Petrus Yi Hong-yong adalah salah satu martir Katolik Korea. Di antara tujuh puluh sembilan martir Korea pada penganiayaan tahun 1839, yang pertama kali ditangkap dan juga menghabiskan waktu paling lama di penjara adalah kakak-beradik Santa Agatha Yi So-sa dan Santo Petrus Yi Ho-yong. Petrus Yi Ho-yong juga menjadi orang pertama dari 103 orang kudus Korea mengalami kemartiran.
Kehidupan
Petrus Yi lahir di Inch’on pada tahun 1803, dan dia pindah ke Seoul setelah kematian ayahnya. Di sana, keluarga Petrus Yi hidup dalam kondisi yang sangat miskin, namun damai. Petrus Yi mulai mengunjungi Paulus Yi Kyong-on dan belajar dari dia. Yi Kyong-on adalah keturunan generasi kelima belas dari T’ae-jong, raja ketiga dinasti Choson, dan dia adalah adik dari Karolus Yi Kyong-do dan Lutgardis Yi, yang keduanya menjadi martir pada tahun 1801. Paulus Yi Kyeong-on melanjutkan untuk mengajari Yi Ho-yong sampai dia ditangkap pada tahun 1827. Dengan dibawa ke Chonju, Paulus Yi meninggal di penjara setelah menjalani siksaan yang paling kejam. Kemartirannya mengajarkan arti iman yang nyata bagi Petrus Yi Ho-yong.
Pada bulan Januari 1834, Pastor Pasifikus Yu Pang-che dari Tiongkok memasuki Korea, imam pertama setelah tiga puluh tiga tahun. Umat Katolik sangat bersukacita dan kata-kata tidak dapat menggambarkan sukacita mereka. Untuk pertama kali mereka menerima pengakuan dosa dan komuni. Pastor Yu melihat kualitas kesalehan, kelembutan dan keterusterangan dari Petrus Yi Ho-yong, dan menjadikan dia sebagai seorang katekis. Suatu hari Petrus Yi bermimpi tentang dia lulus ujian negara. Pada mimpi itu, dia mendengar lagu yang indah dan seseorang berkata kepada dia bahwa pembantu raja mencintai dia. Petrus Yi berpikir bahwa mimpi ini adalah isyarat tentang kemartirannya. Kenyataannya, suatu hari pada bulan Februari 1832, ketika dia kembali ke rumah untuk pekerjaannya, sekelompok penculik menunggu dan menangkap dia. Petrus Yi menghabiskan waktu empat tahun di penjara, menderita karena berbagai siksaan dan kesulitan. Dia sendiri menggambarkannya dalam sepucuk surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan beserta jawabannya.
“Mengapa Anda percaya akan agama Katolik yang menentang untuk menghormati orang tua dan dilarang oleh pemerintah?”
“Itu tidak benar. Setiap orang yang percaya akan iman Katolik harus menghormati raja dan orang tua mereka dan juga mengasihi yang lain. Bagaimana mungkin Anda mengatakan bahwa agama yang luar biasa ini menentang untuk menghormati orang tua?”
“Anda tidak memberikan persembahkan kepada orang tua Anda yang sudah meninggal. Oleh karena itu, Anda lebih buruk daripada seekor binatang, dan layak untuk mati. Akankah Anda menyangkal agama Anda atau Anda mati?”
“Sangat bodoh sekali untuk berpikir bahwa orang yang sudah meninggal dapat memakan makanan persembahan. Seseorang yang mati bagi raja bukanlah seorang pengkhianat. Allah adalah Raja dari para raja yang menciptakan langit dan bumi, manusia, malaikat dan seluruh ciptaan di alam semesta. … Bagaimana Anda bisa menghukum seseorang yang lebih baik mati daripada menyangkal Bapa dari seluruh umat manusia?”
Hakim memukuli dia sampai tulang kakinya terpelintir dan keluar dari tempatnya, dan hakim meminta supaya dia menyangkal Allah. Namun Petrus Yi berkata, “Saya tidak akan pernah menyangkal Allah.” Hakim menyuruh orang-orangnya untuk memukul pinggang dan kakinya, dan dia berkata kepadanya: “Jika kamu berteriak, saya akan menganggapnya sebagai tanda bahwa kamu mennyangkal agamamu.” Kemudian Petrus Yi tidak mengeluarkan suara apapun.
Dalam “Catatan Harian Penganiayaan 1839” dikatakan, “Seperti seekor domba yang digiring ke pembantaian, dia tidak membuka mulutnya, bahkan dalam kesakitan karena pukulan yang kejam.”
Petrus Yi berkata bahwa dia akan dengan senang hati untuk mati karena penyakit di penjara, jika itu sudah kehendak Allah. Selama empat tahun di penjara, dia melanjutkan doa dan puasa, dan menunjukkan teladan kebaikan dan kesederhanaan yang bahkan dipuji oleh sipir penjara dan sesama tahanan. Seorang tahanan yang sudah tua, yang berbagi ruang sel yang sama dengannya, dia sangat terkesan olehnya dan dia menyesali masa lalunya dan menerima arahan dari Petrus untuk dibaptis. Walaupun dia dan kakak perempuannya Agatha Yi berada dalam sel yang berbeda, sipir penjara kadang-kadang mengatur mereka untuk bertemu, dan dalam kesempatan itu mereka saling menguatkan satu sama lain dan berjanj untuk mati sebagai martir pada hari yang sama. Namun perlahan-lahan Petrus Yi menyerah karena dia sudah lemah dan penyakit, sehingga dia meninggal lebih dahulu.
Pastor Antoine Daveluy yang tiba di Korea pada tahun 1845 dan kemudian menjadi uskup kelima di Korea, dan Uskup Felix Ridel yang dipenjarakan di Korea pada tahun 1877, keduanya menuliskan tentang kehidupan penjara.
Umat Katolik banyak yang ditahan dalam sebuah sel sehingga mereka tidak dapat berbaring. Mereka semua sepakat bahwa hidup di penjara lebih parah daripada disiksa. Karena bau busuk dari darah, nanah dan anyaman jerami busuk, mereka akan segera jatuh sakit, dan beberapa orang meninggal dalam dua atau tiga hari. Namun, yang terburuk adalah kelaparan dan kehausan. Tak sedikit mereka yang menahan siksaan akhirnya menyerah karena kelaparan. Dengan dua genggam beras sehari, terkadang mereka menyobek anyaman jerami dan mengunyahnya, ataupun memakan kutu yang sedang merangkak di sel penjara. (Uskup Daveluy)
Saya melihat suatu kejadian ketika mereka menderita karena kelaparan dan berjalan sempoyongan. Mereka terlihat seperti kerangka berjalan daripada manusia. Penampilan mereka berubah karena penderitaan, kelaparan, gatal dan luka-luka, mereka sangat mengerikan untuk dilihat. (Uskup Ridel)
“Saya ingin mati oleh pedang, namun saya tidak menginginkannya jika itu bukan kehendak Allah”, itulah yang dikatakan Petrus, dan tak lama kemudian dia meninggal. Pada saat itu tanggal 25 November 1838 dan dia masih berusia 36 tahun. Oleh karena itu, dia menjadi martir pertama dalam 103 santo-santa martir dari Korea. Petrus Yi Ho-yong dibeatifikasi pada tanggal 5 Juli 1925 dan dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus (Santo) Yohanes Paulus II.
Referensi