Prasasti Tlu Ron
Prasasti Tlu Ron dirilis 30 Maret 900 M pada masa Rakai Watukura Dyah Balitung, yang bertakhta pada 898-910 M, berisi tentang kebijakan raja berkaitan dengan proyek pembangunan bendungan untuk mengairi tegal milik Bhatara agar menjadi sawah. Hasil panen hendak digunakan untuk biaya pemeliharaan bangunan suci. Maksud sebutan Bhatara dalam Prasasti Tlu Ron adalah yang diperdewakan pada bangunan suci. Nama Rakai Padan Pu Manohari yang mendapatkan mandat membangun bendungan terpahat dalam prasasti. Pada Prasasti Tlu Ron, tercatat pula bahwa pembangunan itu menemui ganjalan yang diduga diakibatkan oleh bencana alam letusan Merapi atau gempa. Kemudian, proyek itu dikerjakan oleh Rakai Padan Pu Manohari yang juga tak dapat menuntaskannya. Bahkan, ketika dikerjakan oleh Rakai Hino Pu Aku, pembangunan saluran tersebut belum juga sempurna. Akhirnya air pun mengalir ke tanah tegalan di Kalikalihan secara baik dan sempurna setelah proyek diselesaikan oleh Makudur San Relam, melanjutkan upaya San Lumah di Tanar, seorang pembangun pertama (yang disemayamkan di Tanar), dalam kurun waktu satu tahun lamanya. Setelah raja melakukan perjalanan di Negeri Tiga Daun, ia melihat bahwa pembangunan sebelumnya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Situasi bangunan terlihat kurang terurus, sehingga raja merasa perlu melaksanakan proyek baru. Demi proyek pembangunan yang terakhir ini, Raja Balitung menitahkan penggunakan dana abadi milik bangunan suci berupa emas sebanyak 10 suwarna (satu suwarna kira-kira setara dengan 38,601 gram). Dana tersebut sekaligus juga dialokasikan untuk pemberian pasak atau semacam hadiah kepada orang berpangkat yang menghadiri upacara agar mendukung keberadaan pengelolaan bangunan itu. Raja juga memperbolehkan masyarakat sekitar memanfaatkan sistem pengairan itu untuk kebutuhan mereka, agar rakyat merasa ikut memiliki dan tidak merusak saluran air dan sawah milik Bhatara. Referensi |