Propaganda hitamPropaganda hitam adalah jenis propaganda yang sengaja dibuat agar terlihat seperti berasal dari pihak yang sebenarnya ingin dijatuhkan atau dijelekkan. Ini berbeda dengan istilah propaganda abu-abu, yang tidak menyebutkan siapa pembuatnya, dan propaganda putih, yang secara jelas menyatakan sumbernya. Biasanya, propaganda hitam digunakan untuk menyerang lawan dengan menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan.[1] Ciri utama propaganda hitam adalah orang-orang yang mendengarnya tidak sadar kalau mereka sedang dipengaruhi. Informasi ini dibuat seolah-olah berasal dari pihak lain untuk menutupi sumber aslinya. Jenis propaganda ini sering terkait dengan operasi rahasia. Biasanya, sumber asli ditutupi atau dibuat seakan-akan datang dari pihak berwenang palsu yang menyebarkan kebohongan atau penipuan. Karena itu, propaganda hitam sering disebut "kebohongan besar" atau big lie yang menggunakan berbagai trik untuk menipu. Keberhasilannya bergantung pada seberapa mudah orang percaya dengan sumber informasi tersebut. Kalau pembuat propaganda tidak paham siapa yang ditargetkan, pesannya bisa disalahartikan, dicurigai, atau bahkan gagal.[2] Di sejumlah negara, pemerintah menggunakan propaganda hitam karena beberapa alasan. Dengan menyembunyikan keterlibatannya, mereka lebih mudah meyakinkan orang-orang yang awalnya tidak percaya. Selain itu, propaganda hitam juga berguna untuk menutupi peran pemerintah dalam kegiatan yang bisa merusak hubungan diplomasi dengan negara di luar wilayah mereka. Propaganda Pertama di Eropa Berbentuk SelebaranPenyebaran selebaran propaganda pertama kali terjadi pada 3 September 1939, ketika Perang Dunia I baru dimulai. Selebaran ini dijatuhkan di wilayah pendudukan Eropa dan juga dimanfaatkan oleh Angkatan Udara Britania Raya (Royal Air Force atau RAF) untuk mengidentifikasi target pengeboman. Seiring berjalannya perang, banyak selebaran yang mencantumkan asal produksinya, seperti “Selebaran ini Dijatuhkan Oleh Pesawat Amerika” atau “Dibawa untuk Anda Oleh Teman-teman Anda di RAF.” Cara ini termasuk dalam grey propaganda atau propaganda abu-abu. Awalnya, selebaran disebarkan dari pesawat, namun kemudian digunakan peluru artileri untuk menyebarkannya.[3] Pada tahun 1941, Pemerintah Inggris membentuk Political Warfare Executive (PWE) untuk mengembangkan black propaganda atau propaganda hitam. PWE bekerja sama dengan BBC untuk menyiarkan propaganda ke Eropa dan merancang strategi informasi dan disinformasi saat pendaratan D-Day pada Juni 1944. Jutaan materi berupa selebaran, koran, stiker, perangko, dan poster diproduksi dalam berbagai bahasa seperti Prancis, Jerman, Denmark, Norwegia, dan Ceko, lalu disebarkan ke wilayah pendudukan Nazi. Jurnalis Skotlandia, Peter Ritchie Calder, yang menjadi Direktur Perencanaan dan Operasi PWE pada tahun 1942, memiliki koleksi besar propaganda hitam yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Skotlandia.[3] Contoh Kasus Propaganda di FilipinaDalam pemilihan umum Filipina, Ferdinand Bongbong Marcos Jr. memanfaatkan media sosial, terutama TikTok, untuk membentuk citra positif mengenai sejarah keluarganya. Bongbong Marcos adalah putra dari Ferdinand Marcos, yang pernah memerintah Filipina selama beberapa dekade. Melalui konten media sosial, terutama yang ditujukan kepada generasi muda, Bongbong menyebarkan narasi yang membelokkan fakta-fakta sejarah terkait pemerintahan pada zaman ayahnya berkuasa. Banyak anak muda Filipina pada masa ini tidak mengalami masa pemerintahan Ferdinand Marcos, sehingga narasi yang disebarkan melalui TikTok lebih mudah diterima. Melalui strategi grey propaganda dan white propaganda, pembelokan narasi yang dibuat memunculkan kebingungan antara fakta sejarah dan versi yang diinginkan oleh tim kampanye Bongbong Marcos.[4] Propaganda di Malaysia Pada Pemilu 2022 dan Ketegangan RasialPada masa pemilihan umum di Malaysia tahun 2022, media sosial, khususnya TikTok, digunakan secara luas untuk menyebarkan konten yang mengandung unsur kekerasan dan rasisme. Konten ini meningkatkan ketegangan rasial di masyarakat. Propaganda ini dirancang untuk membangkitkan emosi, menciptakan polarisasi, dan membangun persepsi negatif terhadap kelompok etnis tertentu. Banyak video yang beredar menampilkan narasi yang menyudutkan kelompok ras tertentu, sehingga memicu ketakutan dan perpecahan di kalangan pemilih. Dalam kasus ini, taktik black propaganda digunakan untuk menyebarkan informasi palsu dan manipulatif tanpa mengungkapkan sumber aslinya.[4] Referensi
|