Perubahan iklim diprediksi dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati secara subtansial; menyebabkan perubahan fenologi, komposisi genetik, dan sebaran spesies; serta mempengaruhi interaksi antarspesies dan berbagai proses di ekosistem.[1][2] Efek yang disebabkan oleh perubahan iklim juga dapat mempengaruhi distribusi, kemampuan penyebaran, kemelimpahan serta dampak yang dihasilkan oleh spesies invasif.[3] Beberapa penelitian menunjukan bahwa efek yang dihasilkan dapat menguntungkan spesies invasif,[4][5][6] mendorong penyebaran spesies pendatang ke wilayah baru, serta mendukung proses pemapanan (establishment) spesies tersebut.[7] Di sisi lain, pada kasus-kasus tertentu perubahan iklim juga dapat menyebabkan penurunan populasi organisme invasif dan membuka peluang restorasi ekosistem yang terdampak.[8]
Perubahan iklim juga dapat mengubah definisi dari spesies invasif itu sendiri.[7] Beberapa spesies pendatang yang sebelumnya dianggap invasif dapat menghilang dari suatu wilayah akibat efek dari perubahan iklim.[8] Di sisi lain, spesies asli di suatu wilayah dapat berkembang biak tak terkendali dan menjadi spesies invasif akibat pergeseran komponen lingkungan yang difasilitasi oleh perubahan iklim.[7]
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Spesies Invasif
Perubahan iklim antropogenik atau sering juga disebut sebagai pemanasan global adalah perubahan kondisi klimatik yang disebabkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer global.[9] Salah satu bagian utama dari perubahan iklim adalah peningkatan suhu global dan kadar CO2 di atmosfer, yang ditengarai dapat mempengaruhi sebagian besar ekosistem di bumi.[10]
Spesies invasif merupakan organisme pendatang (non-native species) yang tidak berasal dari suatu lokasi spesifik dan memiliki kecenderungan untuk berkembang biak dan menyebar luas di lokasi tersebut, sehingga dapat memberikan kerusakan terhadap lingkungan, ekonomi dan kesehatan.[11] Sebagian besar spesies tersebut mencapai lokasi baru akibat aktivitas manusia, baik secara langsung (introduksi) maupun tidak langsung (migrasi terbantukan).[12] Tidak semua spesies pendatang dapat disebut invasif; suatu organisme dapat disebut invasif jika dapat beradaptasi di lokasi baru, cepat berkembangbiak, serta mengakibatkan kerusakan pada spesies-spesies asli (native species) dan ekonomi di wilayah tersebut.[13]
Perubahan kondisi klimatik akibat perubahan iklim mendorong terjadinya perubahan keberlangsungan komponen-komponen hayati di dalam ekosistem.[7] Hal ini turut mempengaruhi sifat-sifat populasi organisme di wilayah yang terdampak; termasuk pada organisme invasif di wilayah tersebut baik secara positif maupun negatif.
Dampak Positif Terhadap Spesies Invasif
Peningkatan Fenomena Penyebaran Bibit Spesies Pendatang
Perubahan iklim dapat mengubah pola transportasi manusia yang dapat mengakibatkan meningkatnya fenomena penyebaran bibit spesies pendatang di lokasi baru. Peningkatan ini dapat berupa akses baru terhadap kawasan yang sebelumnya tidak tersentuh, peningkatan tekanan penyebaran (propagule pressure) yang mendorong terjadinya pemapanan (establishment), serta peningkatan survavibilitas penyebar (propagule) selama perjalanan.[7] Salah satu contoh dari hal tersebut adalah pencairan es di jalur barat laut akibat perubahan iklim, yang menyebabkan tersedianya jalur tersebut sebagai rute perdagangan yang lebih cepat dan efektif.[14] Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan bertahan hidup bibit organisme pendatang di lambung dan air pemberat kapal selama perjalanan.[15]
Percepatan Perkembangan Spesies Pendatang Menjadi Spesies Invasif
Sebagian besar spesies pendatang mengalami fase perlambatan (lag) dalam proses invasi. Pada fase tersebut spesies pendatang cenderung memiliki populasi yang sangat rendah dan lambat berkembang biak, sebelum akhirnya meledak dan dikategorikan sebagai spesies invasif.[16] Salah satu penyebab fase tersebut adalah Efek Allee: sebuah fenomena ketika organisme dengan populasi berkerapatan rendah tidak dapat berkembang biak atau menggunakan sumberdaya secara efisien.[17] Pergeseran kondisi lingkungan akibat perubahan iklim dapat mengurangi efek tersebut, menyebabkan peningkatan densitas populasi pada spesies pendatang dan mendorong perkembangan spesies tersebut menjadi spesies invasif.[16]
Eliminasi Faktor Pembatas Persebaran Spesies Invasif
Pada spesies pendatang dengan populasi yang telah mapan; perubahan iklim dapat mengeliminasi faktor pembatas persebaran spesies invasif dengan mengubah tekanan lingkungan seperti suhu, kelembapan tanah, frekuensi kebakaran hutan, dan salinitas air laut.[7][18][19][20] Hal ini menyebabkan spesies tersebut mampu memperluas daerah persebarannya di ketinggian atau garis lintang yang lebih tinggi.[21] Di kawasan beriklim sedang, peningkatan suhu menyebabkan kekhawatiran penyebaran populasi spesies-spesies invasif di ketinggian atau garis lintang tertentu oleh suhu dingin yang ekstrem atau tutupan es.[16][22][23] Contoh umum dari kasus ini adalah penyebaran 2 spesies ascidian eksotik di pantai timur Amerika, Steyla clava dan Molgula manbattensis ke arah utara selama 20-50 tahun terakhir akibat perubahan suhu air laut di wilayah tersebut.[24]
Dampak Negatif Terhadap Spesies Invasif
Pada beberapa kasus, perubahan iklim dapat mengurangi kemampuan bersaing spesies invasif di beberapa kawasan.[25] Perubahan kondisi klimatik yang kurang menguntunkan bagi spesies invasif dapat mengurangi populasi organisme tersebut di wilayah yang terdampak, serta membuka peluang restorasi spesies asli di kawasan tersebut.[8] Sebuah model memprediksi berkurangnya risiko invasi dari tiga jenis tumbuhan eksotik di bagian barat Amerika Serikat (Bromus tectorum, Centaurea biebersteinii dan Euphorbia esula) akibat perubahan iklim, sehingga membuka peluang bagi spesies tanaman asli untuk tumbuh lahan yang ditinggalkan. Dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mengetahui besaran peluang tersebut; dikarenakan adanya kemungkinan spesies invasif lain yang tidak terdampak negatif menguasai lahan tersebut terlebih dahulu, atau spesies asli di kawasan tersebut juga terpengaruh dampak negatif dari perubahan iklim.[25]
Dampak Kombinasi Perubahan Iklim dan Spesies Invasif terhadap Ekosistem dan Manusia
Perubahan iklim dapat memperparah dampak invasi spesies pendatang di terhadap ekosistem dan manusia di berbagai lokasi.[21] Pada banyak kasus, fenomena ini saling memperkuat satu sama lain dan meningkatkan tingkat ancaman kerusakan yang dihasilkan.
Ledakan Hama Serangga
Serangga merupakan salah satu kelompok taksa invasif paling parah di dunia. Diperkirakan kerugian yang dihasilkan oleh spesies serangga invasif mencapai US$70 miliar setiap tahun.[26] Ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam penyebaran hama serangga invasif, seluruhnya bersumber pada kenaikan suhu udara.[27] Perubahan suhu udara dapat mengeliminasi batas-batas persebaran hama serangga invasif di berbagai lokasi, mengurangi kompetisi dengan spesies asli, serta mengurangi tekanan predator alami spesies tersebut. Contoh nyata dari fenomena ini terjadi pada spesies cacing akar Diabrotica virgifera virgifera yang menjadi hama jagung di Amerika Utara dan Eropa serta mengakibatkan kerugian ekonomi di kedua benua tersebut. Perubahan fenologi dan pemanasan global menggeser garis batas atas persebaran spesies ini, sehingga memungkinkan organisme tersebut menyebar ke kawasan utara yang lebih dingin.[27]
Penyebaran Patogen
Penelitian terhadap patogen yang dipengaruhi spesies invasif dan perubahan iklim cenderung minim, namun para penliti sepakat bahwa kedua hal tersebut dapat memberikan dampak terhadap penyebaran penyakit.[28] Peningkatan kelembapan udara akibat perubahan iklim menjadi salah satu faktor penting penyebaran patogen, khususnya pada patogen tanaman. Sebagian besar penelitian yang dilakukan pada fenomena ini berfokus pada patogen yang hidup di atas tanah; namun fenomena ini juga diketahui terjadi pada patogen tanah seperti Pythium cinmomi.[29]
Penanganan Spesies Invasif yang Terpengaruh Perubahan Iklim
Perubahan iklim dapat mempengaruhi efektivitas penanganan beberapa spesies invasif klasik yang selama ini dilakukan. Sebagai contoh, penanganan mekanik dengan pemanenan rutin selama ini dianggap cukup untuk mengendalikan tanaman air invasif eceng gondok dan apu-apu di kawasan beriklim sedang. Kedua tanaman ini berasal dari iklim tropis dan tidak mampu bertahan hidup di musim dingin, sehingga populasinya cenderung mudah untuk dikendalikan.[22][23] Efek pemanasan global yang menghambat pembentukan es di badan air memungkinkan kedua jenis tanaman ini bertahan hidup di musim dingin dan meningkatkan kemampuan bertahan hidup setiap generasi dari kedua tanaman tersebut. Jika hal ini terus terjadi, metode pengendalian populasi yang lebih efektif mungkin diperlukan.[7]
Efektivitas penanganan spesies invasif melalui agen biolokontrol juga dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Perubahan faktor-faktor lingkungan diketahui mampu mempengaruhi interaksi interspesifik antara agen biokontrol dan spesies invasif spesifik yang ditargetkan.[30][31] Sebagai contoh, penanganan tanaman tamariska di Colorado dengan menggunakan kumbang Diorhabda carinulata dikhawatirkan dapat menjadi kurang efektif akibat peningkatan suhu udara di kawasan tersebut.[32] Di sisi lain, perubahan iklim justru meningkatkan efektivitas agen biokontrol di beberapa lokasi, seperti pada kumbang Agasicles bygrophila yang dapat memberantas tanaman air Alternanthera philoxeroides secara lebih efektif di suhu yang lebih panas.[33]
Dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk memahami bagaimana suatu spesies invasif berkembang dalam pergeseran kondisi klimatik, serta spesies mana yang dapat bersifat invasif di masa depan.[7] Pengawasan yang lebih ketat serta koordinasi antar-wilayah yang lebih efisien juga dibutuhkan untuk menangani spesies invasif yang terdampak perubahan iklim.[34]
^Thuiller, Wilfried; Richardson, David M.; Midgley, Guy F. Ecological Studies. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 197–211. ISBN9783540773757.