Pulau ini dimasukkan ke dalam bagian Kepulauan Nightingale yang juga melibatkan pulau-pulau yang berseberangan dengan pulau ini seperti Pulau Stoltenhoff dan Pulau Middle. Ketiga pulau ini tidak berpenghuni, tetapi menjadi tempat yang dikunjungi dengan tujuan menambah ilmu pengetahuan serta mengadakan penelitian di sana.
Geografi
Pulau Nightingale memiliki dua puncak pada ujung utaranya, ada yang berketinggian hingga 337 meter dan yang satu lagi berketinggian hingga 293 meter. Pulau ini dikelilingi oleh jurang, tetapi hampir tidak setinggi jurang di Pulau Inaccessible yang kira-kira memiliki kedalaman 16 km serta berketinggian hingga 300 meter. Jalan masuk ke pulau ini memang lebih mudah daripada Pulau Inaccessible. Pulau ini berupa gunung berapi yang tersusun atas endapan abu mulai dari tahap awal hingga tahap yang berbahaya dan pernah keluar aliran lahar kasar yang menyembur ke mana-mana sejak dulu di pulau ini. Terjadinya letusan gunung yang terakhir telah berlalu selama lebih dari 39.000 tahun lalu.
Iklim
Pulau Nightingale termasuk ke dalam Iklim Mediterania atau Cfb menurut Klasifikasi Iklim Köppen. Meski memiliki cuaca yang berawan dan musim dingin yang basah, kadang-kadang di pulau ini juga menyerupai iklim lautanCfb dengan suhu rata-ratanya berkisar antara 21 °C (70 °F) di musim panas dan berkisar antara 11 °C (52 °F) di musim dingin. Pulau ini memiliki rata-rata curah hujan hingga 1,200 mm (0,05 in) dan terkena sinar matahari hingga 2.100 jam di setiap tahun. Jarang terjadi suhu yang mencapai 0 °C (32 °F) dan suhu yang melebihi 32 °C (90 °F), suhu rata-rata seperti itu hanya berlangsung selama tiga hingga empat hari di tiap tahun. Di bulan Oktober dan November, biasanya kabut pernah terjadi. Angin kencang pun pernah terjadi selama 15 hari hingga 20 hari di setiap tahun yang kebanyakan berlangsung di bulan Juni dan bulan September. Salju di pulau ini sangat jarang terjadi dan tercatat pernah ada selama 8 menit saja dalam 29 tahun yaitu dari tahun 1961 sampai 1990. Tumpukan salju terbesar di pulau ini pernah terjadi sejak bulan September 1986 yang memanjang hingga 5 cm (2,0 in).
Berikut ini paparan mengenai keadaan rata-rata dari 1961 hingga 1990:[1]
Barangkali Pulau Nightingale pernah dilihat bersama Pulau Inaccessible oleh seseorang bernama Tristão da Cunha, tetapi tidak pernah ada catatan yang diketahui mengenai penjelajahannya itu.
Semula, pulau ini dinamai "Gebrooken Eyland" (bahasa Indonesia: Pulau Rusak) oleh Belanda yang berlayar dengan kapal bernama Nachtglas dengan dipimpin oleh Jan Jacobszoon sejak Januari 1656, mereka semua tidak menemukan tempat yang aman agar kapalnya berlabuh dan tidak bisa melakukan pendaratan untuk pertama kalinya hingga pada tahun 1696 (kemungkinan besar dilakukan oleh Willem de Vlamingh pada bulan Agustus 1696). Kapten asal Prancis yaitu D'Etchevery juga melakukan kunjungan ke pulau ini sejak bulan September 1697, tercatat pertama kali mengenai dua pulau kecil yang berseberangan dengan Pulau Nightingale yang kini bernama Middle dan Stoltenhoff.[2] Kemudian, pulau ini pun telah mulai diberi nama oleh seorang kapten asal Inggris yang bernama Gamaliel Nightingale yang menjelajahi pulau ini sejak tahun 1760.[1]
Di abad ke-17 dan ke-18, pemerintah Belanda, Prancis beserta Perusahaan Hindia Timur Britania telah membuat pertimbangan dalam mengambil kepemilikan atas Pulau Nightingale, Tristan da Cunha dan juga Inaccessible, tetapi mereka semua menolak melakukan itu karena kurangnya tempat pendaratan di ketiga pulau tersebut.
Konon, terdapat barang rampasan oleh bajak laut di Pulau Nightingale. Kapten John Thomas yang melakukan pelayaran ke Samudera Atlantik bagian selatan diduga pernah meninggalkan harta kekayaannya yaitu koin bernama peso de ocho dan koin doblón di dalam sebuah gua di Pulau Nightingale supaya diamankan, tapi tidak ada berita tentang ditemukannya kembali harta kekayaan tersebut (jika harta tersebut memang ada di sana) yang dibenarkan.
Pada tahun 1811, seorang perompak asal AS bernama Jonathan Lambert meletakkan hak kepemilikannya atas Tristan da Cunha dengan pulau-pulau terdekat lainnya yang bersebarangan, ia hendak menamakan Pulau Inaccessible dengan "Pulau Pinsard" dan Pulau Nightingale dengan nama "Pulau Lavel". Klaim tersebut berakhir dengan keberhasilan, tetapi Jonathan Lambert meninggal dunia setelah kurang daripada setahun berikutnya dalam haknya atas ketiga pulau itu.
Pada tahun 1961, gunung berapi perisai setinggi 2.060 meter di Tristan da Cunha telah meletus, kejadian buruk tersebut membuat para penghuni pulau itu terpaksa mengungsi ke Pulau Nightingale lalu mereka semua dipindahkan ke Inggris dan akhirnya kembali lagi ke Tristan da Cunha pada tahun 1963.
Letusan Gunung Tahun 2004
Gempa di pulau ini pernah berlangsung hingga enam jam pada tanggal 29 Juli 2004 lalu disusul oleh ditampakkannya batu apung fonolitik. Kejadian tersebut bermula dari lerengan bawah laut dari pulau ini.[3]
Tumpahan Minyak Tahun 2011
Menjelang fajar menyingsing pada 16 Maret 2011, sebuah kapal pengiriman kargo yang terdaftar asal Malta bernama MS Oliva terdampar di titik pemintal pada pantai barat laut.[4]
Referensi
^Geography of the British Overseas Territories. Foreign and Commonwealth Office. 1995.