Politik pembiaran

Politik pembiaran (bahasa Belanda: Onthoudingspolitiek) adalah pembatasan dalam pemerintahan Hindia Belanda di Jawa dan Ambon. Di Daerah Luar, tidak ada pemerintahan yang ditetapkan, melainkan membatasi hubungan dengan kerajaan lokal. Politik lain akan memerlukan banyak usaha finansial dan militer. Britania Raya dan Prancis menjalankan politik serupa pada tingkatan tertentu.

Politik pembiaran dimulai sekitar tahun 1830. Antara lain karena tekanan penjajahan modern di negeri lain pada abad ke-19, setelah tahun 1870 muncul yang disebut sebagai 'paradoks kolonial' berkat ekspansi kolonial.[1] Ekspansi tersebut dapat berlangsung dengan kekerasan yang sama, seperti selama 30 tahun Perang Aceh yang dapat mengendalikan Kesultanan Aceh.

Pembiaran

Setelah bangkrutnya VOC pada tahun 1798, daerah jajahan berada di bawah kendali Republik Batavia. Melalui komisi yang didirikan Staatsbewind, ditetapkan tidak ada sejumlah besar kelompok prajurit yang dapat mendukung kekuasaan Belanda di Asia dan sulit untuk ada hingga seterusnya, meskipun mereka sendiri hanya berhenti pada rasa suka pribumi Hindia, yang diperoleh melalui kepercayaan dan kesederhanaan yang baik pada tahun 1802. Selama Perang Diponegoro (1825-1830), tak hanya 15.000 serdadu KNIL dan sekitar 200.000 di pinggiran Jawa, yang hal itu juga menyebabkan lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan di wilayah dependensi. Perang tersebut berlangsung begitu lama, sebagai akibat dari banyaknya prajurit yang berada di Sulawesi Selatan selama Perang Bone II.

GubJend. Johannes van den Bosch tak hanya menggagas tanam paksa untuk menghasilkan saldo untung pada tahun 1830, tetapi juga belajar dari pengalaman Bone dan tidak menginginkan keadaan tersebut terulang di masa depan ketika tentara begitu terpisah-pisah. Juga terbukti bahwa daerah luar, kecuali kepulauan rempah-rempah Banda dan pulau timah Bangka, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Pemerintahan tetap dibatasi di Jawa, Kepulauan Maluku, Bangka, Timor, dan sejumlah daerah di pantai Sumatra dan Celebes (kini Sulawesi). Menteri Jajahan James Loudon menulis Saya memandang setiap perluasan kekuasaan kita di kepulauan tersebut sebagai awal dari kejatuhan kita pada tahun 1861.

Paradoks kolonial

Karena tekanan dunia internasional, dan juga karena ambisi pribadi pejabat pemerintahan, diluncurkanlah banyak ekspedisi militer. Karena takut bahwa Britania Raya akan melebarkan sayap dari Australia, pada tahun 1828, Fort Du Bus didirikan di Teluk Triton, Papua. Karena banyak penyakit dan serangan musuh, benteng itu ditinggalkan lagi pada tahun 1835. Sekali lagi karena tekanan Britania, pada tahun 1839, agen Nederlandsche Handel-Maatschappij dibuka di Bali. Hal ini juga tidak berhasil, tetapi antara tahun 1846-1849, Perang Bali I meletus untuk menundukkan pulau tersebut.

Saat James Brooke menobatkan dirinya sebagai Rajah Putih Sarawak di Borneo, Menteri Jajahan Jean Chrétien Baud menandai seluruh pulau di Hindia-Belanda ke dalam peta. Kepentingan Belanda saat itu belum tegak, tetapi hal itulah yang masih terjadi. Hal ini mesti terjadi secara seksama dan sebagai akibatnya dapat terjadi kekacauan kecil maupun meletusnya sengketa. Sehingga, Gubernemen Makassar menjadi Dependensi Celebes pada tahun 1847 dan tanda dengan singa Belanda ditempatkan di Papua.

Akan tetapi, Jean Chretien Baud memutuskan untuk memindahkan semua pos di utara Palembang. Politik tersebut dipertahankan hingga Perjanjian Siak pada tahun tahun 1858. Pada tahun 1862, pemerintahan Belanda didirikan di Kesultanan Deli dan hingga perbatasan Aceh. Akhirnya, Britania Raya memutuskan tempat itu lebih baik di tangan Belanda ketimbang negara yang lebih kuat seperti Amerika Serikat maupun Prusia (kini Jerman). Dengan pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, Selat Malaka menjadi jalur penting ke Singapura yang diwarnai dengan aksi perompakan dari Aceh. Dengan Perjanjian Sumatra II, pada tahun 1871, Britania Raya membiarkan Aceh tetap merdeka. 2 tahun kemudian, Perang Aceh meletus. Dengan hal itu, politik pembiaran tidak dilepaskan sepenuhnya. Hal itu juga tidak memungkinkan karena perang tersebut menjaring semua kapasitas militer.

Akhir dari politik pembiaran terjadi selama Perang Lombok pada tahun 1894 dan pengangkatan Joannes Benedictus van Heutsz sebagai Gubernur Aceh. Karena tekanan penjajahan modern di seluruh dunia Barat, sejak saat itulah, pemerintahan Hindia Belanda mulai meluas ke seluruh Nusantara.

Catatan

  1. ^ " Fasseur C. 1979. Een koloniale paradox: de Nederlandse expansie in de Indonesische archipel in het midden van de 19e eeuw (1830-1870) dalam: Tijdschrift voor Geschiedenis.

Rujukan