Patih Udara
Patih Udara / Maudhara / Andura adalah seorang Patih atau Perdana Menteri (apatih amangkubhumi) kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.[1] Udara menurut catatan Portugis diketahui sebagai seorang pemegang kekuasaan terakhir sisa-sisa kerajaan Majapahit pada tahun 1498–1527,[2] Majapahit Kediri yang Dipimpin Patih Maudhara ditaklukkan oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527,Dikarenakan Raden Patah tidak ingin Majapahit jatuh diluar Dinasti Rajasa.Berdasarkan Babad Sumenep ,Pada Masa pemerintahan Patih Udhara bersaing dengan Ratu Ratna Pembayun (Putri Sulung Brawijaya V) yang berkedudukan Di Japan/ Dekat Kota Mojokerto. SejarahMenurut keterangan Babad Tanah Jawi, Patih Udara merupakan anak dari Patih Wahan, dan semula menjabat sebagai seorang adipati di Kediri.[1] Wahan adalah patih yang mendampingi raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya di awal masa pemerintahannya.[3] Kemudian pada tahun 1498, Patih Wahan digantikan oleh Patih Udara mendampingi Ranawijaya sebagai apatih amangkubhumi (perdana menteri) hingga masa akhir Majapahit. Seorang penjelajah Portugis bernama Tomé Pires, mencatat kesaksian dan informasi yang dia dapatkan selama melakukan perjalanan ke penjuru Asia termasuk ke Jawa, antara tahun 1512-1515. Pires dalam catatannya yang disebut Suma Oriental, menyebutkan bahwa raja pada saat itu, Batara Vojyaya (Batara Wijaya atau Brawijaya, identik dengan Dyah Ranawijaya), sudah tidak memiliki pengaruh dan hanya merupakan pemimpin simbolis saja. Sedangkan pemerintahan efektif dipegang oleh Patih Udara, yang disebut dengan gelarnya yaitu Guste Pate (atau Gusti Patih) atau Pate Andura. Guste Pate menurut Pires disebut memiliki kekuasaan yang dominan dalam pemerintahan dan merupakan penguasa de facto Majapahit.[4] Meskipun secara formal, Udara hanya menjabat sebagai patih (viso rey) dan panglima perang, dia sangat disegani sehingga dianggap hampir seperti raja. Udara juga mengukuhkan kekuasaan melalui hubungan kekerabatan. Udara menikah dengan putri dari penguasa Blambangan yaitu Pate Pimtor (Menak Pentor), menikahkan putrinya dengan Batara Vojyaya, dan menempatkan putranya Pate Sepetat (Menak Sapetak) sebagai penguasa Gamda (Pasuruan). Udara menjadi pemimpin tertinggi yang menggalang perlawanan sisa-sisa Majapahit terhadap penguasa-penguasa Islam di pesisir utara Jawa, terutama Demak.[4] Secara umum, masa akhir Majapahit hingga keruntuhannya belum dapat dirangkai secara pasti, termasuk detail masa kekuasaan Batara Wijaya, serta Patih Udara sebagai pemegang kekuasaan. Sebelum masa yang dicatat Tomé Pires yaitu antara tahun 1512-1515, penguasa terakhir yang dicatat menghasilkan sumber primer adalah Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, dengan isinya adalah anugerah raja kepada pendukungnya dalam perang saudara melawan Bhre Kertabhumi. Berita dari Dinasti Ming tahun 1498 juga menyebutkan masih adanya hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).[5] Penjelajah Portugis lain yaitu Duarte Barbosa pada tahun 1518 menyebutkan adanya seorang "raja kafir" yang masih berkuasa di pedalaman Jawa yang namanya disebut sebagai 'Pateudra'.[6] Legenda dan fiksiDalam lakon wayang klithik Jawa Timur serta dalam naskah Serat Langendriya Episode Damarwulan Ngarit (no. kat. D.166) dan Serat Lampahan Damarwulan Ngarit (no. kat. G.162) koleksi Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunagaran, Surakarta, tokoh Patih Udara disebutkan sebagai ayah dari Damar Wulan. Ia adalah bekas patih Majapahit yang mengudurkan diri, yang posisinya digantikan oleh adiknya yaitu Patih Logender.[7] Pada cerita fiksi Nagasasra Sabuk Inten karya S.H. Mintardja, terdapat tokoh raja terakhir Majapahit bernama Hudhara yang bergelar Brawijaya VII, yang disebutkan memberikan izin kepada Raden Patah untuk memindahkan pusat kerajaan Majapahit ke Demak.[8] Lihat pulaReferensi
|