Rawa SageleRawa Sagele adalah sebuah tradisi masyarakat Desa Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam Bahasa Daerah Bima, Rawa berarti Nyanyian, Sagele berarti Alat yang dipergunakan untuk menanam. Rawa Sagele merupakan warisan Nenek Moyang orang Maria yang hingga saat ini sudah berumur sekitar 500 tahun. Rawa Sagele biasa dinyanyikan saat dimulainya bercocok tanam oleh masyarakat setempat. Kegiatan bercocok tanam menggunakan sagele masyarakat Wawo, dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari kaum perempuan yang mencapai 10 sampai 20 orang atau lebih, sambil berbalas pantun dengan cara bersenandung. Kegiatan tersebut semata untuk menghibur para pekerja pada saat proses menanam.[1] Munculnya Rawa Sagele di Kecamatan Wawo, berawal dari kebiasaan turun temurun bercocok tanam dengan cara bergotongroyong. Sebelum kegiatan menamam, kaum laki-laki akan mempersiapkan dan membersihkan lahan, lalu menghubungi sanak keluarga, kerabat yang terdekat maupun yang jauh untuk dilakukan “Pina“, yakni undangan untuk membantu kegiatan menanam. Kegiatan menanam dengan Rawa Sagele pun dilakukan dengan bersuka ria. Menurut cerita secara turun temurun dari Nenek Moyang warga Desa Maria, bahwa orang Maria khusunya, pada awalnya berasal dari salah satu daerah di Pulau Sumatra yaitu dari daerah Minang (Minangkabau). Karena peperangan antara suku dengan suku lain, mereka pindah ke pulau Sulawesi (Sulawesi Selatan). Di Sulawesi mereka bermukim di salah satu daerah yang disebut kampung Marioriwawo. Di Sulawesi juga berperang lagi dengan suku asli Sulawesi. Dengan terpaksa pula pindah dan mencari tempat baru, yaitu di Dana Mbojo ini yaitu di daerah puncak ujung timur pulau Sumbawa ini, dengan tetap memberi nama kampungnya yaitu kampung Maria Wawo. Dari asal nama Mariariwawo. Jadi Rawa Sagele memang sejak mereka berada di daerah Minang sudah ada. Terbukti sekali sebagai saksi nyata. Bahwa cara melipat Sambolo Songke masyarakat Minang dengan kita di Bima (Maria) hampir sama. Orang Minang memasang Sambolo Songke pada bagian depan. Sedangkan kita meletakkan pada bagian samping kepala kita yaitu pada bagian atas telinga. Untuk mengiringi Rawa Sagele menggunakan alat musik Silu (serunai) yang dimainkan oleh seorang laki-laki. Seni Rawa Sagele ini akan menarik sekali pada saat melihat jatuhnya tangan kanan yang menancapkan tembilang (Sagele) ditanah oleh wanita-wanta yang sedang menanam. Kesamaan gerak tangan yang memasukkan bibit pada dilubang tanah sangat serasi sekali dengan nada Rawa Sagele tersebut.[2] Lagu Sagele terdiri dari tiga bagian yakni bagian pertama dimainkan pada waktu pagi untuk memulai menanan, bagian kedua dimainkan pada waktu tengah hari sebagai penyemangat para pekerja dan bagian ketiga pada waktu menjelang sore sebagai pertanda pekerjaan hari ini akan segera diakhiri.[3] LirikGele badoca Lirina pana liro Kone disarei todu kai sarau Jagaku palon pahumu piri pela Boha si ba liro pahumu me’e taluru Gele arugele Lino na tolo lino ntau kantolo Lino na moti lino ntau balata Lino na ade tiwara dou ma eda Gele arugele Ura bura aka main onto doro Mada ma dodo dasaina tolo Jaga ku mbeca tembe do’o ra cepe Pai pai ra tana’o ra nefa Campo konci rasabua ma faka Mafaka kabou ma mpasa Terjemahan: Gele arugele Gele badoca Saat terik matahari Biar di halaman tetap memakai topi Untuk menjaga wajah dari panas Kalau terkena matahari maka kulit terkelupas Gele arugele Sunyinya sawa ada pembatasnya Sunyinya laut ada latarnya Sunyinya hati tidak ada yang tahu Gele arugele Gerimis datang dari gunung Kami berharap jangan sampai basah Karena sarung baru saja diganti Gele arugele Mari belajar supaya tidak lupa Menggabungkan ikatan untuk sebuah mufakat Mufakat baru untuk rencana yang baru Lagu tersebut biasa dinyanyikan pada waktu tengah hari.[4] Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia