal dengan nama “el Balompié” dengan pendukungnya yang disebut “los balompedistas” . Baru pada periode tahun empat pululan namanya populernya berubah menjadi "Betis" dengan pendukungnya disebut "béticos", hingga saat ini.
Sebagian bekas pendukung Betis Foot-ball Club yang tidak menyetujui penggabungan ini, dengan dimotori oleh Antonio Gutiérrez y Rafael García de la Borbolla, mencoba mendirikan kembali Betis Foot-ball Club pada 1915. Walaupun demikian klub ini tidak bertahan lama dan bubar beberapa tahun kemudian.[10]
Setelah menjadi Juara Sevilla pada 1915, Balompié mengawali masa crisis yang terutama disebabkan oleh kurangnya dana untuk memelihara para pemain pada masa yang disebut sebagai “amateurismo marrón”, profesionalisme terselubung. Belasan pemain hijrah ke klub rival pada masa tersebut.
Pada tahun 1924, berkat kembalinya para pendiri klub ke dalam dewan direksi (Castillo, Wesolousky, Hermosa, Fernández Zúñiga, Cascales,...), prestasi Balompié kembali menanjak dengan menjuarai Piala Spencer pada tahun 1926 dan, setelah berulang kali menjadi runner-up, pada tahun 1928 mampu menjuarai Piala Andalucia.
Akhir tahun 1920-an dibentuklah untuk pertama kalinya Liga nasional sepak bola Spanyol. Pada saat itu, Real Betis Balompié sudah merupakan suatu klub sepak bola yang cukup teroganisir, baik dari segi olahraga, sosial, maupun kelembagaan. Real Betis Balompié memulai petualangannya di liga nasional Spanyol pada tanggal 17 Februari 1929 dengan berpartisipasi di kompetisi Divisi II dengan harapan untuk bermain di Divisi I dikemudian hari.
1930-1947: Periode Kejayaan dan Kejatuhan
Periode 1930-an ditandai dengan berubahnya terminologi populer “Balompié” dan “balompedistas” menjadi “Betis” dan “béticos”. Masa tersebut bagi Betis Balompié, masa terjaya di sepanjang sejarahnya. Dalam waktu kurang dari 10 bulan, Betis telah berhasil menjadi tim pertama dari Spanyol selatan yang mencapai babak final dari PIala Spanyol dan merayakan ulang tahunnya yang ke-25 pada tanggal 3 April 1932, dengan meraih gelar juara Divisi II. Dengan gelar tersebut, Betis Balompié – tanpa gelar “Real” pada masa pemerintahan Republik kedua di Spanyol - menjadi klub Andalusia pertama yang masuk ke Divisi I Spanyol.
Di bawah pimpinan Patrick O´Connell, pada musim kompetisi 1934-1935, Betis Balompié berhasil menjadi Juara Liga Divisi I. Para pemain saat itu di antaranya adalah: Urquiaga, Areso, Aedo, Peral, Gómez, Larrinoa, Adolfo, Lecue, Unamuno, Timimi, Saro, Caballero, Rancel, Valera dan Espinosa. Tim ini merupakan gabungan dari enam pemain dari daerah Basque di utara Spanyol, tiga pemain dari kepulauan Canaria, tiga pemain berasal dari kota Sevilla dan satu pemain berasal dari kota Almeria, namun besar di Barcelona. Tanggal 28 april 1935 merupakan hari paling bersejarah dari tim berkostum hijau putih ini: Betis menaklukan Santander 5-0 dan meraih juara Liga. Hari tersebut jatuh bersamaan dengan hari Sabtu dari pesta tahunan rakyat di Sevilla menyambut musim semi (Feria) di mana kemenangan Betis dirayakan di tenda-tenda Feria secara meriah.
Betis mengalami kejatuhan pada tahun berikutnya. Tahun itu ditandai dengan “dipretelinya tim juara” Betis. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi yang dialami oleh klub Betis yang mengharuskan dijualnya tiga orang pemain, namun juga disebabkan oleh keluarnya empat orang pemain yang dikarenakan pecahnya Perang Saudara di Spanyol wajib maju ke medan perang atau terhalang untuk kembali ke Sevilla. Hanya dua pemain, Peral dan Saro, yang tersisa dari kesebelasan yang 15 bulan sebelumnya berhasil meraih juara Liga Divisi I.
Perang Saudara di Spanyol berdampak negatif untuk Betis. Betis membuat kesalahan dengan terjun berkompetisi pada tahun 1939-1940, ketika banyak klub memilih untuk tidak berkompetisi dengan alasan perang.
Dampak paling parah terjadi pada 28 april 1940, tepat 5 tahun setelah meraih gelar juara liga. Klub hijau putih tersebut turun ke Divisi II. Dua tahun kemudian, Betis berhasil naik kembali ke Divisi I, untuk turun kembali ke Divisi II pada tahun 1943.
Puncak kejatuhan Betis terjadi di Santander pada tanggal 13 April 1947, saat ditaklukkan 1-4 oleh Racing Santander yang memaksa Betis untuk turun ke Divisi III.
1947-1958: Periode "manquepierda"
Sulit untuk mengerti dan memahami Betis tanpa mengetahui apa yang terjadi selama 7 tahun keberadaan klub ini di Divisi III. Karena sejak saat itulah, klub ini, dan juga para pendukungnya, memiliki suatu karakter tersendiri yang hingga saat ini menjadi ciri khas Betis. Ciri khas inilah yang seakan menjadi “jiwa” dari klub Betis yang pada tahun lima puluhan tercermin dalam suatu semboyan yang mengundang simpati di segala penjuru Spanyol: “¡Viva er Beti manque pierda!”.
Penyair Joaquín Romero Murube menggambarkan situasi zaman itu dan semboyan di atas dengan kata-kata berikut: “Klub Betis memiliki kekuatan mental tersendiri yang dibangun lewat kekalahan-kekalahan yang dideritanya... namun jauh dari menyerah terhadap nasib buruk yang menimpa, Betis malah menghadapi setiap pertandingan dengan semangat yang semakin tinggi demi tercapainya kejayaan” [11]
Betis berhasil melampaui periode tersebut atas dukungan para suporternya. Pada tahun 1954, Betis berhasil kembali ke Divisi II. Pada saat itu, Betis sangat terkenal dengan para pendukungnya yang selalu memenuhi stadion di setiap pertandingan di kandang dan dengan “barisan hijau”-nya yang selalu menyertai kesebelasan Betis di setiap pertandingan tandang. Masa-masa krisis ekonomi yang telah dilampaui dan pengalaman pahit bermain di Divisi III semakin menguatkan Betis dan menambah satu lagi ciri khas dari klub tersebut dengan menjadi “satu-satunya klub di Spanyol yang pernah menjadi juara Divisi I, II, dan III”.
Estela kembali ke Divisi II pada tahun 1954, Betis harus menunggu 5 tahun sebelum berhasil menembus Divisi I, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1958.
1958-1976: Periode Terang dan Gelap
Betis mengawali kembali debutnya di Divisi I dengan kemenangan 4-2.
Antara tahun 1959 dan 1964, Betis mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan keberhasilan mencapai peringkat ketiga Liga Divisi I, meraih gelar juara Piala Carranza dan keikutsertaan di Piala Ferias.
Hanya berselang setahun kemudian, Betis kehilangan presidennya Benito Villamarín yang telah memimpinnya selama 10 tahun, kehilangan Andrés Aranda dan turun ke Divisi II. Hal ini menggambarkan bagaimana Betis tidak mampu melepaskan diri dari ciri khas “manque pierda!”. “Eurobetis yang pertama berubah hanya dalam setahun menjadi Currobetis”. Ungkapan ini menggambarkan bagaimana klub ini memiliki karakter yang sama dengan torrero (matador) legendaris Curro Romero yang mampu tampil luar biasa gemilang namun tidak lama berselang bisa tampil gagal total. Naik turunnya Betis hingga tahun 1974 antara Divisi II dan Divisi I, menyebabkan klub ini sempat dijuluki sebagai “kesebelasan lift”.
1977-1992: Piala Raja Spanyol dan Periode 80-an
Pada tanggal 25 Juni 1977 Betis berhasil meraih gelar juara Piala Raja Spanyol di stadion Estadio Vicente Calderón di Madrid setelah memenangi pertandingan final yang diwarnai dengan 21 tendangan penalti. Di bawah pimpinan Rafael Iriondo, Esnaola, Bizcocho, Biosca, Sabaté, Cobo, López, Alabanda, Cardeñosa, García Soriano, Megido, Benítez, Eulate dan Del Pozo, tertulislah suatu bab yang paling mengesankan dalam sejarahnya. Betis, yang pada masa lampau adalah juara Divisi I Spanyol dua tahun sebelum pecahnya perang saudara (1935), berhasil menjadi klub pertama yang meraih gelar juara Spanyol setelah berakhirnya masa keditaktoran (Franco) dengan merebut Piala Raja pada tahun (1977) tersebut. Dengan gelar tersebut, Betis seakan menutup lembaran sejarah masa diktatur di negara Spanyol yang kebetulan juga merupakan masa suram bagi klub tersebut. Pada tahun yang sama, Betis berhasil mencapai babak perempat final Piala Eropa sebelum akhirnya ditaklukkan Milán. Seakan setia dengan tradisinya, pada akhir musim kompetisi tahun tersebut, Betis kembali turun ke Divisi II Liga Spanyol.
Kembalinya Betis ke Divisi I pada tahun 1979, ditandai dengan beberapa keberhasilan dan dengan partisipasi di kompetisi Eropa: klasifikasi Piala UEFA tahun 1982 dan 1984, perayaan pesta tahun platinum (75 tahun) pada tahun 1982 dan keberhasilan mencapai posisi kedua Divisi I pada tahun 1986. Masa tersebut merupakan salah satu masa emas bagi klub hijau putih dan para pendukungnya, ditambah dengan terpilihnya stadion Betis sebagai stadion yang dipakai untuk pertandingan antara Spanyol melawan Malta pada piala dunia di Spanyol (1982).
Namun, antara 1986 hingga 1992, Betis kembali mengalami masa krisis ekonomi dan kembali menjadi “kesebelasan lift” yang naik turun antara Divisi I dan II hingga turunnya ke Divisi II pada tahun 1991. Masa tersebut merupakan masa tersulit bagi Betis, ditambah lagi dengan kewajiban untuk menjadi perseroan terbatas di bidang olah (sociedad anónima deportiva) yang dikenakan pada semua klub oleh penyelenggara liga. Oleh “program penyehatan” Liga, Real Betis Balompié – pada saat itu bermain di Divisi II – diwajibkan untuk memiliki modal sebesar hampir 1.200 juta pesetas; dua kali lipat jumlah modal yang wajib dimiliki oleh setiap klub Divisi I dan II.
Dalam waktu sekitar 3 bulan, para “beticos” berhasil mengumpulkan dana sebesar 400 juta pesetas. Walau jumlah ini mencapai sekitar 60% hingga 100% dari total modal yang wajib dimiliki klub-klub lainnya, jumlah dana tersebut belumlah cukup untuk mencapai target yang diwajibkan. Selain dana sebesar 400 juta pesetas tersebut, terhimpun juga dana yang terdiri dari 100 saham. Meskipun demikian masih diperlukan dana sekitar 680 juta untuk mencapai target yang diwajibkan. Pada tanggal 30 Juni, wakil presiden untuk urusan ekonomi Manuel Ruiz de Lopera menjadi penjamin atas jumlah sisa modal yang dibutuhkan dan menjadi pemegang saham terbesar dari perseroan.[12]
1992-2007: Tiga Final, Satu Gelar dan Liga Champions
Pada 15 tahun terakhir, terutama pada periode tahun 1995 hingga 2005, sebanyak tiga kali Betis berhasil menempati peringkat empat besar dari kompetisi Divisi I, dan menjadi satu-satunya klub dari Andalusia yang melakukan hal tersebut sejak 1970. Betis bermain di tiga final: dua Piala Raja Spanyol, dan satu Piala Super Spanyol, memenangkan satu gelar diantaranya, satu kali berpartisipasi di Liga Champions dan empat kali berpartisipasi di Piala UEFA.
Naiknya kembali Betis ke Divisi I pada tahun 1994 langsung disusul dengan keberhasilan Betis menempati peringkat ketiga di Divisi tersebut pada musim kompetisi berikutnya. Pada musim kompetisi 1996-1997 Betis kembali menempati posisi empat besar dan berhasil mencapai final Piala Raja Spanyol sebelum ditundukkan FC Barcelona pada pertandingan final yang diwarnai dengan perpanjangan waktu.
Setelah final, Betis sempat mengalami masa ketidakstabilan dan turun ke Divisi II pada tahun 2000. Kembali ke Divisi I pada tahun berikutnya, Betis langsung menempati posisi 4 besar, menembus Piala UEFA dan berhak bermain di babak awal Liga Champions.
Walaupun demikian, barulah pada tahun 2005 Betis mencapai tahun kejayaan yang sesungguhnya: hanya dalam waktu 34 hari, klub hijau putih berhasil memenangkan pertandingan derbinya (atas Sevilla FC), mencapai babak final Piala Raja Spanyol, menempatkan diri sebagai peringkat ke-4 Divisi I lewat pertandingan seri melawan Real Mallorca, dan memenangkan Piala Raja Spanyol di stadion Vicente Calderón, Madrid.
Dua bulan kemudian Betis menjadi klub Andalusia pertama yang bermain di Piala Eropa dengan format Liga Champions, setelah menaklukan Monaco yang merupakan runner-up Liga Champions sebelumnya di babak penyisihan. Di penyisihan grup, Betis bersaing dengan juara liga Champions sebelumnya, Liverpool, dan dengan Chelsea yang merupakan juara liga Inggris.
Sejarah seperti berulang bagi Betis: tahun emas selalu disusul langsung dengan tahun suram. Betis nyaris terdegradasi ke Divisi II di musim kompetisi 2005-2006. Akhir musim kompetisi tersebut ditandai dengan perpecahan antara Presiden klub dan pelatih, dan krisis kelembagaan yang merupakan puncak dari masalah internal klub sejak tahun 80an. Musim kompetisi 2006-2007 merupakan musim kompetisi yang buruk, Betis berhasil menghindari degradasi ke Divisi II dengan memenangi pertandingan pada hari terakhir kompetisi melawan Racing Santander (2-0). Tiga pelatih yang berbeda menangani Betis pada musim kompetisi ini: Javier Irureta di awal kompetisi, Luis Fernandez yang mengambil alih tim di tengah kompetisi, dan Paco Chaparro (pelatih Real Betis B) yang akhirnya mengambil alih di pertandingan akhir yang menentukan.
Pada tahun 2007, Real Betis Balompié merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Perayaan di antaranya ditandai dengan peresmian monumen bagi para pendukung Betis pada tanggal 12 September2007. Perayaan ke 100 tahun Betis tidak disertai dengan prestasi yang memuaskan dari klub. Pelatih Hector Cuper yang menangani Betis di awal musim kompetisi 2007-2008, hanya mampu meraih 4 angka dari 11 pertandingan pertamanya. Paco Chaparro mengambil alih tampuk kepelatihan dari tangan Cuper dan berhasil menempatkan Betis di peringkat 13 di akhir musim kompetisi.
2009-2011: Dua Musim Kompetisi di Divisi II
Meski Real Betis mengeluarkan dana yang banyak untuk melakukan pembelian pemain-pemain seperti yang tertulis diatas tadi dengan total kurang lebih 25 juta poundsterling, akan tetap hasil yang diraih tidak sesuai dengan harapan dan harus menerima kenyataan, terdegradasi ke Divisi II pada akhir musim kompetisi 2008/2009 setelah hanya bisa bermain imbang 1-1 melawan Real Valladolid di pertandingan akhir. Masa pendukung Real Betis tidak tinggal diam dan menerima kenyataan pahit degradasi. Demonstrasi besar-besaran pendukung Betis terjadi di beberapa kota Spanyol (Sevilla, Madrid, Barcelona, Benidorm, Lepe, Montilla, Valdepeñas dan Marbella) pada tanggal 15 Juni 2009 untuk menyatakan ketidakpuasan atas situasi klub dan menuntut turunnya Lopera sebagai pemilik saham terbesar. Demonstrasi ini melahirkan Yayasan Heliópolis[5], yang bertujuan menyatukan seluruh pendukung betis yang menginginkan perubahan institusional di klub.
Demonstrasi besar ternyata tidak mendapat tanggapan yang berarti dari manajemen klub.
Pada saat yang hampir bersamaan, hakim Mercedes Alaya melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran-pelanggaran bisnis oleh Lopera. Pada tanggal 7 Juli 2010, hanya seminggu sebelum proses pengadilan dimulai, Lopera menjual 94% sahamnya yang bernilai 16 juta euro (51% dari keseluruhan saham Real Betis)
ke Bitton Sport yang dimiliki oleh Luis Oliver. Oliver merupakan pengusaha Spanyol yang pernah membawa dua klub sepak bola Spanyol, CF Cartagena dan CD Xeres ke ambang kebangkrutan. Sebelum proses penjualan saham tersebut disahkan, hakim Alaya membekukan seluruh saham Real Betis yang dimiliki Lopera.
Menghadapi pembekuan saham tersebut, Luis Oliver langsung membeli saham Betis lainnya (dari pemilik selain Lopera) dan berhasil terpilih menjadi presiden Real Betis berkat dukungan kaki tangan Lopera. Hakim Alaya menyatakan pemilihan tersebut sebagai tidak sah, dan
menunjuk Rafael Gordillo, bekas pemain legendaris Real Betis dan Real Madrid untuk mengambil alih kepemimpinan klub untuk menjamin terbentuknya kepengurusan klub yang terlepas sepenuhnya dari pengaruh Lopera.
Di bawah kepemimpinan Gordillo, Real Betis berhasil menjuarai kompetisi divisi II pada akhir musim 2010/2011, di bawah pelatih José Mel Pérez atau yang dikenal sebagai Pepe Mel. Pada 29 Juni 2011, Miguel Guillén Vallejo terpilih sebagai presiden Betis ke 42 menggantikan kepemimpinan sementara Gordillo.
Real Betis merupakan tim sepak bola Andalusia dengan jumlah cabang fans-klub terbanyak (362 fans klub).[16]
Jumlah total fans clubs yang terdaftar secara resmi 340,
Dari segi jumlah pendukungnya, Real Betis menempati urutan ke-6 (3,3%) di antara tim-tim sepak bola Spanyol menurut angket CIS bulan mei 2007, di belakang Real Madrid (32,8%), Barcelona (25,7%), Valencia (5,3%), Athletic (5,1%) dan Atlético de Madrid (4,3%).[17]
Derbi Sevilla
Derbi Sevilla kini menjadi pertandingan tahunan di La Liga sejak Sevilla FC dan Real Betis sama-sama berada di satu divisi, dimana Real Betis menghadapi rival bersejarahnya Sevilla FC, yang juga berasal dari kota Sevilla. Derbi ini dikenal sebagai salah-satu derbi yang paling rusuh di daratan Spanyol. Sampai dengan musim 2006/07, derbi ini telah dimainkan sebanyak 77 kali, dimana Sevilla FC menang 35 kali, Real Betis menang 26 kali, dan seri 16 kali.
^"Plantilla" (dalam bahasa Spanyol). Real Betis. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 June 2017. Diakses tanggal 25 October 2018.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)