Penghapusan Bertahap Bahan Bakar Fosil adalah sebuah aksi tindakan menghentikan aktifitas penggunanaan sumber energi fosil secara bertahap hingga berhenti total. Penghapusan bertahap bahan bakar fosil ini mulai muncul dikampanyekan merujuk Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dalam Confrence of Parties (COP) 21 di Paris pada 2015 untuk mengurangi terjadinya laju pemansan global.[1] Sebelumnya terdapat silang pendapat mengenai isu penghapusan bertahap bahan bakar fosil diduga oleh mulai menipisnya ketersediaan energi fosil dunia dan ketakutan akan isu polusi namun sebagian besar analis bersepakat isu penghapusan bertahap bahan bakar fosil penting dilakukan guna menjaga sumberdaya dan menekan buruknya laju polusi, pemanasan global yang memicu perubahan iklim.[2] Bahan bakar fosil terbentuk dari endapan mahluk hidup jutaan tahun lalu.
Bahan bakar fosil merupakan sumberdaya yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat bumi saat ini, penggunaannya menghasilkan dampak carbon. Adapun bahan bakar fosil meliputi batubara, minyak bumi dan gas alam.[3] Saat ini konsumsi bahan bakar fosil dunia mencapai 82 persen menurut International Energy Agency (IEA) atau Badan Energi Internasional.[4] Tingginya penggunaan energi fosil menurut IEA dapat memicu suhu bumi merangkak menyentuh 3,6 derajat celcius bila tanpa ada langkah antisipasi, seperti mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Wacana Penghapusan bertahap bahan bakar fosil dunia muncul berkat laporan para peneliti iklim terkemuka di dunia yang tergabung dalam Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC). Ratusan peneliti itu berkesimpulan bahwa kenaikan suhu bumi maksimal harus di bawah 1,5 derajat celcius. Para ahli menemukan pada 2016 terdapat 52 gigaton emisi Gas Rumah Kaca (GRK)/52 GtCO2e akan mencapai 58 gigaton pada 2030. Untuk memenuhi target menahan suhu pada 1,5 derajat celcius diperlukan usaha maksimal untuk mengurangi GRK. Jumlah itu harus dikurangi rata-rata per tahun sekitar 25-35 gigaton GRK. Perilaku manusia dan pendekatan teknologi diperlukan untuk memenuhi target ambisius tersebut. Salah satunya dengan cara mengurangi penggunaan energi fosil dan memperbanyak penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga matahari, angin, dan sejenisnya. Setidaknya 85 persen EBT hingga 2050. untuk tetap memenuhi target 1,5 derajat celcius pada suhu bumi.[5]
Pembahasan
Penggunaan energi fosil atau disebut juga sebagai energi kotor dianggap membahayakan manusia dan mahluk hidup lainnya. Greenpeace menyebutkan sebagai contoh PLTU batubara yang dianggap sebagai pembunuh senyap. PLTU Batubara mengotori udara kita dengan polutan beracun, termasuk merkuri, timbal, arsenik, kadmiun dan partikel halus namun beracun, yang telah menyusup ke dalam paru-paru masyarakat. Menurut Greenpeace dalam penelitian bersama Universitas Harvard pada tahun 2015 terdapat 3 juta manusia di dunia mengalami kematian dini akibat pembakaran batubara untuk tenaga listrik. Di Indonesia kematian dini itu mencapai 6,500 jiwa per tahun.[6]
Sebuah studi di Universitas Tsinghua di Cina, Universitas California, Lembaga Ilmu Pengetahuan Carnegie, dan Pemantau Energi Global di Amerika Serikat menemukan dampak emisi karbon dari pembangkit dan proyek energi bahan bakar fosil. Penelitian menyebutkan bila semua PLTU batubara di dunia terus beroperasi maka target menahan suhu bumi pada 1,5 derajat celcius akan gagal. Dalam studi disebutkan pada 2018 terdapat 1.579 gigawat (GW) dari PLTU batubara, 583 kapasitas pembangkit berbahan bakar minyak dan 40 GW diusulkan untuk dibangun selama beberapa tahun ke depan. Dampaknya, jika infrastruktur bahan bakar fosil yang ada di seluruh dunia terus beroperasi akan menghasilkan sekitar 658 gigaton (Gt) CO2.[7]
Penggunaan secara tak terkontrol bahan bakar fosil tidak saja menyasar kesehatan masyarakat dunia namun juga mengakibatkan ke banyak hal. Menghangatnya suhu laut dunia berdampak pada gelombang kuat yang mengancam masyarakat pesisir dengan naiknya permukaan laut dan tingginya intensitas badai.[8] Dampak pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim yang banyak menyasar seluruh kehidupan masyarakat dunia. Abrasi parah dan akut juga menghantui kawasan pesisir wilayah barat pada Pulau Sumatera yang menghadap langsung pada Samudera Hindia dalam satu tahun tidak kurang dari 1,5 meter daratan tergerus akibat naiknya permukaan air laut.[9] Lebih jauh di Provinsi Bengkulu sebagai contoh dalam riset yang dilakukan Woman Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan, Bengkulu, pada 2040 terdapat 20 desa diprediksi akan hilang akibat tergerus oleh abrasi dan naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global.[10]
KTT Perubahan Iklim ke 21 di Paris, Prancis mengeluarkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement),[11] menyetujui kesepakatan pembatasan dan atau penggunaan sumber energi berbahan fosil secara bertahap untuk menekan terjadinya pemanasan global.[1] Kesepakatan tersebut harus diikuti oleh seluruh negara dunia, swasta dan lainnya. Langkah cepat pertama kali dilakukan Irlandia dengan menarik semua investasi di semua perusahaan berbahan bakar fosil, Pemerintah Irlandia menyebutkan eksplorasi berlebihan bahan bakar fosil adalah "salah secara moral", dan berisiko memperburuk masa depan ekonomi yang terkait dengan ancaman perubahan iklim.[12]
Di Asia perubahan kebijakan dari energi fosil menuju EBT perlahan mulai dilakukan investasi di bidang EBT mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan meski minyak dan gas masih menjadi primadona di tengah tumbuhnya perekonomian di Benua Asia. Salah satu negara yang paling banyak menyumbang investasi EBT adalah China di mana seperempatnya berasal dari China. Secara keseluruhan China, India dan Asia Tenggar menyumbang 40 persen investasi EBT di Benua Asia.[13] Lebih jauh disebutkan kebijakan EBT di China dan Amerika Serikat dapat mengurangi permintaan bahan bakar fosil mencapai 12 persen pada 2040 secara global.[13]
Kontribusi Uni Eropa terhadap penghapusan bertahap bahan bakar fosil juga terlihat dalam Paket Iklim dan Energi Uni Eropa.[14] Transfer pengetahuan, teknologi dan dana juga digelontorkan oleh Uni Eropa terhadap negara dunia berkembang dalam memerangi laju perubahan iklim dan pemanasan global. Pemerintah Indonesia misalnya membuka diri dengan Uni Eropa dalam kerjasama subsektor energi baru terbarukan.[15] Intensif pembiayaan dan transfer teknologi disertai pengetahuan juga diberikan oleh Uni Eropa pada sejumlah negara berkembang.
Kebijakan Indonesia
Indonesia merupakan negara keenam penghasil emisi dunia.[16] Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah ambang batas secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan internasional dalam beberapa sektor antara lain energi yang melingkupi pembangkit dan transportasi, proses industri, product use dan waste, serta land-use change and forestry (LULUCF) hingga tahun 2030.[17] Penurunan emisi tersebut, dilakukan dengan mengambil langkah di bidang energi berupa pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif. Selain itu, Indonesia juga punya target peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional hingga 2025.
Kebijakan sektor energi di Indonesia juga dipengaruhi oleh isu perubahan iklim. Berkaitan dengan langkah mitigasi perubahan iklim, Presiden menyatakan komitmen Indonesia untuk mengurangi GRK sebesar 29 persen dengan pendanaan domestik dan akan ditingkatkan menjadi 41 persen dengan bantuan dana luar negeri dari skenario business as usual(BAU), pada tahun 2020. Sektor energi merupakan salah satu dari sembilan sektor utama yang menjadi sasaran penurunan GRK. Penurunan GRK dari sektor energi diharapkan menyumbang sekitar 5 persen dari target penurunan secara total. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sudah disusun, dan menjabarkan langkah-langkah untuk mencapai target tersebut. RAN-GRK sektor energi secara umum meliputi dua hal: mengembangkan dan meningkatkan pemanfaatan sumber energi baru danterbarukan, serta meningkatkan efisiensi energi.[18]
Terhadap peningkatan EBT di Indonesia pemerintah membuat Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang bertujuan mengurangi energi fosil dan mengejar target pemenuhan 23 persen EBT di Tanah Air. Saat ini pembangkit di Indonesia memiliki 65,8 ribu MW dari jumlah itu EBT baru mencapai 9 ribu MW atau sekitar 14 persen total pembangkit di Indonesia.[19]
Niat Indonesia untuk mengurangi emisi tercermin dalam Intended Nationally Determined Controbution (INDC) merujuk Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dalam Confrence of Parties (COP) 21 di Paris pada 2015.[20]
Sementara itu di bidang otomotif pemerintah memaksa industri otomotif nasional meningkatkan populasi kendaraan rendah emisi guna menekan polusi udara di Indonesia. Target pun dicanangkan, di antaranya melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Dengan aturan itu, diharapkan 20 persen dari total penjualan kendaraan nasional ramah lingkungan.[21]
Penghapusan bertahap bahan bakar fosil di Indonesia juga mengalami tantangan, target menurunkan emisi 29 persen secara mandiri dan dibantu 41 persen oleh internasional terancam dengan pembangunan 35 ribu MW tenaga listrik dari sejumlah PLTU batubara di Indonesia.[22] Pemerintah diminta untuk melakukan revisi terhadap project PLTU batubara yang terbilang sangat bertolak belakangan dengan Kesepakatan Paris yang ikut diratifikasi oleh Indonesia.
Tantangan
Penghapusan bertahap bahan bakar fosil lalu beralih pada EBT merupakan alternatif dalam penyelamatan bumi dari serangan pemanasan global dan perubahan iklim. Meski demikian bukan berarti langkah EBT tidak mengalami hambatan dan tantangan. Sejumlah negara yang ikut dalam menandatangani Piagam Paris di satu sisi bertindak di luar kesepakatan seperti terus membangun PLTU batubara secara massif, Indonesia misalnya. Amerika Serikat misalnya menarik diri keluar dari Kesepakatan Paris dengan alasan kesepakatan tersebut berpotensi merugikan dan memiskinkan Amerika.[23] Mundurnya Amerika Serikat akan membuat semakin sulit bagi dunia untuk mencapai tujuan yang ditentukan oleh kesepakatan Paris. Amerika Serikat menyumbang sekitar 15 persen emisi karbon global namun juga merupakan sumber keuangan dan teknologi yang penting bagi negara-negara berkembang dalam upaya mengatasi peningkatan temperatur.
Meskipun Amerika Serikat menarik diri dari Kesepakatan Paris tidak membuat ratusan negara lain yang telah bersepakat ikut menarik diri. Optimisme akan perbaikan dunia yang lebih baik melalui kesepakatan bersama dalam Paris Agreement tetap menjadi pegangan bersama para pemimpin dunia.
Kesimpulan
Penghapusan bertahap bahan bakar fosil sesungguhnya telah dilakukan di sejumlah negara dunia ini dinaungi dalam Kesepakatan Paris/Piagam Paris tahun 2015 yang diratifikasi dan diturunkan dalam bentuk kebijakan masing-masing negara. Hal ini merupakan langkah maju yang dilakukan bersama oleh pemimpin dunia guna menekan laju pemanasan global memicu perubahan iklim. Sejumlah kebijakan dilakukan seperti Irlandia menarik semua investasinya pada energi fosil, China, India yang meningkatkan investasi pada EBT. Begitu juga sejumlah negara Uni Eropa ikut menggelontorkan intensif pendanaan dan transfer teknologi serta pengetahuan terutama pada negara berkembang. Contoh penghapusan bertaha[ bahan bakar fosil dilakukan oleh banyak negara di Uni Eropa, ASI, Afrika dan lainnya.
Indonesia juga berkomitmen serupa ini terlihat dalam sejumlah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, target ambisius untuk mengurangi karbon 29 persen secara mandiri dan dibantu 41 persen oleh internasional merupakan niatan yang tidak isapan jempol. Sejumlah pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT dilakukan, sejumlah pembangunan pembangkit energi EBT yang mangkrak mulai dikerjakan oleh pemerintah guna memenuhi komitmen dunia yang tercatat dalam Paris Agreement. Ke depan Indonesia harus lebih kuat lagi dalam menjalankan penghapusan bertahap bahan bakar fosil dengan menggantungkan sepenuhnya energi pada EBT serta meninggalkan energi fosil.
Referensi
- ^ a b N, Basuki Rahmat (2015-12-13). "KTT Iklim Sepakati Pengurangan Bahan Bakar Fosil". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Furfari, Samuele (2017-12-12). "Mitos Penghapusan Bertahap Penggunaan Bahan Bakar Fosil | by Samuele Furfari". Project Syndicate. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ "Bahan bakar fosil". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2019-11-12.
- ^ "IEA: Penggunaan Bahan Bakar Fosil Global Tetap Dominan". Republika Online. 2013-11-14. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ "8 Hal yang Perlu Diketahui tentang Laporan IPCC 1.5˚C | WRI Indonesia". wri-indonesia.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-13. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ "Hasil Penelitian Harvard : Ancaman Maut PLTU Batu bara - Indonesia". Greenpeace Indonesia. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Nusantara, Solusi Sistem. "Pembangkit Listrik Energi Fosil Sebabkan Pemanasan Global | Internasional". www.gatra.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ "Laut Dunia Semakin Menghangat, Gelombang Kuat Ancam Warga Pesisir - Nationalgeographic.grid.id". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Firmansyah (2014-01-20). Wadrianto, Glori K., ed. "Abrasi, Efek Perubahan Iklim Ancaman Tersembunyi Kedaulatan NKRI". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Firmansyah (2013-12-04). Assifa, Farid, ed. "Tahun 2040, 20 Desa di Bengkulu Diprediksi Menghilang". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Firmansyah (2015-12-22). Utomo, Yunanto Wiji, ed. "Setelah Kesepakatan Paris..." Kompas.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Utomo, Happy Ferdian Syah (2018-07-13). Yulianingsih, Tanti, ed. "Irlandia Jadi Negara Pertama di Dunia yang Singkirkan Bahan Bakar Fosil". Liputan6.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ a b Sembiring, Lidya Julita (2017-12-12). "Pergeseran Energi Fosil ke Terbarukan Jadi Fokus Dunia". Okezone.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ "Paket Iklim dan Energi Uni Eropa". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2019-11-03.
- ^ Zuhri, Sepudin; Meilanova, Denis Riantiza. Meilanova, Denis Riantiza; Zuhri, Sepudin, ed. "RI Buka Peluang Kerja Sama Energi Terbarukan dengan Uni Eropa". Bisnis.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Wulandari, Risky (2014-10-15). Utomo, Yunanto Wiji, ed. "Indonesia Penghasil Emisi Karbon Tertinggi Keenam di Dunia". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Desthania, Riva (2016-06-11). "Indonesia Siap Ikuti Perjanjian Paris Kurangi Emisi Karbon". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Nugraheni, Siwi. "Komitmen Indonesia Untuk Pembatasan Subsidi Bahan Bakar Fosil dan Peningkatan Efisiensi Energi di G201" (PDF). Diakses tanggal Rabu 13 November 2019.
- ^ "Berikut Strategi Pemerintah Dalam Pengembangan EBT, Menuju Kemandirian Energi Nasional - Kementerian ESDM Republik Indonesia". ebtke.esdm.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Firmansyah (2018-08-23). Jatmiko, Bambang Priyo, ed. "Melihat Skema Pendanaan Energi Terbarukan Indonesia Pasca-Piagam Paris". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ Purnama, Rayhand (2019-10-18). "Target Ambisius Jokowi untuk Kendaraan Rendah Emisi". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ "Bangun PLTU dan Lepas Hutan Bakal Gagalkan Komitmen Iklim Indonesia, Bagaimana Cara Capai Target?". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). 2019-11-10. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ "Amerika Serikat mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015" (dalam bahasa Inggris). 2017-06-02. Diakses tanggal 2019-11-13.