Perjanjian gencatan senjata Israel–Lebanon 2024
Pada tanggal 27 November 2024, perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Amerika Serikat dan Prancis mulai berlaku, mengakhiri 14 bulan pertempuran sengit antara Hizbullah dan Israel.[1][2] Gencatan senjata telah disetujui oleh Israel, Lebanon, dan negara-negara penengah, namun tidak dengan Hizbullah, yang bukan merupakan penandatangan resmi mengingat statusnya sebagai kelompok ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat.[3] Perjanjian tersebut mengamanatkan penghentian permusuhan selama 60 hari, di mana Hizbullah akan memindahkan pejuangnya ke utara Sungai Litani—kira-kira 40 kilometer (25 mi) dari perbatasan Israel–Lebanon[4][2]—dan pasukan Israel secara bertahap akan mundur dari Lebanon Selatan.[2][5][6] Panel pemantau yang terdiri dari lima negara, dipimpin oleh Amerika Serikat, akan mengawasi penerapannya, dengan 5.000 pasukan Lebanon dikerahkan untuk memastikan perjanjian dilaksanakan.[7][5] Israel mempunyai hak untuk menyerang jika mereka menghadapi ancaman langsung terhadap keamanannya.[7] Kesepakatan itu terjadi setelah Hizbullah mengalami kerugian yang signifikan, termasuk kematian pemimpinnya Hassan Nasrallah dan hancurnya sebagian besar infrastruktur militer dan persenjataan rudal Hizbullah,[7][2] Israel kemudian melakukan serangan darat melawan Hizbullah.[8] Sehari sebelumnya, tentara Israel tiba di Sungai Litani untuk pertama kalinya terlibat dalam perang tersebut.[6] Kabinet keamanan Israel mendukung perjanjian tersebut dengan suara 10–1.[9] Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa gencatan senjata memungkinkan Israel untuk fokus pada ancaman Iran, menambah kekuatan militernya, dan mengisolasi Hamas, sekaligus berjanji untuk menanggapi setiap upaya untuk memasang rudal atau menggali terowongan di dekat perbatasan.[6] Gencatan senjata tersebut dipuji sebagai pencapaian signifikan bagi Pemerintahan Biden, dengan Presiden AS Joe Biden menyatakan bahwa perjanjian tersebut "dirancang untuk menjadi penghentian permusuhan secara permanen." Dia lebih lanjut menekankan bahwa “apa yang tersisa dari Hizbullah dan organisasi teroris (versi Amerika) tidak akan dibiarkan mengancam keamanan Israel lagi.”[9][6] Meskipun gencatan senjata menawarkan keringanan sementara bagi kedua belah pihak, ada kekhawatiran mengenai potensi kegagalan dalam menegakkan ketentuan tersebut, mencerminkan situasi setelah Perang Lebanon 2006 dan Resolusi PBB 1701, yang menyerukan pelucutan senjata Hizbullah.[7] Tentara Lebanon, yang dilemahkan oleh krisis ekonomi dan kekurangan sumber daya, menghadapi tugas yang menantang dalam menjaga ketertiban di Lebanon Selatan.[7] Banyak warga Lebanon yang ingin mengakhiri konflik, namun masih ada kekhawatiran bahwa Hizbullah akan mengabaikan gencatan senjata dan mempersenjatai kembali Lebanon Selatan.[7][5] Di pihak Israel, pengungsian warga sipil yang berkepanjangan di dekat perbatasan dan tekanan terhadap militer terus mendorong perlunya solusi.[7] Di sisi lainnya, Israel juga menghadapi tuduhan serius atas genosida di Palestina dan juga muncul perintah penangkapan atas Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), pada 21 November 2024 atas kejahatan perang di Palestina. [10] Latar belakangSejarah panjang perang antarakamah Pidana Internasional (ICC), Kamis (21/11/2024), atas kejahatan perang. Lebanon dengan Israel, sebelum milisi Hizbullah dibentuk. Hal ini disebabkan Israel yang mencoba pengambilan wilayah Palestina.[11] Lebanon dan negara-negara jazirah Arab lainnya untuk melawan Israel pada tahun 1948. Puncaknya, ketika Israel mulai menginvansi Lebanon Selatan dengan memecah belah pasukan militernya hingga membunuh Presiden Lebanon yang baru saja terpilih. Mereka, tentara dan masyarakat Lebanon yang tersisa, didukung oleh Iran sehingga berdirilah pasukan milisi Islam Syiah bernama Hizbullah.[12] Setelah invansi besar-besaran, Israel tetap mempertahan pasukan militernya di wilayah Lebanon Selatan. Balas dendam dan peperangan terus terjadi antara pasukan Hizbullah dan Israel sejak tahun 2006. Maka dari itu, perjanjian yang didasarkan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701 ini, ingin mengakhiri konflik antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006.[13] Resolusi ini menetapkan bahwa wilayah selatan Sungai Litani harus bebas dari kehadiran personel bersenjata atau senjata selain milik negara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB. Namun, kedua belah pihak baik Israel dan Hizbullah, saling menuduh telah melanggar ketentuan resolusi tersebut. Israel menuduh Hizbullah membangun infrastruktur militer di kawasan tersebut. Sementara Lebanon mengklaim bahwa Israel telah melanggar kedaulatannya dengan melakukan penerbangan militer di wilayah udara Lebanon. [14] Referensi
|