Periode Hakuhō (白鳳時代code: ja is deprecated , Hakuhō jidai, "periode feniks putih") adalah nama zaman di Jepang (年号code: ja is deprecated , nengō, "nama tahun") dari Kaisar Tenmu[1] setelah Hakuchi[2] dan sebelum Suchō.[3] Lamanya rentang waktu non-"nengo" yang terpisah dan berbeda ini berlangsung dari tahun 673 hingga 686.[1]
Periode Hakuhō lebih sering digunakan sebagai sebuah istilah umum yang menggambarkan suatu rentang tahun yang lebih luas.
Sejarah seni
Hakuhō secara konvensional digunakan untuk mengidentifikasi periode sejarah dan artistik yang luas pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan.[1] Istilah ini terutama digunakan dalam sejarah seni dan diperkirakan telah diperkenalkan pada Pameran Jepang–Britania tahun 1910.[4]
Dalam konteks sejarah umum, periode Asuka dipahami sebagai tumpang tindih dengan periode Hakuhō; dan Hakuhō dapat ditafsirkan telah diikuti oleh periode Tempyō dalam sejarah seni.[1] Periode Hakuhō ditandai dengan perkembangan cepat Buddhisme dan penyebarannya di seluruh Jepang. Secara artistik, periode ini dipengaruhi langsung oleh dinasti-dinasti Sui dan Tang,[4] dan dipengaruhi secara tidak langsung oleh kesenian Gupta dari India.[1]
Dimulai dengan Reformasi Taika, pada periode ini terjadi pergeseran ke arah bentuk pemerintahan yang lebih terstruktur dan lebih birokratis, yang sebagian besar berdasarkan pada model-model Tiongkok. Ibu kota kekaisaran "permanen" pertama ditetapkan di Fujiwara-kyō pada tahun 694. Meskipun hanya dalam enam belas tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi, ini merupakan langkah penting dalam perkembangan negara Yamato, pusat kekuasaan yang relatif sementara dan berpindah-pindah sampai titik ini.[5] Dekade periode Hakuhō juga terjadi banyak perkembangan besar lainnya dalam struktur politik dan kebudayaan, termasuk pengenalan penulisan dan perkembangan kaligrafi di Jepang. Aksara-aksara Tionghoa telah dijumpai dan digunakan di Jepang selama berabad-abad sebelumnya, tetapi pada abad ke-7, seperti yang dijelaskan oleh seorang sarjana, "menulis dan seni produksinya-atau kaligrafi-mengalami perbungaan yang tiba-tiba dan spektakuler".[6]
Seni dan arsitektur
Istilah "periode Hakuhō" terutama diterapkan dalam diskusi mengenai arsitektur, patung, dan lukisan.
Ratusan kuil Buddhis dibangun pada periode Hakuhō, termasuk Kawara-dera, Daikandai-ji, dan Yakushi-ji di Fujiwara-kyō dalam gaya menunjukkan pengaruh Dinasti Tang Tiongkok yang cukup besar. Wakakusa-dera, yang habis terbakar pada tahun 670, juga dibangun kembali pada periode ini menjadi Hōryū-ji, menunjukkan pengaruh gaya yang sama.[7][8] Ketika Baekje hancur pada tahun 660, pengungsi dinaturalisasikan di Jepang dan mereka memainkan peran utama dalam merancang dan membangun kuil-kuil ini, dan mengajar dan melatih rekan-rekan Jepang mereka.
Pada saat itu, batu dan perunggu adalah media utama yang digunakan untuk patung-patung Buddha di Jepang, dan akan tetap demikian di benua ini untuk beberapa waktu yang akan datang;[9] namun, di Jepang, patung-patung ukiran dari kayu yang akan mendominasi pada abad-abad kemudian ternyata mulai muncul sejak periode Hakuhō.
^Hanshin Electric Railway - Area Guide [1]Diarsipkan 2018-11-19 di Wayback Machine. "With the Tang Dynasty-style and Chinese western region-style designs seen in the platform for the image of Buddha in the Main Hall, Yakushi-ji Temple is regarded as the terminal point of the Silk Road."
Ooms, Herman. (2009). Imperial Politics and Symbolics in Ancient Japan: the Tenmu Dynasty, 650-800.Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN9780824832353ISBN0824832353; OCLC 213495459