Pulau Tiga dihuni oleh tiga suku utama, yaitu suku Bajo, suku Bugis, dan Suku Buton. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bajo walaupun mayoritas penduduk sebenarnya adalah suku Bugis. Seluruh penduduk di Pulau Tiga menganut agama Islam yang taat.
Mata pencaharian utama penduduk Pulau Tiga adalah nelayan. Memiliki kapal ('bodi' dalam bahasa Bajo) merupakan sebuah keharusan bagi seorang nelayan. Beberapa pemuda bekerja di pertambangan di daerah Bungku atau memiliki pekerjaan di tempat lain.
Kehidupan sebagai keluarga nelayan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Bapak-bapak terbiasa memancing pada siang atau malam hari, sementara ibu-ibu memasak atau melakukan arisan sembari menunggu para suami pulang membawa tangkapan. Hasil tangkapan berupa ikan dan makhluk laut lainnya biasa dijual di Kendari, Tinobu, dan daerah lainnya. Namun ada juga jenis ikan yang dijual dengan harga tinggi ke luar negeri (Hongkong, China, dll), seperti ikan Sunu.
Beberapa perempuan yang tergabung dalam organisasi PKK memiliki usaha berupa kerupuk rumput laut dan abon ikan yang kemudian dipasarkan di Kendari dengan turut dibantu oleh Dinas Perdagangan Morowali.
Di desa Pulau Tiga hanya terdapat satu bangunan sekolah yang digunakan untuk pendidikan Sekolah Dasar dari kelas 1 hingga kelas 6. Ruang kelas yang berjumlah terbatas menyebabkan murid kelas 1 harus bergantian dengan murid kelas 2 dalam menggunakan ruangan. Kurangnya tenaga pengajar mengakibatkan banyak murid yang belum mampu membaca dan menulis walaupun sudah berada di tingkat kelas yang lebih tinggi. Murid-murid pun tidak mendapatkan buku mata pelajaran individu sehingga mereka hanya mengandalkan buku catatan.
Setelah lulus dari sekolah dasar, mereka akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di pulau lain. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan hingga Sekolah Menengah Atas, bahkan perguruan tinggi. Mayoritas dari pemuda di Pulau Tiga lebih memilih untuk menjadi nelayan, dibandingkan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Budaya dan adat di Pulau Tiga terbilang masih sangat kuat. Hal tersebut tampak ketika berlangsungnya pernikahan, aqiqah, sunatan, lebaran, dan acara-acara lainnya. Adat yang dilangsungkan merupakan budaya akulturasi suku bajo dan suku bugis. Di pulau ini juga masih terdapat pemimpin adat yang memiliki ilmu dalam menyembuhkan penyakit atau yang biasa memimpin ketika akan dilangsungkan ritual adat