Pierre CharronPierre Charron adalah filsuf dan sekaligus teolog dari Prancis pada abad 16.[1] Dia dilahirkan pada tahun 1541 dan meninggal pada tahun 1603.[1] Pada awalnya Charron belajar bidang hukum, tetapi merasa tidak puas dengan profesi ini, kemudian dia bating setir ke dunia teologi dan akhirnya menjadi seorang imam.[1] Dia adalah orang yang menjalani hidup dengan pengasingan dan kedamaian, itulah tempramen yang dia mainkan di dalam konflik.[1] Barangkali sebagai hasil dari perilaku ini, seorang manusia dapat memiliki karakter ganda.[1] Penggunaan karakter ketika bertemu dengan situasi di sekitar dan menggunakan bantuan instrumen lain untuk menghadapinya, atau yang kedua adalah menjadi manusia yang asing, dan tidak terpengaruh oleh dunia sekitarnya.[1] Di sini, dia membela Gereja dan orang-orang beriman di dalamnya, dan tidak menjadi skeptis untuk diketahui oleh dunia.[1] Inilah isi dari kebijaksanaannya yang terdapat dalam karyanya berjudul De la Sagesse pada tahun 1601.[1] Setiap manusia harus mengetahui dirinya sendiri, kemudian hidup menurut alam, dan mengikuti kebajikan dari Kardinal dalam keadilan,m kekuasaan dan kesederhanaan.[1] Sifat manusia pada dasarnya sombong, lemah, tidak konsisten dan perlu dikasihani.[1] Manusia sama dengan binatang, hanya berbeda tingkatannya, dan dia harus mengusahakan secara khusus hukuman dari perbedaan itu.[1] Hanya "kehendak" yang mampu membuatnya tetap dalam kebebasan dari jiwa dan penghakiman.[1] Hal yang dia maksudkan adalah jiwa keilahian yang ada pada manusia, yang memberikannya nilai kebenaran.[1] Sumbangan Chorran cukup berharga demi perdamaian di masyarakat.[2] Masyarakat yang sering berkonflik dalam hal agama dan dogma membuat Chorran mencari jalan lain, yaitu filsafat.[2] Dengan sumbangan filsafat Stoa yang memikirkan kebahagiaan dalam jiwa, maka secara psikologi, teori Chorran dapat diterima dan ternyata cukup memperbaiki keadaan.[2] Perang di masyarakat setidaknya melihat pentingnya perdamaian.[2] Ajaran gereja menjadi berkorelasi dengan praktik yang seharusnya.[2] Wajah ganda yang dimainkan gereja maupun masyarakat haruslah di atas dengan nilai-nilai kemanusiaan.[2] Referensi
|