Phoa Tjoen HoatPhoa Tjoen Hoat (Hanzi: 潘春發, 1883–1931), yang juga menggunakan nama Th. H. Phoa Sr., dulu adalah seorang jurnalis, penerjemah, dan editor koran berbahasa Melayu berlatar belakang Tionghoa yang aktif di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. BiografiPhoa Tjoen Hoat lahir di Buitenzorg, Hindia Belanda pada tahun 1883.[1][2] Ayah Phoa adalah seorang Kapitan Cina di Buitzenzorg, sementara saudaranya, Phoa Tjoen Hoay, kemudian juga menjadi jurnalis.[1] Hanya ada sedikit informasi mengenai kehidupan awal dan pendidikan Phoa, walaupun ia jelas mahir berbahasa Belanda dan kemungkinan juga mahir berbahasa Prancis. Pada tahun 1905, Phoa menjadi editor di Perniagaan, sebuah koran konservatif berbahasa Melayu yang dimiliki oleh etnis Tionghoa pada saat itu.[1][3] Pada tahun 1906, ia juga menjadi editor di koran lain asal Batavia, yakni Bintang Batavia.[4] Ia lalu terlibat di organisasi jurnalis, dan pada tahun 1906, ia menjadi sekretaris dari Serikat Jurnalis Melayu (bahasa Belanda: Maleische Journalistenkring) yang didirikan oleh F.D.J. Pangemanann bersama sekelompok editor berlatar belakang Eropa, Indo, dan Tionghoa.[4][5][6] Phoa juga menjadi editor di Warna Warta di Semarang sekitar tahun 1907. Ia sepertinya telah pindah dari Batavia ke Semarang pada saat itu. Tidak lama kemudian, ia dibawa ke pengadilan atas tuntutan Persdelict, karena telah mencetak sesuatu yang dianggap memfitnah Oei Moh Sing, seorang tokoh Tionghoa lokal.[7][8] Sekitar tahun 1907, Phoa juga meluncurkan majalah Insulinde di Semarang yang terbit sebanyak tiga kali per bulan.[1][9] Namun, majalah tersebut tidak terlalu laku dan akhirnya ditutup pada awal tahun 1908.[10] Setelah itu, ia meluncurkan koran lain di Semarang dengan nama Bintang Pagi[11] Ide Phoa cukup konservatif. Ia mendukung Sun Yat-sen dan menulis konten yang melawan Sarekat Islam, gerakan anti-kolonial massal di Jawa. Pada saat yang hampir sama, ia juga menulis konten untuk mengutuk dinasti Qing di koran Belanda dan mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Tiongkok yang menjadi korban dari dinasti tersebut.[12][13] Pada tahun 1908, Phoa mengajukan petisi kepada pemerintah Hindia Belanda agar memberinya status hukum sebagai seorang Eropa, bukannya sebagai seorang "Timur Asing", status yang lumrah bagi etnis Tionghoa di Hindia Belanda pada saat itu.[14] Pada tahun 1914, Phoa dipromosikan menjadi kepala editor di Warna Warta.[1] Mulai tahun 1916 hingga 1918, Phoa menjadi kepala editor di Sinar Soematra, sebuah koran di Padang. Ia mungkin memegang jabatan tersebut sambil tetap tinggal di Jawa, karena saat itu ia juga masih bekerja di Warna Warta.[1][2] Sekitar tahun 1920, Phoa terpilih menjadi anggota DPRD di Semarang. Pada tahun 1922, Phoa menjadi kepala editor di Kong Po.[15] Phoa kemudian pindah ke Bandung dan juga masuk ke kancah politik di sana. Pada tahun 1923, Phoa mengundurkan diri dari kancah politik di Bandung dan meluncurkan buku terakhirnya.[16] Obituari Phoa menulis bahwa ia menderita sakit berkepanjangan hingga akhirnya meninggal.[2] Sejarawan Claudine Salmon menyatakan bahwa Phoa meninggal di Gresik, Jawa Timur pada tahun 1928.[1] Tetapi Phoa sepertinya meninggal di Jember pada tanggal 31 Oktober 1931.[2][17] Publikasi terkenal
Referensi
|