Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama Abdul Jalil dan nama kecil San Ali (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, Syekh Jabarantas).
Syaikh Siti Jenar (menurut Drs. K.H. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd.) beliau memiliki nama asli San Ali (Bangsawan Malaka) dan setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan pada saat berdakwah keliling nusa Jawa dari pesisir utara jawa hingga pedalaman inilah beliau mendapat beberapa julukan Syaikh Siti Jenar, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Lemah Brit, Syaikh Jabarantas dan lainnya
Tujuan utama Syeikh Siti Jenar
Syeikh Siti Jenar mengajak manusia untuk selalu tumbuh berkembang seperti pohon sidratul muntaha, yang selalu aktif, progresif dan positif. Membangkitkan pribadi “insun sejati” melalui tauhid al-wujud, atau yang kenal dengan judul buku ini adalah “manunggaling kawula-gusti”. Gerakan yang dilakukan Syeikh Siti Jenar bersumbu pada pembebasan kultural, yang meliputi pembebasan kemanusiaan dari kungkungan struktur politik yang berdalih agama, sekaligus pembebasan dari pasungan keagamaan yang formalistik. Jadi, Syeikh Siti Jenar bukan hanya seorang penyebar agama Islam awal di Indonesia, namun sekaligus seorang suci yang sangat dihormati berbagai kalangan sampai saat ini, karena memang ajarannya yang aplikatif secara lahir dan batin juga mampu membawa rasa kebebasan bagi para penganutnya. Unsur kebebasan di bawah naungan kemanunggalan inilah mutiara yang termahal dalam hidup.[2]
Manunggaling Kawula Ian Gusti
Para pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan dianggap sebagai bercampurnya Dzat Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan sifat-sifat Tuhan yang memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan proses fana (hancurnya sifat-sifat buruk pada manusia) [3]
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan sifat-sifat Tuhan dikala manusia sudah melakukan proses fana (Manunggaling Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam roh Tuhan.
Achmad Chodjim dalam bukunya “Syekh Siti Jenar” menjelaskan ketika Demak masih sibuk dalam penaklukan. Ajaran Syekh Siti Jenar lebih bisa diterima oleh raja-raja Jawa yang telah memeluk agama Islam.
“Diceritakan dalam Babad Jaka Tingkir bahwa ada 40 orang tokoh yang berguru kepada Syekh Siti Jenar”, ungkap Chodjim dikutip Kamis (3/6/2021).[4] Mereka antara lain adalah:
Ki Ageng Banyubiru,
Ki Ageng Getas Aji,
Ki Ageng Balak,
Ki Ageng Butuh,
Ki Ageng Ngerang,
Ki Ageng Jati,
Ki Ageng Watalunan,
Ki Ageng Pringapus,
Kiai Ageng Nganggas,
Ki Ageng Ngamba,
Ki Ageng Babadan,
Ki Ageng Wanantara,
Ki Ageng Majasta,
Ki Ageng Baya,
Ki Ageng Baki,
Ki Ageng Tembalang,
Ki Ageng Karnggayam.
Ki Ageng Ngargaloka,
Ki Ageng Kayupuring,
Ki Ageng Selandaka,
Ki Ageng Purwasada,
Kebo Kangan,
Kiai Ageng Kebonalas,
Ki Ageng Waturante,
Kiai Ageng Taruntum,
Kiai Ageng Pataruman,
Kiai Ageng Purna,
Kiai Ageng Gugulu.
Kiai Ageng Gunung Pragota,
Kiai Ageng Ngadibaya,
Kiai Ageng Karungrungan,
Kiai Jatingalih,
Kiai Ageng Wandadi,
Kiai Ageng Tambangan,
kiai Ageng Ngampuhan,
Kiai Ageng Bangsri,
Kiai Ageng Pengging,
Ki Ageng Tingkir,
Masa Pendidikan
Naskah Negara Kretabhumi Sargha III pupuh 77, menyebutkan bahwa Abdul Jalil sewaktu dewasa pergi menuntut ilmu ke Persia dan tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Ia berguru kepada seorang yang menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan agama. Menurut cerita tutur di kalangan penganut tarekat Akmaliyah, orang itu bernama Abdul Malik Al-Baghdadi dan kelak menjadi mertua Syaikh Lemah Abang. Rupanya, selama menuntut ilmu di Baghdad, Abdul Jalil lebih berminat mendalami ilmu tasawuf sehingga ia sangat mendalam penguasaannya atas ilmu tersebut. Bahkan karena kesukaannya pada ilmu tasawuf tersebut, ia berguru pada Syaikh Ahmad yang menganut aliran Tarekat Akmaliyah yang jalur silsilahnya sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra. Silsilah Tarekat Akmaliyah yang diperoleh Syaikh Datuk Abdul Jalil dari Syaikh Ahmad Baghdady. Selain menganut Tarekat Akmaliyah, Syikh Lemah Abang juga menganut tarekat Syathariyah yang diperoleh dari saudara sepupunya, yang juga guru ruhaninya, Syaikh Datuk Kahfi, menurut Atlas walisongo, ordo Akmiyah terkait dengan cabang "noorbakshi hamadani" mohammad noorbakshi terkait dengan kubrawi sufi syeikh mir sayid Ali Hamadani kubrawi [5], Semua walisongo berdakwah di bawah bimbingan mir sayid Ali Hamadani kubrawi dari asia tengah ke indonesia dalam waktu yang berbeda, berbeda garis dan tahapan yang berjenar. seykh jamal din hussain kubra murid Ali hamadani kubrawi, syeikh ibrahim samarqandi (uzbekistan) murid ishaq khatlani beliau menerima khalafat kubrawi dari sayid Ali Hamadani shafi kubrawi , setelah sunan Ampel menerima kubrawi taraket dari syeikh Ahmad jamidul kubra II , [6]dia adalah murid Abdullah barazasabadi, abdullah barazasabadi dan mohmad noorbaksh Akmiyah tarekat adalah murid ishaq khatlani (tajikistan), Ishaq khatlani adalah murid sayid Ali hamadani kubrawi, setelah ishaq khatlani mohmad noorbaksh Akmaliya disengketakan ke Abdullah barzhisabadi setelah perselisihan ini terlihat di walisong dan syeikh jenar,
Pergumulan menguasai berbagai disiplin keilmuan di Baghdad yang dewasa itu merupakan pusat peradaban, telah menjadikan pandangan-pandangan Syaikh Datuk Jalil berbeda dari kelaziman. Ilmu tasawuf yang berdiri tegak di atas fenomena pengetahuan intuitif yang bersumber dari kalbu, oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil diformulasikan sedemikian rupa dengan ilmu filsafat dan manthiq (logika). Sehingga, ajarannya menimbulkan ketidaklaziman dalam pengembangan ilmu tasawuf - yang merupakan pengetahuan intuitif - yang bersifat rahasia, yang serta merta berubah menjadi ilmu, yang terbuka untuk dijadikan bahasan filosofis. Sebab, Syaikh Datuk Abdul Jalil beranggapan bahwa pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat suprarasional tidak harus dijabarkan dengan sistem isyarat (kode) yang bersifat mistis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara masuk akal. Sebaliknya, pengetahuan gnostik harus bisa dijelaskan secara rasional yang bisa diterima akal.[7]
Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah
Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah ("Sekelumit Hikmah tentang Wali Ke Sepuluh") ditulis oleh KH. Abil Fadhol Senori, Tuban. Dalam versi ini, Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, keturunan dari Syekh Maulana Ishak. Ia dihukum mati bukan karena ajarannya, melainkan lebih karena alasan politik. Sunan Jepara dimakamkan di Jepara, di samping makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat.[8]
Syekh Siti Jenar yang merupakan wali kontroversial ternyata tidak wafat dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat Islam selama ini. "Saya meneliti sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno yang tidak ada di perpustakaan, ternyata persepsi tentang Syekh Siti Jenar seperti selama ini tidak benar," kata Agus Sunyoto selaku penulis buku di Surabaya.[9].
Silsilah Raden Abdul Jalil menurut Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah:[8]
^Sunyoto, Agus (2003). Suluk Abdul Jalil: perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar. Pustaka sastra (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. ISBN978-979-9492-75-3.
^ abHusni Hidayat el-Jufri (16 Juni 2009). "Syeik Siti Jenar: Wali Kesepuluh". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-05. Diakses tanggal 4 Oktober 2015.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)