Pengecualian hukum di Uni Eropa adalah pilihan suatu negara untuk menolak berpartisipasi dalam peraturan atau suatu bagian dari peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa.[1] Uni Eropa sebagai suatu organisasi antar negara-negara di Eropa mengeluarkan beberapa aturan menyangkut keuangan, diplomasi, dan pertahanan negara. Pengecualian hukum dapat terjadi apabila beberapa anggota bersepakat untuk membentuk atau mengembangkan aturan atau traktat tertentu, namun terdapat penolakan dari anggota lain. Penolakan ini dapat diajukan pada saat kongres antarpemerintahan. Penolakan dapat terjadi akibat anggota keberatan terhadap perubahan yang menyangkut kepentingan anggota, baik sebagai negara maupun sebagai bagian dari Uni Eropa. Pengecualian berdasarkan alasannya terbagi menjadi tiga, yakni: alasan politis, alasan institusional, dan alasan hukum. Hal ini berlangsung selama traktat atau aturan tersebut berlaku dan dapat dibatalkan pada waktu yang tidak ditentukan. Terdapat empat dari duapuluh delapan negara yang menjalankan hal ini, yakni: Irlandia, Denmark, dan Polandia.
Negara dan Pengecualian Hukum
Britania Raya
Britania Raya masuk sebagai anggota Uni Eropa sebagai anggota ketujuh setelah pembentukan organisasi tersebut dan menjadi negara pertama yang melakukan pengecualian hukum[2] (hingga pengambilan keputusan tanggal 31 Januari 2020). Setidaknya terdapat lima hukum yang tidak mengikutsertakan Britania Raya, yakni: Perjanjian Schengen, Persatuan Ekonomi dan Moneter Uni Eropa, Piagam Hak Asasi Uni Eropa, dan Social Chapter. Pengecualian pada Perjanjian Schengen terjadi akibat negara ini memilih untuk tidak ikut menandatangani perjanjian. Negara ini memilih untuk tetap menjaga batas negaranya, berkebalikan dengan isi perjanjian yang secara umum menghapus batas-batas negara anggota organisasi dengan dihilangkannya pengecekan berkas.[3] Britania Raya mengkritik perjanjian ini dengan anggapan bahwa penghapusan ini akan mempermudah pergerakan kriminal antarnegara.[4] Pilihan untuk tidak menandatangi juga dilakukan oleh Irlandia. Pada perjanjian ini, terdapat beberapa pengecualian yang dapat mengikutsertakan Britania Raya, seperti: Schengen information System.[2]
Pada Persatuan Ekonomi dan Moneter Uni Eropa, Britania Raya menyatakan untuk tetap menggunakan mata uang mereka sendiri dan tidak bergabung dalam persatuan tersebut. Sebelum menyatakan untuk tidak bergabung, negara ini memberikan lima capaian uji ekonomi, antara lain: penyatuan bisnis antara Britania Raya dan Uni Eropa, fleksibilitas, investasi, industri finansial, serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.[5] Berdasarkan kelima capaian tersebut, Menteri Keuangan Gordon Brown yang menjabat pada masa itu menyatakan bahwa penyatuan bisnis yang terjadi tidak menunjukkan keberlanjutan yang berarti dan fleksibilitas yang ada cukup untuk menahan organisasi dalam masa sulit.[6] Selain itu, negara ini menyatakan bahwa penggantian mata uang bukan prioritas utama negara pada saat perjanjian ini dibicarakan. Hal ini membuat Britania Raya gagal mencapai persetujuan bersama Uni Eropa dalam persatuan tersebut.
Piagam Hak Asasi Uni Eropa memiliki kekuatan yang mengatur seluruh hukum yang berhubungan dengan hak-hak politik, sosial, dan ekonomi suatu negara yang menandatanganinya. Nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar antara lain: martabat (dignity), kebebasan (freedom), persamaan (equality), solidaritas (solidarity), masyakarat (citizen), hak (rights), keadilan (justice), dan ketetapan umum (general provisions). Oleh karena itu, nilai-nilai yang terdapat dalam piagam harus diterjemahkan dan diadaptasikan pada aturan-aturan yang berlaku di negara tersebut. Piagam ini bersifat mengikat dan diawasi oleh European Parliament's Policy Department for Citizen's Rights and Constitutional Affairs of the European Parliament. Britania Raya menyatakan bahwa hal ini berarti terdapat aturan yang dibuat oleh negara yang dapat dibatalkan atas alasan tidak memenuhi piagam.[7] Atas dasar ini negara tersebut menyatakan untuk tidak mendukung piagam tersebut dan melakukan pengecualian hukum dengan dasar Protocol 30 dalam Perjanjian Lisboa (2007).[2][7]
Social Chapter merupakan protokol yang mengatur mengenai hak-hak sosial masyarakat Uni Eropa. Dalam protokol ini diatur juga mengenai hak pekerja, persamaan gender, keselamatan pekerja, dan perlakuan pekerja di dalam wilayah kerja. Negara yang ikut serta dalam protokol ini boleh diintervensi oleh anggota lain mengenai aturan dalam negeri yang membahas mengenai pekerja dan dianggap tidak selaras dengan protokol. Perdana Menteri John Major menyatakan bahwa Britania Raya telah memiliki aturan sendiri mengenai pekerja dan ratifikasi hanya akan menambah beban perusahaan atas biaya pekerja,[8] sehingga Britania Raya tidak diikutsertakan dalam protokol ini sejak tahun 1992. Pengecualian ini kemudian dicabut pada tahun 1997 dengan adanya Perjanjian Amsterdam.[9]
Irlandia Raya
Seperti Britania Raya, Republik Irlandia juga melakukan pengecualian terhadap Perjanjian Schengen. Alasan negara ini tidak ikut serta adalah kesepakatan mengenai pembebasan batas antarnegara sudah pernah dilakukan, yakni pada Common Travel Area (CTA) dan untuk menjaga hubungan baik dengan negara yang bersangkutan. Pada perjanjian CTA warga negara Britania Raya dan Republik Irlandia dapat memasuki wilayah masing-masing tanpa pengecekan tanda pengenal atau paspor.[10]
Denmark
Negara ini memiliki dua pengecualian hukum, yakni Persatuan Ekonomi dan Moneter Uni Eropa dan Common Security and Defense Policy. Kedua perjanjian ini tidak mengikut sertakan Denmark akibat adanya Perjanjian Edinburgh yang menyatakan bahwa terdapat empat pengecualian yang diterima Denmark sebagai anggota Uni Eropa terhadap Perjanjian Maastricht.[11]
Polandia
Negara ini melakukan pengecualian pertamanya untuk Piagam Hak Asasi Uni Eropa bersama dengan Britania Raya. Pengecualian tidak sepenuhnya berlaku, seperti yang dilakukan juga oleh negara pengaju pertama tersebut. Negara ini memilih untuk tidak mendukung sepenuhnya piagam ini akibat liberalisme yang dijunjung untuk isu-isu moral yang tidak selaras dengan nilai-nilai di negara tersebut.[12]
Referensi
- ^ Sion, Maya (2004). "The Politics of Opt-Out in the European Union: Voluntary or Involuntary Defection?" (PDF). IWM Junior Visiting Fellows’ Conferences. XVI (7). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-10-19. Diakses tanggal 2020-01-20.
- ^ a b c Jain, Aashika (2016-06-24). "Why has Britain opted out of the European Union?". The Economic Times. Diakses tanggal 2020-01-20.
- ^ "Schengen: EU free movement deal explained" (dalam bahasa Inggris). 2016-04-24. Diakses tanggal 2020-01-20.
- ^ "The UK and the Schengen system". UK in a changing Europe (dalam bahasa Inggris). 2015-12-03. Diakses tanggal 2020-01-20.
- ^ "United Kingdom: EMU opt-out clause". publications.europa.eu. Diakses tanggal 2020-01-20.
- ^ "Chancellor to issue statement on EMU". The Irish Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-20.
- ^ a b "Why the EU's Charter of Fundamental Rights must not be transposed into UK law". BrexitCentral (dalam bahasa Inggris). 2017-11-19. Diakses tanggal 2020-01-20.
- ^ "Treaty Tightrope: The Social Chapter: what it is and why Conservatives". The Independent (dalam bahasa Inggris). 1993-07-21. Diakses tanggal 2020-01-21.
- ^ "Wayback Machine" (PDF). web.archive.org. 2008-02-27. Archived from the original on 2008-02-27. Diakses tanggal 2020-01-21.
- ^ Briggs, Mark (2015-05-07). "Europe 'Ă la carte': The whats and whys behind UK opt-outs". www.euractiv.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-21.
- ^ "Text of the 'Edinburgh Agreement'". The Independent (dalam bahasa Inggris). 2012-10-15. Diakses tanggal 2020-01-22.
- ^ "Poland to join UK in EU rights charter opt-out". EUobserver (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-22.