Pemberontakan Arab
Pemberontakan Arab (bahasa Arab: الثورة العربية Al-Thawra al-`Arabiyya; bahasa Turki: Arap İsyanı) atau Pemberontakan Besar Arab (bahasa Arab: الثورة العربية الكبرى) dimulai pada tanggal 5 Juni 1916 dan dideklarasikan pada 8 Juni oleh Syarif Hussein bin Ali[3] dengan maksud untuk memerdekakan diri dari Kesultanan Utsmaniyah dan mendirikan negara Arab bersatu yang terbentang dari Aleppo di Suriah hingga Yaman. Tentara Syarif yang dipimpin oleh Hussein dan Hasyimiyah, dengan dukungan militer dari Pasukan Ekspedisi Mesir Britania, berhasil melawan dan mengusir kehadiran militer Ottoman dari sebagian besar Hijaz dan Transyordania. Pemberontakan tersebut akhirnya merebut Damaskus dan mendirikan Kerajaan Arab di Suriah, sebuah monarki berumur pendek yang dipimpin oleh Faisal, putra Hussein. Setelah Perjanjian Sykes – Picot, Timur Tengah kemudian dipecah oleh Inggris dan Perancis menjadi wilayah mandat dan bukan menjadi negara Arab bersatu, dan Inggris mengingkari janji mereka untuk mendukung negara Arab merdeka yang bersatu. Sebaliknya, wilayah Ottoman yang mayoritas penduduknya Arab di Timur Tengah dipecah menjadi sejumlah mandat Liga Bangsa-Bangsa, yang dikendalikan bersama oleh Inggris dan Prancis. Di tengah perpecahan Kesultanan Utsmaniyah, wilayah daratan Kesultanan Utsmaniyah yang dikalahkan di Anatolia berada di bawah pendudukan militer gabungan oleh Sekutu yang menang, meskipun pendudukan ini secara bertahap dipatahkan oleh Perang Kemerdekaan Turki, yang membentuk Republik Turki saat ini. Latar belakangKebangkitan nasionalisme di Kesultanan Utsmaniyah yang dimulai pada tahun 1821. Kemudian memicu nasionalisme Arab yang berakar di Mashriq, khususnya di wilayah Syam. Pada tahun 1913, para intelektual dan politisi dari Mashriq bertemu di Paris pada Kongres Arab Pertama. Mereka menghasilkan serangkaian tuntutan untuk otonomi yang lebih besar dan kesetaraan dalam Kesultanan, seperti menggunakan bahasa Arab untuk pendidikan dasar dan menengah di tanah Arab, wajib militer untuk bangsa Arab di masa damai agar bertugas di dekat wilayah asal mereka dan mengusulkan tiga menteri dari bangsa Arab di kabinet Utsmaniyah. Sementara kaum nasionalis Turki yang ingin melihat Turki sebagai kelompok dominan di dalam sistem Kekaisaran Utsmaniyah, yang memusuhi para pemimpin Arab dan mendorong mereka untuk berpikir dalam istilah nasionalistik yang sama. Walaupun pemberontakan Sherif cenderung dianggap sebagai pemberontakan yang berakar dari gagasan nasionalis sekuler Arab, Sherif tidak bergantung pada gagasan tersebut dan malah menuduh bahwa kaum Turki Muda telah melanggar nilai-nilai Islam dan mengajak Muslim Arab untuk melancarkan pemberontakan suci melawan pemerintah Utsmaniyah.[4] PasukanPasukan Ottoman di Hijaz berjumlah 20.000 orang pada tahun 1917. Saat pecahnya pemberontakan pada bulan Juni 1916, Korps VII, Satuan Darat Ke-4 ditempatkan di Hijaz untuk bergabung dengan Divisi Infanteri ke-58, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ali Necib Pasha, Kuvvie-Mürettebe (Pasukan Sementara) ke-1 dipimpin oleh Jenderal Mehmed Cemal Pasha, yang bertugas menjaga jalur kereta api Hejaz dan Pasukan Ekspedisi Hejaz (Turki: Hicaz Kuvve-i Seferiyesi), yang berada di bawah komando Jenderal Fakhri Pasha. Dalam menghadapi meningkatnya serangan terhadap jalur kereta api Hijaz, Kuvve i Mürettebe ke-2 dibentuk pada tahun 1917. Pasukan Ottoman mencakup sejumlah unit Arab yang tetap setia kepada Sultan-Khalifah dan berperang dengan baik melawan Sekutu. Kelemahan terbesar pasukan Utsmaniyah adalah mereka berada di ujung jalur perbekalan yang panjang dan lemah berupa jalur kereta api Hijaz, dan karena kelemahan logistik mereka, seringkali terpaksa berperang dalam posisi bertahan. Serangan Ottoman terhadap pasukan Hashemite lebih sering tersendat karena masalah pasokan dibandingkan tindakan musuh. Kontribusi utama Pemberontakan Arab terhadap perang ini adalah untuk menembaki puluhan ribu pasukan Ottoman yang mungkin digunakan untuk menyerang Terusan Suez dan menaklukkan Damaskus, sehingga memungkinkan Inggris untuk melakukan operasi ofensif dengan risiko serangan balik yang lebih rendah. Ini memang merupakan pembenaran Inggris untuk mendukung pemberontakan, sebuah contoh perang asimetris dalam buku teks yang telah dipelajari berkali-kali oleh para pemimpin militer dan sejarawan. SejarahRevolusiKekaisaran Ottoman mengambil bagian dalam teater Timur Tengah pada Perang Dunia I, di bawah ketentuan Aliansi Ottoman-Jerman. Banyak tokoh nasionalis Arab di Damaskus dan Beirut yang ditangkap dan disiksa. Bendera perlawanan dirancang oleh Sir Mark Sykes, dalam upaya menciptakan perasaan "ke-Arab-an" untuk mengobarkan pemberontakan. AkibatBritania Raya menyetujui Korespondensi McMahon–Hussein bahwa mereka akan mendukung kemerdekaan Arab jika mereka memberontak melawan Ottoman. Namun, Inggris dan Perancis mengingkari perjanjian awal dan membagi wilayah tersebut berdasarkan Perjanjian Sykes – Picot tahun 1916 dengan cara yang dirasa tidak menguntungkan bagi negara Arab. Yang lebih membingungkan lagi adalah Deklarasi Balfour tahun 1917, yang menjanjikan dukungan bagi “rumah nasional” Yahudi di Palestina. Rangkaian peristiwa ini sering kali dianggap sebagai pengkhianatan terhadap bangsa Arab oleh Inggris. Untuk jangka waktu singkat, wilayah Hijaz di Arabia barat menjadi sebuah negara yang mendeklarasikan dirinya sendiri, tanpa diakui secara universal, di bawah kendali Hussein. Meskipun Ibn Saud dan Hussein sama-sama menerima bantuan Inggris, wilayah tersebut akhirnya ditaklukkan oleh Ibn Saud pada tahun 1925, sebagai bagian dari kampanye militer dan sosiopolitiknya untuk penyatuan Arab Saudi. Pemberontakan Arab dipandang oleh para sejarawan sebagai gerakan nasionalisme Arab terorganisir pertama. Ini untuk pertama kalinya mempertemukan kelompok-kelompok Arab yang berbeda dengan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kemerdekaan dari Kekaisaran Ottoman. Sebagian besar sejarah kemerdekaan Arab bermula dari pemberontakan yang dimulai dengan kerajaan yang didirikan oleh Hussein. Setelah perang, Pemberontakan Arab mempunyai implikasi. Sekelompok orang dimasukkan ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada apakah mereka pernah berperang dalam pemberontakan dan pangkat mereka. Di Irak, sekelompok perwira Syarif dari Pemberontakan Arab membentuk partai politik yang mereka pimpin. Kaum Hashemite di Yordania masih dipengaruhi oleh tindakan para pemimpin Arab yang melakukan pemberontakan. Catatan kaki
|