Invasi pertama Persia adalah tanggapan terhadap keterlibatan Yunani dalam Pemberontakan Ionia, ketika Eretria dan Athena mengirim pasukan untuk membantu kota-kota di Ionia dalam usaha mereka untuk melepaskan diri dari kekuasaan Persia. Pasukan Eretria dan Athena berhasil menaklukkan dan membakar Sardis, tetapi kemudian terpaksa mundur dengan kerugian yang besar. Kaisar Persia, Darius I, marah besar dan bersumpah akan menghukum Eretria dan Athena.
Setelah pemberontakan di Ionia berhasil dihentikan oleh Persia melalui kemenangan pada Pertempuran Lade, Darius pun mulai menyerang Yunani. Pada tahun 490 SM, dia mengirim armada laut di bawah komando Datis dan Artaphernes untuk menjelajahi Laut Aigea dan menaklukkan Kyklades, dan kemudian untuk menyerang Athena dan Eretria. Persia meraih kesuksesan di Aigea dan pada pertengahan musim panas mereka mencapai Euboia. Pasukan Persia selanjutnya melakukan pengepungan terhadap Eretria. Pengepungan berlangsung selama enam hari sebelum akhirnya muncul dua orang bangsawan Eretria yang berkhianat dan membiarkan pasukan Persia memasuki Eretria. Kota Eretria dijarah dan dibakar sedangkan penduduknya dijadikan budak, atas perintah Darius. Para tawanan Eretria pada akhirnya dibawa ke Persia dan ditempatkan di Kissia.
Setelah menaklukkan Eretria, pasukan Persia berlayar ke Athena dan berlabuh di pantai Marathon. Pasukan Athena, yang dibantu pasukan Plataia, melawan mereka di sana dan berhasil menang melalui Pertempuran Marathon, yang sekaligus mengakhiri invasi pertama Persia.
Sumber utama untuk Perang Yunani-Persia adalah sejarawan Yunani Herodotos. Herodotos, yang disebut sebagai 'Bapak Sejarah',[1] lahir pada tahun 484 SM di Halikarnassos, Asia Kecil (ketika itu dikuasai oleh Persia). Dia menulis karyanya yang berjudul Historia sekitar tahun 440–430 SM, berusaha untuk melacak asal usul Perang Yunani-Persia, yang ketika itu merupakan peristiwa yang belum terlalu lama berlalu (perang itu berakhir pada tahun 450 SM).[2][3] Pendekatan Herodotos sepenuhnya baru, dan setidaknya di masyarakat Barat, dia tampaknya menciptakan 'sejarah' seperti yang kini diketahui.[3] Seperti dinyatakan oleh Holland:[3]
Untuk pertama kalinya, seorang penulis kronik memutuskan untuk melacak asal usul suatu konflik bukan ke masa silam yang begitu jauh demi terlihat menjadi sangat menakjubkan, bukan juga kepada tingkah laku dan keinginan dewa tertentu, bukan kepada klaim orang demi mewujudkan takdir, namun lebih kepada penjelasan yang dapat dia verifikasi secara pribadi.
Banyak sejarawan kuno di kemudian hari yang, meskipun mengikuti jejak penulisan Herodotos, mengkritiknya, bermula dari Thukydides.[4][5] Meskipun demikian, Thukydides memilih untuk memulai catatan sejarahnya pada peristiwa di mana Herodotos menyelesaikan catatannya sendiri, yaitu pada Pengepungan Sestos, dan dengan demikian Thukydides mungkin merasa bahwa tulisan Herodotos sudah cukup akurat sehingga tak perlu dikoreksi atau ditulis lagi.[2][5]Plutarkhos mengkritik Herodotos dalam esainya "Mengenai Kejahatan Herodotos", menggambarkan Herodotos sebagai "Philobarbaros" (pencinta orang barbar), karena menurutnya Herodotos kurang memihak Yunani. Ini menunjukkan bahwa Herodotos kemungkinan telah melakukan penulisan sejarah yang cukup netral dan tidak terlalu berat sebelah.[6]
Pandangan negatif tentang Herodotos berlanjut hingga Eropa Renaisans, meskipun karyanya tetap banyak dibaca.[7] Akan tetapi, sejak abad ke-19 reputasinya secara dramatis mengalami perbaikan akibat temuan-temuan arkeologis yang berulang kali menunjukkan bahwa catatan sejarahnya memang akurat.[8] Pandangan modern yang kini berlaku adalah bahwa Herodotos secara umum melakukan pekerjaan yang baik dalam karyanya Historia, tetapi beberapa rincian spesifiknya (terutama mengenai jumlah pasukan dan tanggal kejadian) harus dicermati dengan skeptisisme.[8] Meskipun demikian, masih ada beberapa sejarawan yang menganggap bahwa banyak bagian dari catatan Herodotos dikarang oleh dirinya sendiri.[9]
Sejarawan Sisilia Diodoros Sikolos, yang menulis pada abad pertama SM dalam karyanya Bibliotheka Historika, juga membuat catatan sejarah mengenai Perang Yunani-Persia, sebagian diambil dari sejarawan Yunani yang lebih awal, Ephoros. Catatan ini cukup konsisten dengan tulisan Herodotos.[10] Perang Yunani-Persia juga diceritakan secara kurang rinci oleh sejumlah sejarawan kuno lainnya termasuk oleh Plutarkhos, Ktesias dari Knidos, dan disinggung oleh beberapa penulis lainnya, misalnya penulis drama Aiskhylos. Bukti arkeologis, misalnya Tiang Ular, mendukung beberapa klaim spesifik Herodotos.[11]
Invasi pertama Persia ke Yunani berakar langsung pada Pemberontakan Ionia, yang merupakan fase pertama pada Perang Yunani-Persia. Akan tetapi, invasi itu juga merupakan akibat dari hubungan jangka panjang antara orang Yunani dan Persia. Pada tahun 500 SM Kekaisaran Persia masih relatif muda dan amat ekspansionistik, tetapi rawan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa taklukannya.[12][13][14] Lagipula, raja Persia, Darius, adalah seorang perebut takhta,[15] dan telah menghabiskan banyak waktu untuk memadamkan pemberontakan terhadap kekuasaannya.[12][16] Bahkan sebelum Pemberontakan Ionia, Darius telah mulai memperluas Kekaisaran Persia ke Eropa, menaklukkan Thrakia, dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia.[17][18] Upaya ekspansi lebih jauh ke dunia Yunani kuno yang terpecah-pecah kemungkinan tidak dapat terhindarkan.[13] Akan tetapi, Pemberontakan Ionia telah secara langsung megancam kebersatuan Kekaisaran Persia, dan negara-negara kota di Yunani daratan tetap menjadi ancaman yang potensial terhadap kestabilan Persia pada masa depan.[19] Ini membuat Darius bertekad untuk menguasai dan menenangkan Yunani dan Aigea, serta menghukum negara kota yang terlibat dalam Pemberontakan Ionia.[19][20]
Pemberontakan Ionia bermula dari ekspedisi ke Naxos pada 499 SM yang berakhir dengan kegagalan.[21] Upaya tersebut merupakan kerjasama antara satrap Persia Artaphernes dan tiran Miletos, Aristagoras.[22][23] Mereka melakukan kesepakatan dengan beberapa orang yang pernah terusir dari Naxos dan berniat menjadikan orang-orang itu kembali berkuasa di Naxos dengan syarat bahwa Naxos akan menjadi negara bawahan Persia.[24] Ekspedisi itu sendiri mulai mengalami kekacauan ketika di perjalanan terjadi pertikaian antara Aristagoras dengan laksamana Persia, Megabates[25] Kegagalan ekspedisi itu membuat Artaphernes memutuskan untuk melengserkan Aristagoras dari jabatannya, tetapi sebelum itu sempat dilakukan, Aristagoras telah lebih dulu mundur dan memproklamirkan Miletos sebagai negara demokrasi.[23][26] Kota-kota Ionia lainnya mengikuti langkah ini, menumbangkan para tiran mereka yang ditunjuk oleh Persia, dan menyatakan bahwa mereka adalah negara demokrasi.[23][27][28] Artistagoras kemudian memohon dukungan dari negara-negara kota di Yunani daratan. Pertama-tama ia mendatangi raja Kleomenes I di Sparta namun tidak memperoleh dukungan.[29] Hanya Athena dan Eretria yang bersedia mengirim pasukan.[30][31] Eretria mengirimkan lima kapal trireme sedangkan Athena mengirimkan dua puluh trireme.[32]
Alasan Eretria mengirim bantuan kepada orang Ionia tak sepenuhnya jelas. Kemungkinan faktornya adalah alasan perdagangan; Eretria adalah kota dagang, yang perniagaannya terancam oleh dominasi Persia di Aigeia.[30] Herodotos berpendapat bahwa Eretria mendukung pemberontakan sebagai balasan karena dulu orang Miletos pernah membantu kota ini dalam perang melawan Khalkis.[33]
Pasukan Eretria membantu pasukan Athena dan Ionia dalam pengepungan Sardis, tetapi setelah mereka meninggalkan kota itu, pasukan Persia berhasil mengalahkan pasukan Ionia dalam Pertempuran Ephesos sehingga pasukan Eretria dan Athena harus meninggalkan Asia Kecil dan kembali ke Yunani.[34] Pada tahun 492 SM, Pemberontakan Ionia berhasil dihentikan sepenuhnya setelah armada Ionia dikalahkan dalam Pertempuran Lade.[35] Sementara itu Aristagoras terbunuh dalam pertempuran melawan Thrakia setelah melarikan diri dari wilayah Ionia ke Thrakia.[36]
Kejadian awal
Setelah Ionia berhasil dikendalikan lagi, Darius ingin membalas Eretria, Athena, dan Naxos karena membantu Ionia. Namun kampanyenya harus tertunda sampai ia berhasil memadamkan pemberontakan di Thrakia dan Makedonia.[37] Pada 492 SM, Darius mengirim menantunya, Mardonios, yang juga adalah keponakannya, dalam suatu ekspedisi untuk menaklukan wilayah sebelah utara Yunani, dan kemudian menaklukan Eretria dan Athena. Ini akan memberi Persia posisi yang bagus untuk menyerang Peloponnesos. Ekspedisi ini sukses menaklukkan kembali Thrakia dan memaksa Alexandros I dari Makedonia untuk menjadikan Makedonia sebagai kerajaan klien Persia. Namun ekspedisi ini dihentikan setelah armada Persia dihantam badai di dekat Gunung Athos, yang membuat armada Persia kehilangan sebagian besar kapalnya.[27][38]
Setelah kawasan sebelah utara Yunani berhasil dikuasai, Darius mengirimkan utusan ke semua negara kota Yunani, meminta hadiah "tanah dan air" (simbol dari ketundukan). Karena Persia tampak begitu kuat, sebagian besar negara-kota Yunani menyatakan ketundukannya. Akan tetapi, di Athena, utusan Persia dilempar ke dalam lubang dan disuruh mencari sendiri tanah yang mereka minta. Hal serupa terjadi di Sparta, ketika utusan Persia dilempar ke dalam sumur dan disuruh untuk mengambil sendiri air yang mereka minta. Ini adalah terakhir kalinya Darius berupaya menaklukan Yunani melalui diplomasi.[39]
Akhirnya pada tahun 490 SM, Darius memutuskan untuk mengirim suatu ekspedisi militer yang dipimpin oleh Datis, seorang laksamana Mede, dan Artaphernes. Artaphernes adalah putra dari satrap yang mendukung serangan ke Naxos sepuluh tahun sebelumnya dan yang didatangi oleh Hippias dari Elis, seorang mantan tiran Athena yang digulingkan dan diusir pada 508 SM. Hippias mendatangi Artaphernes untuk mencari suaka dan mencari peluang untuk kembali berkuasa. Ia pun membuat kesepakatan dengan Persia bahwa ia akan membantu Persia asalkan kelak ia boleh memimpin Athena.[40] Sementara itu Mardonios sendiri terluka pada kampanye sebelumnya dan kehilangan dukungan sehingga tak disertakan dalam ekspedisi kali ini.[41]
Ekspedisi ini bertujuan menjadikan Kyklades sebagai bagian dari Kekaisaran Persia, menghukum Naxos (yang memukul mundur serangan Persia pada tahun 499 SM) dan kemudian meneruskan perjalanan ke Yunani untuk memaksa Eretria dan Athena agar tunduk kepada Darius atau dihancurkan.[42] Armada Persia terdiri atas 600 kapal, dengan sebagian besar marinir dan kapalnya berasal dari Fenisia dan Ionia. Sementara tentaranya diambil dari Levant, Persia, Media, Suriah, Kilikia, Ionia dan Siprus.[43]
Armada ini mengangkut tentara di Kilikia lalu pergi ke Samos.[44] Dari sana mereka melintasi Laut Aigea dan berlayar ke Ikaria sebelum kemudian menyerang Naxos. Rakyat Naxos tidak siap menghadapi serangan ini sehingga ketika pasukan Persia tiba, banyak orang Naxos melarikan diri ke perbukitan. Pasukan Persia menaklukan dan membumihangsukan kota itu, serta memperbudak orang Naxos yang berhasil mereka tangkap.[43]
Setelah menghancurkan Naxos, armada Persia menjelajahi pulau-pulau di Kyklades hingga akhirnya tiba di Euboia. Di kota Karystos di pesisir Euboia, pasukan Persia meminta tentara namun rayat Karystos menolak memenuhi permintaan Persia karena tidak ingin terlibat dengan kampanye militer melawan Eretria dan Athena, yang merupakan tetangga mereka sendiri. Pasukan Persia pun mengepung Karystos hingga kota itu bersedia memberikan sejumlah tentara.[45] Dari Karystos, pasukan Persia bersiap untuk melaksanakan tujuan besar lainnya, yakni menghukum Eretria.[46]
Menurut Herodotos, armada yang dikerahkan oleh Darius terdiri atas 600 trireme.[44] Herodotos tidak menaksir besarnya pasukan Persia, hanya mengatakan bahwa mereka adalah "infantri yang banyak yang diperlengkapi dengan baik."[42] Di antara sumber-sumber kuno, penyair Simonides, yang hidup agak sezaman dengan pertempuran itu, mengatakan bahwa kekuatan pasukan Persia berjumlah 200.000 tentara; sedangkan penulis Romawi dari masa yang belakangan, Cornelius Nepos, memperkirakan bahwa jumlahnya 200.000 infantri dan 10.000 kavaleri, dengan hanya 100.000 tentara yang bertempur dalam pertempuran itu, sementara sisanya dimasukkan ke dalam armada yang engitari Tanjung Sounion;[47]Plutarkhos dan Pausanias secara independen memberi jumlah 300.000 tentara, begitu pula kamus Suda.[48][49][50]Plato dan Lysias memberi angka 500,000;[51][52] sedangkan Justinus 600,000.[53]
Sejarawan modern mengajukan rentang jumlah yang luas untuk infantri, mulai dari 20.000-100.000 tentara dengan konsensus mungkin 25.000 tentara;[54][55][56][57] perkiraan untuk kavalerinya adalah sekitar 1000 tentara.[58]
Eretria
Jumlah pasukan Eretria tidak diketahui, dan Herodotos pun tidak menyebutkan angka untuk pihak Eretria. Karena orang Eretria bertempur di tanah air mereka, maka secara teoretis kemungkinan besar seluruh, atau setidaknya sebagian besar, penduduk Eretria ikut membantu pertahanan kota, tetapi jumlah penduduk Eretria pada saat itu juga tidak secara jelas diketahui. Eretria adalah negara kota Yunani, jadi kemungkinan besar ada sejumlah orang Eretria yang bertempur sebagai hoplites. Hoplites adalah infantri berat Yunani yang mengenakan banyak perlengkapan pertahanan, di antaranya helm perunggu, perisai bundar besar dari kayu berlapis perunggu, pelindung dada dari kulit atau logam, serta pelindung betis dari perunggu. Untuk penyerangan, senjata utama hoplites adalah tombak dengan senjata cadangan berupa pedang. Hoplites digunakan dalam banyak pertempuran oleh banyak negara kota di Yunani kuno.[59][60][61][62]
Pengepungan
Ketika orang Eretria mengetahui bahwa pasukan tempur Persia sedang mendatangi dan hendak menyerang mereka, mereka meminta Athena untuk mengirimkan pasukan bantuan.[63] Pihak Athena setuju dan menyuruh 4000 orang Athena yang berada di kota Euboia lainnya, yaitu Khalkis, untuk membantu Eretria.[63] Orang-orang Athena ini sebelumnya ditempatkan di tanah Khalkis sebagai kolonis setelah Athena mengalahkan Khalkis sekitar 20 tahun sebelumnya.[64][65] Akan tetapi, ketika orang Athena tiba di Eretria, seorang warga Eretria terkemuka yang bernama Aiskhines memberitahu mereka mengenai perpecahan yang terjadi di antara rakyat Eretria, dan dia juga menyarankan orang-orang Athena itu untuk pergi meninggalkan Eretria dan menyelamatkan diri mereka sendiri agar mereka tidak ikut menderita jika Persia menaklukkan Eretria.[63] Orang-orang Athena mengikuti nasihat Aiskhines dan berlayar ke Oropos sehingga mereka tidak ikut diserang oleh pasukan Persia.[66]
Rakyat Eretria gagal untuk menemukan rencana tindakan yang jelas, Herodotos menyebutkan bahwa "semua rencana orang Eretria tampaknya tidak dapat diandalkan; mereka meminta bantuan kepada Athena, tetapi pendapat mereka terpecah." Rakyat Eretria terbagi menjadi dua kelompok yang masing-masing mendukung rencana berbeda, salah satu kelompok berpendapat bahwa lebih baik menyerah kepada Persia untuk memastikan keselamatan dan agar kota Eretria tak dihancurkan oleh Persia, sedangkan kelompok lainnya ingin melarikan diri ke dataran tinggi di Eretria.[63] Akan tetapi, ketika armada Persia telah berlabuh di wilayah Eretria, kesepakatan yang dicapai oleh rakyat Eretria adalah bahwa mereka tidak akan meninggalkan kota, melainkan akan berusaha bertahan di dalam kota menghadapi pengepungan Persia.[66]
Strategi Eretria adalah mempertahankan tembok mereka, dan menghadapi pengepungan.[66] Kemungkinan, ini adalah satu-satunya rencana yang dapat disepakati, atau menjadi rencana standar ketika tidak ada rencana yang disepakati. Bagaimanapun juga, pasukan Persia hanya pernah mengalami sedikit kekalahan selama satu abad terakhir dan tidak pernah ada pasukan Yunani yang benar-benar berhasil mengalahkan pasukan Persia, oleh karena itu strategi ini menjadi sesuatu yang cukup masuk akal.[67] Karena pasukan Persia tiba di Eretria menggunakan kapal, mereka mungkin hanya membawa sedikit perlengkapan pengepungan, dan memang, serangan mereka sebelumnya telah digagalkan pada pada Pengepungan Lindos sebelum mendatangi Eretria.[68]
Persia melabuhkan pasukannya di tiga lokasi berbeda, yaitu Temenos, Khioreai, dan Aigilea. Para tentara Persia keluar dari kapal lalu berarak langsung menuju Eretria. Karena rencana orang Eretria adalah bertahan di dalam kota, mereka tidak berusaha menahan pendaratan pasukan Persia. Akibatnya para tentara Persia dengan mudahnya memasuki wilayah Eretria dan berarak menuju kota Eretria. Pasukan Persia kemudian mulai mengepung kota itu. Aih-alih mengepung Eretria secara pasif, pasukan Persia tampaknya secara agresif menyerang tembok Eretria. Herodotos menuturkan bahwa pertempuran itu brutal dan kedua belah pihak menderita banyak korban. Setelah enam hari terjadi pertempuran, tiba-tiba dua orang Eretria terkemuka, yakni Euphorbos dan Philagros, membuka gerbang kota sehingga pasukan Persia dapat menerobos masuk dan menaklukkan kota itu.[66] Para tentara Persia menghancurkan kota Eretra dan menjarah segala barang berharga.[66][69] Mereka juga membakar kota, termasuk kuil dan suaka suci, sebagai balasan atas pembakaran Sardis (di kemudian hari, Eretria dihuni kembali oleh sejumlah orang Athena dan menjadi bagian dari Liga Delos). Semua penduduk yang tertangkap dijadikan budak, sesuai perintah Darius.[66]
Setelah tinggal di Eretria selama beberapa hari, pasukan Persia menaikkan para tawanan Eretria ke dalam kapal-kapal mereka, lalu meneruskan perjalanan ke Attika.[70] Mereka menurunkan para tawanan itu di pulau Aigilia, sebelum kemudian berlabuh di pantai Marathon di Attika.[70][71] Sasaaran Persia berikutnya adalah Athena. Persia mengira bahwa Athena akan bertindak seperti halnya orang Eretria, yaitu hanya bertahan di dalam kota dan tidak menghadang pasukan Persia di tempat mereka berlabuh. Akan tetapi, orang Athena bertindak sebaliknya; begitu mereka tahu bahwa armada Persia berlabuh di Marathon, mereka memutuskan berarak dari kotanya untuk menghadapi Persia di dataran itu. Setibanya di sana, Pasukan Athena, yang dibantu oleh pasukan Plataia, menghalangi jalur keluar dari dataran Marathon untuk mencegah pasukan Persia bergerak lebih jauh ke Attika.[72] Setelah terjadi kebuntuan selama beberapa hari, pasukan Athena pada akhirnya memutuskan untuk menyerang pasukan Persia. Maka dimulailah Pertempuran Marathon, yang berakhir dengan kemenangan Athena.[73] Setelah pertempuran itu, sisa-sisa pasukan Persia kembali ke kapal mereka, mengambil tawanan Eretria dari Aigilea,[73] dan kemudian berlayar pulang ke Asia Kecil. Ini sekaligus mengakhiri kampanye mereka dan invasi pertama Persia ke Yunani.[74]
Pemindahan orang Eretria
Ketika pasukan Persia tiba di Asia Kecil, Datis dan Artaphernes membawa para tawanan Eretria ke hadapan Darius di Susa.[75] Darius memerintahkan orang-orang Eretria itu untuk ditempatkan di kota Arderikka di Kissia.[75] Sejak itu orang-orang Eretria itu bermukim di sana dan menjadi penduduk kota itu. Ketika Herodotos menulis catatan sejarahnya, mereka masih tinggal di sana, dan masih menuturkan bahasa serta melaksanakan tradisi asli mereka.[75] Beberapa puluh tahun kemudian, ketika Aleksander Agung menaklukkan Persia, dia juga mendatangi Kissia dan bertemu dengan orang-orang Eretria itu.[76]
Sementara itu, setelah mengalami kegagalan dalam invasi pertamanya akibat dikalahkan oleh Athena, Darius mulai membangun pasukan baru yang sangat besar untuk sepenuhnya menaklukkan Yunani; akan tetapi, pada tahun 486 SM, rakyat jajahannya di Mesir memberontak, sehingga ekspedisinya ke Yunani harus ditunda hingga jangka waktu yang tak tentu.[14][77] Darius meninggal selagi dalam persiapan menuju Mesir, dan takhta Persia diwariskan kepada putranya Xerxes I.[78] Xerxes menghentikan pemberontakan Mesir, dan dengan sangat cepat memulai kembali persiapan untuk menginvasi Yunani.[79][80]Invasi kedua Persia ke Yunani pada akhirnya dimulai pada tahun 480 SM, dan pasukan Persia meraih keberhasilan awal pada Pertempuran Thermopylae dan Pertempuran Artemision.[81][82][83] Akan tetapi, kekalahan Persia pada Pertempuran Salamis menjadi titik balik dalam kampanye militer itu,[84][85][86] dan setahun kemudian ekspedisi itu berakhir dengan kemenangan telak Yunani pada Pertempuran Plataia.[87][88][89][90]
Lloyd, Alan. Marathon:The Crucial Battle That Created Western Democracy. Souvenir Press, 2004. (ISBN 0-285-63688-X)
Green, Peter. The Greco-Persian Wars. Berkeley: University of California Press, 1970; revised ed., 1996 (hardcover, ISBN 0-520-20573-1); 1998 (paperback, ISBN 0-520-20313-5).
Lazenby, JF. The Defence of Greece 490–479 BC. Aris & Phillips Ltd., 1993 (ISBN 0-85668-591-7)
Fox, Robin Lane. Alexander the Great. Penguin, 1973 (ISBN 0-14-008878-4)
Fehling, D. Herodotus and His "Sources": Citation, Invention, and Narrative Art. Translated by J.G. Howie. Leeds: Francis Cairns, 1989.
Finley, Moses (1972). "Introduction". Thucydides – History of the Peloponnesian War (translated by Rex Warner). Penguin. ISBN0-14-044039-9.
Higbie, C. The Lindian Chronicle and the Greek Creation of their Past. Oxford University Press, 2003.
Nadif, Faisal A., & H, Astid D. (2011). Sejarah Perang-Perang Besar di Dunia. Yogyakarta: Familia. ISBN 978-602-97660-7-3
Toynbee, Arnold. (2004). Sejarah Umat Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 979-3477-74-1