Pendidikan nonformalPendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.[1] Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[2] Contoh pembelajaran nonformal termasuk sesi renang untuk balita, program olahraga berbasis komunitas, dan program yang dikembangkan oleh organisasi seperti Pramuka, Pandu Putri, komunitas atau kursus bimbingan belajar, program olahraga atau kebugaran, seminar profesional, dan pengembangan profesional berkelanjutan.[3] Tujuan pembelajar pada pendidikan nonformal ini mungkin untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan, serta merasakan imbalan emosional yang terkait dengan peningkatan kecintaan terhadap suatu mata pelajaran atau peningkatan gairah untuk belajar.[4] SejarahPerdebatan mengenai nilai relatif pembelajaran formal dan informal telah berlangsung selama beberapa tahun. Secara tradisional, pembelajaran formal berlangsung di sekolah atau universitas dan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan pembelajaran informal, seperti pembelajaran di tempat kerja. Konsep pembelajaran formal sebagai norma pembelajaran yang diterima secara sosio-kultural pertama kali diuji oleh Scribner dan Cole[5] pada tahun 1973, yang menyatakan bahwa sebagian besar hal dalam hidup lebih baik dipelajari melalui proses informal, dengan mengutip pembelajaran bahasa sebagai contoh. Selain itu, para antropolog mencatat bahwa pembelajaran yang kompleks masih terjadi di masyarakat adat yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal.[6] Perolehan pengetahuan atau pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari inilah yang belum sepenuhnya dihargai atau dipahami. Hal ini berujung pada deklarasi oleh para menteri pendidikan OECD tentang strategi "pendidikan sepanjang hayat untuk semua"[7] pada tahun 1996. Hal ini mencakup 23 negara dari lima benua, yang berupaya memperjelas dan memvalidasi semua bentuk pembelajaran termasuk formal, nonformal, dan informal. Hal ini dilakukan bersamaan dengan Uni Eropa yang juga telah mengembangkan kebijakan pembelajaran seumur hidup yang sangat berfokus pada kebutuhan untuk mengidentifikasi, menilai dan mensertifikasi pembelajaran non-formal dan informal, khususnya di tempat kerja.[8] SasaranPendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.[2] FungsiFungsi lainnya yaitu mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. JenisPendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B dan Paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.[9] Satuan pendidikan penyelenggara
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.[9] KebutuhanSistem pendidikan formal tidak memadai untuk secara efektif memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat. Kebutuhan untuk menawarkan pendidikan yang lebih banyak dan lebih baik di semua tingkatan, kepada semakin banyak orang, khususnya di negara-negara berkembang, dan kurangnya keberhasilan sistem pendidikan formal saat ini dalam memenuhi semua tuntutan tersebut, telah menunjukkan perlunya mengembangkan alternatif selain pembelajaran. Struktur sekolah formal yang kaku, terutama karena peraturan dan ketentuan daripada berkonsentrasi pada kebutuhan nyata siswa, menawarkan kurikulum yang bersandar pada individu dan masyarakat, jauh lebih mementingkan pelaksanaan program daripada mencapai tujuan yang bermanfaat. Untuk itu diperlukan pendidikan nonformal yang berangkat dari kebutuhan dasar peserta didik, yang bersangkutan dengan penetapan strategi yang sesuai dengan kenyataan.[10] KekuranganPengakuan terhadap pembelajaran non-formal melalui kredensial, diploma, sertifikat, dan penghargaan sangat kurang, sehingga dapat berdampak negatif terhadap peluang kerja yang memerlukan sertifikasi atau gelar tertentu.[11] Pembelajaran nonformal, karena sifatnya yang 'tidak resmi' dan ad-hoc, mungkin juga tidak memiliki kurikulum khusus dengan struktur dan arah yang jelas yang juga berimplikasi pada kurangnya akuntabilitas karena terlalu mengandalkan penilaian diri. Selain itu, seringkali organisasi atau individu yang menyelenggarakan pembelajaran non-formal cenderung adalah guru yang tidak terlatih secara profesional, sehingga berarti mereka memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan guru yang terlatih secara profesional, sehingga akan berdampak negatif terhadap siswa.[12] Lihat pulaReferensi
Rujukan
Pranala luar
|