Pemandangan dua gunung (istilah lain: pemandangan gunung kembar, gunung kembar legendaris) adalah pola lukisan umum yang digambar oleh anak TK atau SD di Indonesia. Lukisan ini biasanya menggambarkan dua gunung, jalan, sawah, dan matahari. Anak-anak Indonesia dipercaya akan menggambar pemandangan ini setiap diberi tugas oleh guru untuk menggambar dengan tema bebas atau pemandangan alam. Selain objek-objek tersebut, terdapat objek-objek lain yang mungkin menyertainya dalam sebuah gambar anak-anak, seperti awan, rumah, pohon, dan rumput.[1][2][3]
Semua pelukis cilik pemula umumnya menggunakan susunan ini dalam melukis pemandangan gunung, yaitu dua gunung dengan matahari yang sedang terbit (atau terbenam) di tengahnya. Akan tetapi, pelukis cilik yang telah mahir memperlihatkan eksplorasi di luar pakem tersebut. Menurut Soesatyo (1979), lukisan ini merupakan salah satu gaya lukisan anak yang cenderung membuat simetris hal-hal yang sebenarnya tidak simetris.[4]
Sejarah
Pemandangan dua gunung ini dipercaya berasal dari ajaran Tino Sidin, seorang seniman kenamaan Indonesia dari Tebing Tinggi, Sumatera Utara.[a] Pada tahun 1980-an, ia menjadi pembawa acara Gemar Menggambar di TVRI yang berusaha untuk meningkatkan kemampuan menggambar anak-anak Indonesia. Acara ini begitu populer di kalangan anak-anak kala itu. Salah satu metode menggambar yang disiarkan adalah menggambar pemandangan dua gunung dengan sawah di bawahnya. Pola gambar ini kemudian menjadi acuan bagi guru-guru dalam mengajar dan menurun hingga kini di antara anak-anak Indonesia.[5]
Kritik
Pembuatan gambar pemandangan dua gunung yang secara tidak langsung menjadi standar di sekolah-sekolah disebut sebagai sebentuk pengekangan terhadap kemampuan daya cipta anak dan kebebasan berpikir. Anak dididik untuk malu atau takut menjadi berbeda atau unik. Beberapa guru seni bahkan mewajibkan anak-anak untuk menggambar pemandangan dua gunung dan tidak diberikan kebebasan untuk menggambar objek lain, yang dipandang alih-alih mengembangkan kemampuan anak-anak dalam membuat karya seni, justru membunuh kreativitas anak-anak itu sendiri. Pemandangan ini juga dianggap tidak memperlihatkan keragaman tempat bagi anak-anak yang tinggal di daerah dengan kondisi geografis lain seperti pesisir, padang rumput, atau bahkan perkotaan. Sebagian menganggap pemandangan dua gunung ini merupakan propaganda untuk melanggengkan gagasan bahwa Indonesia adalah negara agraris.[6]
Pemandangan dua gunung ini juga dianggap sebagai suatu gejala sosial berupa pengulangan terus-menerus pola gambar oleh anak-anak. Pengulangan ini dianggap dapat menghambat perkembangan daya cipta anak. Pengajar kesenian disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai fenomena ini.[3]
Pengangkatan
Kreavi, situs berbagi karya kreatif Indonesia, pernah membuat tantangan untuk menggambar ulang pemandangan dua gunung sekreatif mungkin yang diikuti oleh para desainer grafis dan ilustrator. Hal ini dilakukan untuk menyambut Hari Anak Nasional tahun 2020.[7]
Persikup Kulon Progo pada tahun 2021 mengangkat gambaran pemandangan dua gunung untuk jersitandang. Gambaran dua gunung diletakkan di bagian dada jersi.[8]
Keterangan
^Terdapat kemungkinan gambar pemandangan dua gunung legendaris di Indonesia lebih tua dari ini, dan Tino Sidin berperan sebagai seniman yang membantu penyebarluasannya melalui tayangan televisi.