Persaingan Hamas-Fatah adalah suatu fenomena politik berupa persaingan antara dua kekuatan politik Palestina, yaitu Hamas dan Fatah. Persaingan atau rivalitas antara kedua partai poltik di Palestina itu bukan hanya persaingan politik kekuasaan semata, tetapi juga persaingan ideologi, visi, dan cara perjuangan, meskipun keduanya masih tetap memiliki satu persamaan, yaitu kemerdekaan Palestina.[1]
Latar Belakang
Ketika Hamas memenangkan pemilu di Palestina pada 2006, Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan boikot terhadap perekonomian Palestina. Boikot yang dilakukan oleh Amerika Serikat itu membuat pemerintahan Palestina dibawah Hamas mengalamu banyak kesulitan ekonomi, seperti tidak mampu membayar gaji pegawai negeri dan juga aparat kepolisian Palestina. Krisis ekonomi di Palestina itulah yang kemudian mendorong bahwa Hamas harus memperbaiki hubungan dengan Fatah.[2]
Kebuntuan Politik dan Boikot Ekonomi
Keinginan untuk menciptakan suatu pemerintahan bersama antara Hamas dan Fatah nyatanya banyak mengalami kendala. Setidaknya ada tiga hal yang membuat normalisasi hubungan Hamas dan Fatah tidak berjalan lancar, yaitu:[3]
Hamas diminta untuk mengakui Israel. Hal ini tetap ditolak oleh Hamas, karena itu artinya bertentangan dengan cita-cita dan ideologi Hamas.
Hamas diharuskan untuk meninggalkan perjuangan dengan kekerasan atau perang. Hal ini juga ditolak oleh Hamas, karena bagi Hamas perjuangan dengan perang adalah perjuangan yang suci (jihad) dan sekaligus memberikan tekanan yang lebih besar bagi Israel.
Hamas diwajibkan untuk mengakui semua perjanjian yang dilakukan oleh Fatah dan Israel sejak era Yasser Arafat. Hal ini juga ditolakk oleh Hamas, karena pengakuan terhadap perjanjian dan diplomasi dengan Israel dianggap melanggar nilai-nilai ideologis perjuangan Hamas.
Penolakan Hamas terhadap syarat-syarat yang diajukan oleh Fatah membuat situasi politik di Palestina menjadi tidak stabil dan mengalami kebuntuan, akibatnya tentu saja persatuan nasional Palestina yang tidak kunjung tercapai. Puncak dari kebuntuan politik ini adalah ketika Presiden Palestina, Mahmoud Abbas menyerukan untuk dilakukan percepatan diadakannya pemilu di Palestina. Menurut konstitusi Palestina, memang Presiden Palestina dapat mengambil keputusan untuk melakukan percepatan pelaksanaan pemilihan umum.[4]
Sikap politik Presiden Mahmoud Abbas itu kemudian memancik reaksi dari pihak Hamas. Hamas melihat keputusan Presiden Mahmoud Abbas sebagai upaya terselubung untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan Hamas. Sementara, Mahmoud Abbas mengatakan bahwa percepatan untuk segera melakukan pemilu di Palestina adalah upaya untuk mencari jalan keluar bagi kebuntuan politik antara Hamas dengan Fatah, sekaligus menyudahi boikot ekonomi dunia internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat.[5]
Deklarasi Mekah
Hamas tetap bersikeras menolak keputusan Mahmoud Abbas untuk mempercepat pemilu di Palestina. Implikasi dari pertentangan itu adalah terjadinya bentrokan fisik antara simpatisan Hamas dengan simpatisan Fatah, bentrokan itu kemudian meluas menjadi sebuah konflik atau perang sipil antara Hamas dengan Fatah. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mendamaikan dua partai politik terbesar di Palestina itu, salah satunya dilakukan oleh Arab Saudi.[6]
Arab Saudi mermutuskan untuk mengintervensi konflik yang terjadi antara Hamas dengan Fatah agar Palestina segera memiliki pemerintahan nasional yang kuat. Pihak Arab Saudi kemudian memutuskan untuk menjadika Kota Mekah sebagai tempat diadakanya suatu pertemuan diplomatik antara Hamas dengan Fatah, sementara Arab Saudi bertugas sebagai mediator. Pertemuan antara Hamas dan Fatah itu dihadiri oleh kedua belah pihak, Fatah diwakili oleh Presiden Mahmoud Abbas sementara Hamas diwakili oleh salah satu pemimpinnya, yaitu Khaled Meshaal.[7][8][9]
Inisiatif perdamaian yang digagas oleh Arab Saudi muali menunjukkan efektivitasnya. Diawali dengan suatu proses musyawarah yang menghasilkan suatu mufakat, yaitu berupa komitmen diantara Hamas dan Fatah untuk menghasilkan suatu konsepsi bersama ketika sepulang dari Mekah telah membawa suatu keberhasilan diplomatik yang tertuang dalam butir-butir kesepakatan yang kemudian diberinama Deklarasi Mekah pada Februari 2007. Butir-butir kesepakatan Deklarasi Mekah itu antara lain:[10][11]
Memberikan kesempatan pada profesional independen.
Hamas merekomendasikan untuk Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Nasional, dan Menteri Non-Portofolio.
Fatah merekomendasikan Kementerian Luar Negeri dan dua Menteri Non-Portofolio.
Melalui Deklarasi Mekah, Hamas dan Fatah menunjukkan komitmen nyata untuk mengakhiri konflik saudara, konflik sesama Palestina. Kompromi politik antara Hamas dan Fatah menjadi satu langkah awal demi terbentuknya suatu pemerintahan nasional yang bersatu. Beberapa keuntungan yang didapatkan Palestina setelah ditandatanganinya Deklarasi Mekah adalah sebagai berikut:[13][14]
Terciptanya rekonsiliasi politik Palestina, dimana pemerintahan Hamas yang ditolak oleh Amerika Serikat, Israel, dan Uni Eropa kini mendapatkan kawan, yaitu Fatah.
Membuka peluang perundingan dengan Israel. Hal ini berangkat dari usaha yang pernah dilakukan oleh negara-negara Arab, seperti Mesir, Suriah, dan Yordania setelah perang dengan Israel pada 1967, diharapkan dapat diikuti oleh kekuatan politik di Palestina, termasuk Hamas.
Boikot ekonomi yang dilakukan Amerika Serikat dapat segera di akhiri, karena tidak alasan bagi Amerika Serikat untuk memboikot Palestina, bila Hamas sudah tidak melakukan aksi-aksi kekerasan.
Keberhasilan Deklarasi Mekah juga ditunjang oleh beberapa faktor dalam menyelesaikan rivalitas Hamas dengan Fatah. Dalam hal ini Arab Saudi berhasil menggunakan Mekah sebagai suatu simbol dan metode pendekatan yang baik untuk menyelesaikan konflik Hamas dan Fatah. Pendekatan-pendekatan itu antara lain:[15]
Pendekatan Agama. Mekah yang merupakan kiblat umat Islam di seluruh dunia menjadi suatu simbol yang mengesankan bahwa konflik antara Hamas dan Fatah adalah permasalahan internal umat Islam, khususnya umat Islam di Palestina.
Pendekatan Budaya. Mekah yang menjadi bagian dari teritori Arab Saudi itu juga merupakan simbol dari kolektivitas Bangsa Arab, karena Palestina adalah juga Bangsa Arab maka pendekatan politik melalui kebudayaan Arab menambah efektivitas perundingan damai antara Hamas dengan Fatah.
Deklarasi Mekah juga memberikan suatu perubahan bagi kondisi sosial-politik di Palestina secara umum, yaitu:[16][17]
Palestina mampu dan siap untuk mengelola suatu proses transisi dan konsolidasi demokrasi yang diawali dengan konsensus dari para elit politik Palestina sendiri, dalam hal ini adalah Hamas dan Fatah.
Palestina siap menerapkan suatu nilai-nilai Islam yang moderat dalam perjuangan mereka menghadapi Israel.
Palestina terhindar dari politik konservatif ataupun politik status-quo yang berpotensi memunculkan kekuatan politik dominan yang mengancam nilai-nilai demokrasi.
Kembali Panas
Setelah penandatanganan Deklarasi Mekah antara Hamas dan Fatah pada Februari 2007, kondisi dan situasi politik Palestina sudah lebih kondusif dan stabil. Namun, ternyata situasi politik Palestina yang kondusif dan stabil itu tidak berlangsung lama. Memasuki pertengahan 2007, Hamas dan Fatah kembali berkonflik, kali ini permasalahannya menjadi lebih kompleks, yang implikasinya adalah wilayah Palestina terbagi atas dua otoritas kekuasaan, yaitu Jalur Gaza menjadi daerah kekuasaan Hamas, sementara Tepi Barat menjadi daerah kekuasaan Fatah.[18]
Rivalitas Hamas dan Fatah semakin memuncak saat Presiden Mahmoud Abbas melantik suatu kabinet darurat tanpa persetujuan Hamas sebagai fraksi terbesar di Parlemen Palestina, semua menteri yang berasal dari Hamas dicopot termasuk Perdana Menteri Ismail Haniyah, dan kemudian Presiden Mahmoud Abbas menunjuk Salam Fayyad, dari independen untuk menjadi Perdana Menteri Palestina. Selain itu, Presiden Mahmoud Abbas juga membubarkan pemerintahan koalisi hasil Deklarasi Mekah dan kemudian mengeluarkan peraturan bahwa Hamas adalah organisasi dan partai terlarang di Palestina.[19] Sejak saat itu Hamas dan Fatah kembali bertikai sampai hari ini.