Pas-ta'ai
Pas-ta'ai (Chinese: 矮靈祭; pinyin: Ǎilíngjì), “Ritual adat untuk Orang-orang Pendek”, adalah ritual orang Saisiyat, satu kelompok penduduk asli Taiwan. Ritual ini memperingai Ta'ai, satu suku orang-orang berkulit gelap dan pendek yang menurut mereka pernah hidup di dekat mereka. Ritualnya diselenggarakan setiap dua tahun dan semua orang Saisiyat diharapkan berpartisipasi. SejarahRitual Pas-ta'ai konon telah dipraktikkan selama 400 tahun dan semula dipraktikkan setiap tahun selama musim panen. Upacara ini pertama kali tercatat di tahun 1915 dalam Surveys of the Customs of Barbarian Tribes (Survey Adat Istiadat Suku-suku Barbar) oleh para peneliti yang bekerja di bawah pemerintah kolonial Jepang. Di bawah pemerintahan Jepang, frekuensinya dikurangi menjadi satu kali setiap dua tahun. Menurut antropologis dan pembuat film, Hu Tai-li, dari Institut Etnologi di Academia Sinica, tradisinya telah mati sampai pada titik sebagian besar hanya para tetua Saisiyat yang dapat mempraktikkan ritualnya; namun selama 20 tahun terakhir, tradisinya telah direvitalisasi dalam lingkup gerakan penduduk asli Taiwan yang lebih besar dan juga melalui perhatian orang luar yang semakin meningkat.[1] Upacara adat Pas-ta’ai resmi dirancang sebagai Peninggalan Budaya Taiwan di tahun 2009 dan 2010 secara berturut-turut. Selama bertahun-tahun, himpunan kekuatan luar tertentu memberi akibat negatif pada ritualnya, termasuk campur tangan yang tak pantas di bagian sektor administratif pemerintahan, peliputan media yang bias, perilaku wisatawan yang tak pantas, dan menjamurnya sampah. LegendaAda versi yang sedikit berbeda mengenai mitos sekitar ritual. Menurut satu legenda Saisiyat, orang-orang pendek, yang berkulit gelap, tingginya kurang dari satu meter, dan hidup di sisi seberang sungai, luar biasa pandai bernyanyi dan menari dan diundang ke berbagai pesta panen Saisiyat, dan terlibat dalam hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan. Namun, orang-orang pendek sangat tinggi nafsu berahinya dan sering menggoda para perempuan Saisiyat. Satu hari, seorang pemuda Saisiyat memutuskan untuk membalas dendam karena tingkah yang tak terhormat ini. Mereka memotong pohon kokoh yang menjadi tempat beristirahat orang-orang pendek. Semua orang pendek, kecuali dua tetua, terjatuh dari tebing dan meninggal. Kedua tetua yang selamat mengajarkan lagu-lagu dan tarian-tarian ritual Pas-ta’ai pada Saisiyat lalu pergi ke Timur. Tak lama kemudian, orang-orang Saisiyat menderita kelaparan, yang mereka kaitkan dengan roh-roh orang kerdil yang mendendam. Untuk menenangkan roh-roh itu, orang Saisiyat mulai menyelenggarakan Pas-ta’ai dan memohon ampun. Sebagai tambahan, orang Saisiyat akan menjadi pekerja keras, adil, jujur, dan toleran saat berhubungan dengan yang lain.[2] Dalam versi lain, kedua tetua orang-orang pendek mengutuk Saisiyat, yang kemudian memohon ampun. Para tetua bersedia mengampuni asalkan orang Saisiyat mempraktikkan tarian orang-orang pendek untuk menenangkan roh-roh orang mati. Kalau tidak, panen orang Saisiyat akan gagal dan layu.[1] Menurut legenda, orang-orang pendek memiliki keterampilan magis dan membawa keberuntungan pada Saisiyat jika diperlakukan dengan hormat atau ditangani dengan baik urusannya.[2] Upacara adatUpacara adat secara tradisional merupakan tanggung jawab keluarga Titiyon Saisiyat. Upacaranya diselenggarakan di Danau Shiangtian, Desa Donghe, Kotapraja Nanzhuang (kelompok yang berhubungan dengan upacara adat di bagian Selatan) dan di Desa Taai, Kotapraja Wufeng (kelompok yang berhubungan dengan upacara adat di bagian utara). Ritualnya diadakan selama tiga hari tiga malam, selama bulan purnama pada bulan lunar ke-10 (pertengahan Oktober), dan terjadi dua kali setahun – ritual pertama diadakan dalam periode 10 tahun akan lebih besar dan lebih penting.[2][3] Upacara adat di bagian selatan diadakan satu hari lebih cepat daripada di bagian utara, dan keduanya sedikit berbeda dalam detailnya. Satu atau dua bulan sebelum ritual, kedua kelompok mengirim delegasi mereka untuk memutuskan tanggal yang tepat untuk menyelenggarakan ritual, sekitar hari kelima belas bulan kesepuluh dalam kalender lunar. Persiapan dimulai dan lagu-lagu adat, yang dilarang dalam acara-acara lain, dipraktikkan. Ritual, tarian-tarian, dan lagu-lagu yang dipertunjukkan dalam Pas-ta’ai itu rumit, terdiri dari lima fase: raraol (menyambut roh-roh), kisirinaolan (memperlakukan roh-roh ), kisitomal (menghibur roh-roh), papatnawasak (mengejar roh-roh) dan papaosa (mengantarkan roh-roh). Setelah kelima fase itu adalah "upacara pascaritual", yang mengakhiri upacara adat.[2] Kostum-kostum tradisional dengan berbagai hiasan dan bel (yang memungkinkan koneksi pada dunia roh) dikenakan untuk upacara adat. Ilalang perak dipergunakan untuk memberikan keamanan rohani dan mengusir kejahatan. Berbagai tabu dalam suku diamati dengan cermat selama upacara adat; Tradisi Saisiyat memberlakukan siapapun yang bertingkah buruk selama upacara adat akan menderita peristiwa buruk.[1] Asal mulaOrang-orang Kecil yang digambarkan berkulit gelap dengan perawakan seperti orang kerdil telah menggiring pada teori dan asosiasi dengan orang Negrito dari Asia Tenggara. Saat ini tak ada kesepakatan ilmiah mengenai apakah Orang-orang Kecil ini asal mula praAustronesia, jika memang keberadaan mereka benar. Sebagian antropologis berpendapat mungkin mereka orang-orang ras Australoid yang tiba dari Afrika selama awal pemencaran bagian Selatan sekitar 60.000 tahun yang lalu.[4] Orang-orang Tsou, Bunun, dan Paiwan dari Taiwan (di antara yang lainnya) juga memiliki tradisi oral keberadaan orang-orang pendek seperti kerdil yang memiliki ciri-ciri antropomorfik yang sama dengan orang Negrito, kemungkinan menimbulkan pikiran penyebaran keberadaan Negrito di Taiwan sebelum migrasi orang Austronesia, meskipun tidak ditemukan bukti fisik yang mendukung keberadaan mereka. Sebuah kajian genetik tahun 2019 yang membandingkan penanda genetik Negrito Filipina dengan beberapa masyarakat adat Taiwan tidak mendapatkan kesimpulan dalam temuan-temuannya; "Peleburan mendalam B4b1a2 dalam Negrito Filipina, Saisiyat, Atayal, Pulau Asia Tenggara, dan Asia Tenggara mengesankan akar leluhur yang sama secara mendalam, tapi tidak dapat mendukung keberadaan Negrito masa lalu di Taiwan. Sebaliknya, komponen budaya dan mtDNa haplogrup D6a2 yang sama dalam Negrito Saisiyat, Atayal dan Filipina menandai ciri khas Negrito di Taiwan. Meskipun variasi molekuler D6a2 memastikan keberadaannya di Taiwan jauh ke masa pertengahan Neolitik, penanda lainnya, Y-SNP haplogrup C-M146 dan K-M9, menjamin analisis yang lebih jauh."[4] Antropologis Gregory Forth berpendapat bahwa asal mula yang sama terdapat di antara tradisi orang Taiwan dan cerita Melayu-Polinesia yang serupa dengan orang-orang kecil.[5] Teori-teori lain konon mengatakan bahwa "Orang Kecil" itu mungkin budak Afrika yang dibawa oleh para pedagang Eropa selama dasawarsa 1600an. Surat-surat dikirimkan oleh para pedagang Belanda yang mengunjungi Taiwan dalam dasawarsa 1600an menyebutkan keberadaan "orang pendek" di pulau.[1] Lihat jugaBacaan lebih lanjut
Referensi
Pranala luar |