Pada pertengahan bulan Maret 2019, beberapa serangan oleh penembak senjata api dilaporkan membunuh[3] 160 orang penggembala Fulani di Mali tengah. Kekerasan utama terjadi segera setelah pemerintah Mali menyerang sistem sel teroris Islam di negara tersebut. Dua desa, yaitu desa Ogossagou dan desa Welingara, adalah sasaran penyerangan tersebut.[4]
Pembantaian tersebut menyebabkan protes besar-besaran di Mali terhadap anggapan bahwa pemerintah tidak bertindak, dan menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Soumeylou Boubèye Maïga dan kabinetnya.
Latar belakang
Para penggembala Fulani telah mengalami konflik yang semakin meningkat dengan kelompok lain di sekitarnya memperebutkan tanah dan akses air untuk menghidupi ternak mereka.[5][6] Konflik-konflik ini diperburuk adanya perubahan iklim, menurunnya kualitas tanah, serta pertumbuhan populasi.[7]
Menurut media daring African Arguments, "Meskipun hanya sebagian kecil dari orang Fulani yang secara aktif mendukung kelompok Islamis tersebut, propaganda ini telah berhasil mengasosiasikan keseluruhan masyarakat Fulani dengan para pelaku kekerasan tersebut, yang akhirnya memperparah lingkaran kekerasan yang ada."[7]
Serangan-serangan
Serangan-serangan terjadi pada dua desa Fulani bernama Ogossagou dan Welingara. Menurut pejabat pemerintahan Mali setempat, serangan-serangan tersebut dilakukan oleh para pemburu suku Dogon bersenjatakan senjata api dan golok.[8] Para penyerang menuduh para warga desa Fulani terkait dengan para pejihad dan menyatakan bahwa serangan tersebut adalah pembalasan dari serangan al-Qaeda terhadap pangkalan militer Mali pada minggu sebelumnya yang menyebabkan 23 tentara Mali gugur. Saksi mata menyatakan bahwa hampir semua gubuk di kedua desa tersebut dibakar habis.[6]
Akibat
Setelah penyerangan tersebut, presiden Mali, Ibrahim Boubacar Keïta, memecat kepala staf angkatan bersenjata, Jenderal M'Bemba Moussa Keita dan kepala pasukan darat Jenderal Abdrahamane Baby.[9] Perserikatan Bangsa Bangsa mengumumkan pada tanggal 26 Maret bahwa mereka akan mengirim regu penyelidikan tempat kejadian perkara.[10]
Presiden Keïta memerintahkan milisi etnis Dogon yang diduga bertanggungjawab atas penyerangan tersebut, yaitu Dan Na Ambassagou, agar dibubarkan.[7] Human Rights Watch juga menuduh milisi tersebut bertanggungjawab, meskipun kepala kelompok tersebut menyangkal keterlibatan mereka.
Penasehat Khusus PBB tentang Pencegahan Genosida, Adama Dieng, memperingatkan adanya peningkatan rasialisisasi konflik tersebut.[11] Mereka mencatat bahwa pada tanggal 26 Maret, 6 orang warga Dogon dibunuh sedangkan 20 warga lain diculik oleh pelaku yang diduga sebagai warga Fulani bersenjata di desa Ouadou dan Kere Kere.[11][12]
Pada tanggal 30 Maret, pemerintah Mali menahan lima terduga penyerang yang sebelumnya sempat dirawat sebagai penyintas serangan tersebut.[13]
Referensi