Pengendalian bahaya COVID-19 di tempat kerja merupakan metode keselamatan dan kesehatan kerja yang diterapkan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit koronavirus 2019 (COVID-19). Ada beberapa faktor yang menentukan bagaimana metode pengendalian bahaya diterapkan di lingkungan kerja, antara lain adalah kondisi tempat kerja dan jenis pekerjaan, penilaian risiko pekerjaan berdasarkan sumber paparan, tingkat penularan di masyarakat, serta faktor risiko masing-masing pekerja terhadap infeksi penyakit. Upaya pengendalian di tempat kerja ini memiliki beberapa tujuan, yaitu meminimalkan risiko terpapar COVID-19, menghindari infeksi baru, dan menghentikan penyebaran virus yang mungkin tengah berlangsung. Selain itu, tindakan pengendalian juga bertujuan mengurangi risiko penularan virus ke individu melalui kontak dengan subjek, objek, peralatan, atau permukaan yang kemungkinan telah terkontaminasi.[1]
Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja AS (OSHA) menggolongkan pekerja ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat risiko paparan. Pertama, pekerja dengan risiko paparan rendah. Pekerja dengan risiko paparan paling rendah ini umumnya melakukan kontak yang minim dengan masyarakat (konsumen) dan sesama rekan kerjanya. Untuk kelompok pertama ini, OSHA merekomendasikan mereka untuk mematuhi tindakan pencegahan infeksi dasar. Tindakan pencegahan dasar tersebut mencakup mencuci tangan, tinggal di rumah saat sakit, menjalankan etika pernapasan, membersihkan lingkungan kerja, serta melakukan penyemprotan desinfektan secara rutin di lingkungan kerja.[2]
Kelompok kedua adalah pekerja dengan risiko paparan sedang. Mereka adalah pekerja yang melakukan kontak dekat atau rutin dengan orang-orang yang tidak diketahui sejarah kontaknya atau terduga COVID-19 yang kemungkinan terinfeksi dari transmisi antar orang atau telah melakukan perjalanan ke luar negeri. Pekerja golongan kedua ini melakukan kontak dengan masyarakat umum seperti di sekolah, lingkungan kerja padat karyawan, dan usaha ritel berskala besar. Selain melakukan tindakan pencegahan infeksi dasar, mereka juga perlu didukung dengan fasilitas tambahan, seperti ventilasi dengan filter udara berefisiensi tinggi, partisi pelindung bersin, dan alat pelindung diri (APD) jika terpapar dengan orang yang terinfeksi.[2]
Golongan ketiga adalah pekerja dengan risiko paparan tinggi. Tenaga medis dan staf pemulasaraan jenazah masuk ke dalam kelompok ini. Level risiko paparan akan meningkat jika pekerja melakukan prosedur yang menimbulkan aerosol dan atau menangani spesimen dari orang yang telah dinyatakan positif dan terduga COVID-19. Pengendalian bahaya yang tepat mencakup pengendalian rekayasa, misalnya penyediaan ruang ventilasi bertekanan negatif dan APD yang memadai.[2]
Perencanaan dan penilaian risiko
Pandemi COVID-19 dapat membawa sejumlah dampak di tempat kerja. Pekerja mungkin mengajukan cuti sakit, harus merawat keluarganya, atau khawatir terpapar virus. Perubahan juga mungkin terjadi di sektor perdagangan. Ada sejumlah barang yang mengalami lonjakan permintaan dari konsumen, misalnya masker, penyanitasi tangan, tisu, dan termometer.[3] Cara berbelanja juga berubah, konsumen umumnya memilih berbelanja di jam-jam sepi pengunjung atau berbelanja secara daring dan lewat layanan tanpa turun. Pengiriman komoditas dari wilayah dengan tingkat penularan tinggi juga mungkin akan mengalami gangguan.[2]
Kesiapsiagaan dan perencanaan tanggap darurat penyakit menular dapat disusun sebagai panduan rencana tindakan. Pedoman tersebut berisi analisis tingkat risiko berdasarkan jenis pekerjaan dan lingkungan kerjanya, termasuk di antaranya sumber paparan, faktor risiko yang berasal dari tempat tinggal pekerja dan lingkungan sekitarnya, serta faktor risiko pribadi (faktor usia atau penyakit bawaan yang dimiliki). Selain itu, dokumen ini juga harus memuat langkah-langkah pengendalian yang perlu diambil berdasarkan risiko-risiko yang ada sekaligus rencana lanjutan untuk menghadapi situasi yang mungkin timbul akibat wabah. Rencana kesiapsiagaan juga perlu mengikuti rekomendasi pemerintah nasional dan setempat. Sasaran dari rencana tanggap darurat ini adalah mengurangi risiko transmisi virus di antara pekerja, melindungi pekerja yang lebih rentan, mempertahankan usaha, dan meminimalkan dampak wabah terhadap rantai pasokan barang. Panduan kesiapsiagaan juga harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit yang menyebar di masyarakat di lokasi usaha berada.[2]
Pada awal-awal pandemi, banyak perkantoran menghentikan kegiatan fisik dan meminta karyawan bekerja dari rumah. Saat pandemi telah berlangsung selama lebih dari setahun, beberapa perusahaan dan lembaga berencana atau bahkan telah menginstruksikan karyawan untuk kembali ke kantor.[4] Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan saat perusahaan meminta karyawan kembali bekerja di kantor pada saat pandemi masih berlangsung. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan empat poin, yaitu pencegahan dasar penularan COVID-19 di tempat kerja, manajemen risiko saat mengadakan kegiatan dan pertemuan tatap muka, hal-hal yang perlu dipertimbangkan saat melakukan perjalanan bisnis, dan mempersiapkan tempat kerja jika ditemukan kasus penularan.[5]
Pengendalian bahaya
Hierarki pengendalian bahaya merupakan kerangka kerja untuk mengontrol risiko di tempat kerja.[7] Hierarki ini mengelompokkan upaya pengendalian bahaya menurut tingkat efektifitasnya dan telah digunakan secara luas dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja. Hierarki pengendalian bahaya memuat pendekatan tahap demi tahap untuk menghilangkan atau mengurangi risiko dengan cara mengurutkan pengendalian risiko dari level perlindungan tertinggi hingga yang paling rendah.[7] Berdasarkan pemeringkatannya, hierarki pengendalian terdiri atas eliminasi, substitusi, pengendalian rekayasa, pengendalian administratif, dan APD.[6]
Jika bahaya COVID-19 tidak sepenuhnya dapat dihilangkan, maka pengendalian yang paling efektif adalah pengendalian rekayasa, diikuti pengendalian administratif, dan terakhir penggunaan APD. Pengendalian rekayasa mencakup isolasi karyawan dari bahaya yang berhubungan dengan pekerjaan dan memastikan ketersediaan infrastruktur pendukung.[8] Langkah ini dapat menjadi solusi yang paling murah. Pengendalian administrasi mencakup perubahan kebijakan atau prosedur kerja untuk menjamin pekerja melakukan pekerjaan dengan aman.[9]
APD dianggap paling kurang efektif dibandingkan dua pengendalian sebelumnya, tetapi peralatan ini dapat membantu mencegah pekerja dari paparan virus. Terlepas dari APD yang merupakan salah satu solusi, ia harus dipandang sebagai pelengkap dan tidak menggantikan tindakan-tindakan yang lain (pengendalian administratif, lingkungan, dan rekayasa).[10] Semua jenis APD harus dipilih berdasarkan bahaya yang dihadapi pekerja, misalnya disesuaikan dengan tipe penularan virus yang mungkin terjadi di tempat kerja (kontak langsung, percikan pernapasan, atau udara (airborne)).[11] Selain itu, pemakaian APD harus sesuai standar sehingga benar-benar melindungi pekerja. Aturan pemakaian APD mencakup pemakaian dengan cara benar, dipakai secara konsisten, diperiksa, dipelihara, dan diganti (jika perlu), dilepas, dibersihkan, dan disimpan dengan benar atau dibuang untuk menghindari kontaminasi.[2][8]