Park Yung-hyo
Park Young-hyo (Hangul: 박영효; Hanja: 朴泳孝; 12 Juni 1861 – 21 September 1939) adalah seorang politikus, aktivis, dan diplomat Korea selama masa Dinasti Joseon. Ia dikenal sebagai seorang reformis yang memimpin upaya modernisasi dan memainkan peran penting dalam gerakan reformasi politik pada masa transisi Korea menuju modernitas. Ia merupakan salah satu yang memimpin Kudeta Gapsin, sebuah upaya kudeta yang gagal, pada tahun 1884. Karena keterlibatannya dalam gerakan pro-Jepang selama penjajahan Korea, sebagian orang mencapnya tidak nasionalis. Kehidupan awalPark Young-hyo lahir pada 12 Juni 1861 di Suwon, Gyeonggi-do dari pasangan Park Won-yang, seorang hakim, dan Jeonju Lee. Keluarganya merupakan keluarga bangsawan (yangban).[1] Pada umur dua belas tahun, ia menikah dengan Putri Yeonghye, putri Raja Cheoljong. Ini membuatnya menjadi Pangeran Permaisuri Geumneung yang berkesempatan untuk menjadi suksesi Dinasti Joseon, namun ia tidak tertarik.[2] KarierKetika Park Young-hyo berusia 23 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Jepang, menemani Min Young-ik dan Kim Ok-gyun untuk mewakili Korea dalam negosiasi.[2] Dalam perjalanan inilah diyakini Taegeukgi, bendera pertama Korea, pertama kali dipakai.[3] Setibanya di sana, Park sangat terkesima dengan perkembangan dan kemajuan luar biasa Jepang di segala bidang. Pada masa itu, Jepang telah mengadopsi peradaban ilmiah Barat. Ini merupakan pertama kalinya Park membuka mata dengan dunia Barat.[2] Pada tahun 1884, ia bersama dengan teman-teman reformisnya dari Partai Pencerahan berupaya menggulingkan pemerintah dan melakukan reformasi gaya Barat.[4] Kudeta ini berlangsung selama tiga hari dan berakhir gagal ketika pasukan Tiongkok datang menghentikan.[5] Kemudian ia melarikan diri ke Jepang dan dari sana, ia terus menggaungkan reformasi Korea.[1] Setelah Jepang menduduki Istana Gyeongbokgung, Park kembali ke Korea pada 23 Agustus 1894. Setibanya di Seoul, ia meminta otoritas diskursif untuk mereformasi negara menjadi Gojong, namun tidak mampu memperoleh kekuasaan politik yang besar.[6] Menyusul kemenangan Jepang dalam Pertempuran Pyongyang, akhirnya Park dan sekutunya memperoleh kemerdekaan politik. Selanjutnya, Park berhasil mengatur kudeta Heungseon Daewongun, yang berusaha menjadikan Yi Jun-yong sebagai raja. Ia kemudian diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri di Kabinet Kim Hong-jip Kedua setelah mendapatkan kepercayaan Gojong dan menteri Jepang. Kekuasaannya dapat dikatakan menyaingi kekuasaan Perdana Menteri.[7] Karena tidak senang menjadi boneka Jepang, Park kemudian membangun ruang bawah tanah politiknya sendiri, namun gagal dan harus kembali melarikan diri ke Jepang. Setelah Park dicopot, kabinet baru menjadi pro-Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris.[8] Referensi
|