Perang Aceh-Belanda (1599-1601)

Perang Aceh-Belanda adalah konflik antara Kesultanan Aceh dan Belanda yang terjadi karena Sultan Alauddin Riayat Syah tidak senang dengan perdagangan mereka

Perang Aceh-Belanda (1599-1601)
Bagian dari Ekspedisi Kedua Belanda ke Hindia Timur
Tanggal21 Juni 1599-21 Agustus 1601
LokasiAceh
Hasil
Pihak terlibat
Kesultanan Aceh Kesultanan Aceh Belanda
Tokoh dan pemimpin
Kesultanan Aceh Sultan Alauddin Riayat Syah
Kesultanan Aceh Malahayati
Cornelis de Houtman 
Frederick de Houtman (POW)
Paulus van Caerden
Jacob Corneliszoon van Neck
Laurens Bicker
Gerard de Roy
Korban
beberapa kapal Aceh dibajak lebih banyak

Latar Belakang

Pada 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh pada 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman den Frederick de Houtman, berlabuh di ibu kota Kesultanan Aceh. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan.

Pertempuran

Penyerangan Kapal Belanda

Sultan Alauddin Riayat Syah tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya. Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Malahayati. Alhasil, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun).

Penyerangan Belanda pertama

Pada 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka.

Penyerangan Belanda kedua

Setelah itu, datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck. Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Malahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan Alauddin Riayat Syah karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya(Penyerangan Belanda Pertama).

Pengajakan damai Belanda

Pada 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan Alauddin Riayat Syah. Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Malahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 gulden.

Surat Maurice

Pada tahun yang baru lewat, 1598 Masehi, atas perintah telahpun bertolak dua buah kapal dagang dari negeri ini, dengan tujuan mengadakan perniagaan di Hindia Timur, kapal mana sudah tiba di sana pada tanggal 15 Agustus tahun itu juga.

Telah dikabarkan kepada beta betapa baiknya sambutan yang diberikan kepada mereka oleh Yang Mulia dan betapa cermatnya pelayanan yang diberikan mereka ketika mereka tiba di kerajaan Yang Mulia, disamping itu betapun mendapat kabar juga bahwa dengan memenuhi peraturan yang berlaku dan dengan segala kejujuran mereka telah melaksanakan maksud-maksud perdagangan tersebut.

Tapi tatkala orang-orang Portugis yang menjadi warga dari Kerajaan Spanyol, musuh kami, mendapat kabar bahwa mereka sedang mendapat perlindungan dan bantuan yang dijanjikan oleh Yang Mulia, merekapun lalu menceritakan hal-hal yang dusta, untuk menyesatkan Yang Mulia, diantaranya dikatakanlah oleh mereka bahwa para saudagar Belanda itu adalah bajak laut, dan bahwa kedatangan mereka adalah untuk merampas kerajaan Yang Mulia.

Hasil pendustaan itu, Yang Mulia telah menitahkan menangkap Frederick de Houtman, nahkoda salah satu dari kapal itu, bersama beberapa awak kapal, serta menahan mereka, hal mana berakibat penderitaan mereka.

Dengan keyakinan akan belas kasihan Yang Mulia terhadap mereka, inginlah beta menyampaikan harapan agar kiranya Yang Mulia menitahkan mereka dipelihara dengan baik, sebagai juga dilakukan terhadap setiap warga yang berkunjung ke kerajaan Yang Mulia, yang bebas telah kembali, semoga para tawanan yang sekarang berada di negeri Yang Mulia dapat pula mengecap kebebasannya kembali.

Kepada beta dikabarkan pula bahwa orang-orang Portugis telah mengadakan peperangan terhadap kerajaan Yang Mulia atas perintah Raja Spanyol, dengan tujuan untuk merampas negeri itu dan menjadikan warganya hamba sahaya, sebagaimana yang demikian telah dilakukannya selama lebih dari 30 tahun di negeri kami.

Tapi Tuhan Yang Maha Kuasa tidaklah sekali-kali ingin demikian, dan sebaliknya kami telah mengangkat senjata menentang penjajahan itu dan akan melakukannya sampai berhasil.

Oleh sebab-sebab itulah beta bermohon kepada Yang Mulia agar kiranya tidak mempercayai orang-orang Portugis tersebut, dan supaya Yang Mulia tidak perlu mencurigai lagi kepada warga yang datang dari negeri beta dan untuk mendapat kesempatan berniaga, maka inilah beta menugaskan perutusan beberapa wakil beta membawa surat ini, terdiri dari para delegasi berkuasa penuh sejumlah empat orang, yaitu nahkoda-nahkoda Cornelis Bastiaanse, Jan Tonneman, Matthys Antonisse dan Cornelis Adriaanse, bersama beberapa komisaris (zaakgelastigden), yaitu Geradl de Roy, Laurens Begger, Jan Jacobs dan Nicolas van der Lee, kesemuanya berangkat dengan empat kapal untuk, atas nama beta, mengadakan perundingan dengan Yang Mulia, untuk membicarakan bantuan-bantuan apakah yang dikehendaki untuk menumpas musuh-musuh.

Demikian pula kepada mereka telah beta beri izin tugas untuk memberikan bingkisan-bingkisan yang lazim kepada Yang Mulia sebagai bukti dari idam-idaman beta mengadakan pesahabatan dengan Yang Mulia.

Beta mohon agar bingkisan yang dikirim itu mendapat sambutan. Dan dengan ini beta mendoakan kepada Tuhan agar Yang Mulia dan kerajaannya bertambah luas sesuai dengan keinginannya.

Termaktub di Den Haag, Belanda, pada tanggal 11 Desember 1600

Tangan yang dicium oleh hambanya

Tertanda Maurice de Nassau

[1]

Referensi

  1. ^ tengkuputeh, aceh negara berdaulat pertama yang mengakui kemerdekaan Belanda dari Spanyol 1602.

Pranala luar