Perang Etiopia-Adal adalah konflik militer antara Kekaisaran Etiopia dan Kesultanan Adal yang berlangsung dari tahun 1529 sampai 1543. Pasukan Kekaisaran Etiopia terdiri dari suku Amhara, Tigray dan Agew. Sedangkan pasukan Adal terdiri dari Harla (Hararis) dan suku-suku Somali.[4]
Latar belakang
Islam diperkenalkan ke Tanduk Afrika lebih awal dari jazirah Arab, tak lama setelah hijrah. Pada akhir abad ke-9, Al-Yaqubi menulis bahwa umat Islam hidup di pesisir utara Somalia.[5] Dia juga menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Adal berada di kota tersebut,[6] menunjukkan bahwa Kesultanan Adal dengan Zeila sebagai markas besarnya sudah ada sejak abad ke-9 atau ke-10. Menurut I.M. Lewis, kesultanan tersebut diperintah oleh dinasti Somali setempat, yang juga memerintah atas Kesultanan Mogadishu yang didirikan di wilayah Benadir di selatan. Sejarah Adal sejak periode pembentukannya ditandai oleh serangkaian pertempuran dengan tetangganya Abyssinia (Kekaisaran Etiopia). Para pejuang Ahmed menggunakan busur dan panah.[7]
Antara 1529 dan 1543, pemimpin militer Imam Ahmad ibn Ibrahim al-Ghazi dapat mengalahkan sebagian kaisar Etiopia dan memulai penaklukan yang disebut sebagai Futuh Al-Habash ("Penaklukan Abyssinia"), sehingga tiga perempat dari Kristen Abyssinia berada di bawah kekuasaan Kesultanan Muslim Adal.[8][9] Dengan pasukan terutama dari Somalia,[10] tentara Al-Ghazi dan sekutunya dari Utsmaniyah hampir meruntuhkan kekaisaran Etiopia kuno. Namun, kekaisaran Etiopia berhasil mendapat bantuan dari pasukan Portugis di bawah Cristóvão da Gama dan mempertahankan kedaulatan wilayah mereka. Kedua negara tersebut dalam prosesnya menghabiskan banyak sumber daya dan tenaga mereka, mengakibatkan ketegangan pada kedua kekuatan tersebut dan mengubah dinamika regional selama berabad-abad kemudian. Banyak sejarawan melacak asal-usul permusuhan antara Somalia dan Etiopia dalam peperangan ini.[11] Beberapa ahli juga berpendapat bahwa dalam peperangan ini kedua belah pihak memanfaatkan senjata api seperti musketmatchlock, meriam dan senapan sundut selain senjata tradisional.[12]
Jalannya perang
Pada 1529, pasukan Adal di bawah Imam Ahmad dapat mengalahkan satu rombongan besar pasukan Etiopia dalam Pertempuran Shimbra Kure. Walaupun kemenangan ini memerlukan pengorbanan yang besar, tetapi peristiwa tersebut mampu memantapkan semangat para pasukan Adal, menunjukkan bukti bahwa mereka bisa mengalahkan tentara Etiopia yang cukup besar.
Kemenangan yang membuat pengikut Imam Ahmad berada di atas angin pada 1531. Yang pertama di Antukyah, di mana letusan meriam di awal pertempuran membuat panik tentara Etiopia. Kedua pada 28 Oktober di Amba Sel, ketika pasukan di bawah Imam mencerai-beraikan tentara Etiopia dan merebut barang-barang dari Imperium regalia. Kemenangan ini menyebabkan tentara memiliki akses untuk memasuki dataran tinggi Etiopia, di mana mereka mulai menguasai dan membakar banyak gereja, termasuk Atronsa Maryam, tempat beberapa Kaisar dikebumikan.[13] Negeri ini dikuasai oleh pasukan Ahmad, yang meruntuhkan beberapa monumen Kristen dan menekan Amhara dan Tigray non-Muslim.
Dawit II meninggal pada tahun 1540 dan ahli warisnya ditangkap oleh pasukan Imam Ahmad; sang Ratu tidak berkutik karena dia dikepung di ibu kota. Pada 1543, gerilya Etiopia mampu menang dengan bantuan angkatan laut Portugis, yang membawa 400 penembak yang dipimpin oleh Cristóvão da Gama melalui Massawa, sebuah pelabuhan Kerajaan Medri Bahri di Eritrea, pelabuhan penting di Eritrea sekarang. 500 musketir dipimpin oleh Bahri Negassi Yeshaq, raja Medri Bahri. Yeshaq tidak hanya menyediakan bekal dan tempat berkemah kepada Portugis di wilayahnya, tetapi juga informasi tentang negaranya. Bahr negus juga bersekutu dengan Kaisar Gelawdewos dan Portugis dalam Pertempuran Wayna Daga, di mana Imam Ahmad terbunuh dan pasukannya tercerai-berai. Pasukan Etiopia/Portugis memperkuat kemenangan mereka dengan menyergap dan melumpuhkan pasukan kedua di bawah salah satu anak buah Imam. Ini membalikkan keadaan perang. Tentara yang masih hidup dipaksa mundur dari Etiopia, membuat kedua kerajaan itu sangat lemah.
Akibat
Mohammed Hassan beralasan karena para pihak yang terlibat dalam konflik ini saling melemahkan, memberikan kesempatan bagi orang Oromo untuk bermigrasi ke negeri di selatan Abay timur ke Harar dan membangun wilayah baru.[14]