Porhalaan (Surat Batak: ᯇᯒᯬ᯲ᯂᯞᯀᯉ᯲) atau Parhalaan (Surat Batak: ᯇᯒ᯲ᯂᯞᯀᯉ᯲) merupakan salah satu naskah kuno pada masyarakat Batak Toba[a] yang berisi tentang almanak atau kalender untuk mengetahui waktu (nama bulan baik-buruk dan nama hari baik-buruk). Pengetahuan atas waktu tersebut nantinya menjadi referensi buat mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Contoh, ketika hendak melangsungkan pesta pernikahan. Lewat Parhalaan, akan diketahui kapan bulan baik itu dan pada hari baik apa pesta tersebut seharusnya dilangsungkan. Tidak hanya kegiatan saja, Orang Batak Toba pada masa lampau juga memanfaatkan Parhalaan dalam rangka memaknai kejadian-kejadian alam dan masalah-masalah yang terjadi pada manusia dalam waktu-waktu tertentu.[1]
Filosofi
Parhalaan terdiri dari dua belas bulan yang masing-masing berjumlah tiga puluh hari. Penggunaan kalender Batak tidak dalam rangka penanggalan, melainkan dipakai untuk meramalkan hari-hari ke depan (panjujuron ari). Inilah sebabnya Orang Batak kuno tidak pernah mengetahui angka tahun karena memang mereka tidak pernah menghitungnya, tidak seperti kalender Masehi, Kalender Hijriyah atau Kalender Cina yang kita kenal dan kita gunakan saat ini.[2] Pada intinya Porhalaan merupakan manifestasi kesadaran orang Batak terhadap fenomena-fenomena alam, perbintangan, gerak matahari, perjalanan bulan yang berputar mengelilingi bumi.[3]
Masyarakat Batak tempo dulu pada umumnya dan orang Toba khususnya meyakini bahwa ada hari dan bulan yang baik yang bersifat menguntungkan. Sebaliknya ada juga yang buruk dan dianggap merugikan atau bahkan bisa mencelakakan mereka. Pengetahuan hari dan bulan yang baik atau buruk dijadikan pedoman untuk menyelenggarakan upacara-upacara adat, keagamaan, dan kegiatan-kegiatan lain yang dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Parhalaan kata dasarnya adalah ''hala". Arti hala menunjuk kepada seekor binatang seperti kalajengking yang mampu mematikan manusia lewat bisanya yang beracun. Bisa pada kalajengking terdapat pada mulut dan ekornya, untuk itu haruslah dihindari.[5] Nantinya, dalam pembacaan Parhalaan, hari yang harus dihindari adalah pada notasi kepala, punggung dan ekor kalajengking. Sedangkan untuk hari baik adalah pada bagian perut kalajengking.[6] Orang biasa tidak akan bisa membaca notasi-natasi tersebut. Yang bisa membaca dan menafsirkannya hanyalah Datu. Setiap Datu berbeda-beda dalam menafsirkan Parhalaan, mengingat yang membuatnya juga adalah si Datu itu sendiri.[7]
Datu tidak bisa menafsirkan hari baik-buruk dan bulan baik-buruk dengan hanya menggunaan Parhalaan saja. Datu juga harus memahami juga penggilingan dan pane na bolon. Ketiganya, Parhalaan-Pane Na Bolon-Panggilingan saling berkaitan. Hari atau bulan baik menurut Parhalaan belum tentu baik menurut Panggilingan. Bisa juga buruk menurut Parhalaan dan Panggilingan ternyata baik menurut Pane Na Bolon. Maka biasanya Datu akan menggunakan ketiga pustaha tersebut sebagai pedoman dalam menafsirkan hari baik-buruk yang nantinya akan digunakan untuk memilih hari yang tepat dalam melakukan suatu upacara atau kegiatan. Panggilingan sendiri merupakan keterangan tentang arti dari hari-hari baik dan yang kurang baik. Sedangkan Pane Na Bolon merupakan penjelasan tentang posisi waktu dan tempat yang baik di mana bagusnya upacara diadakan sesuai arah mata angin. Jadi pemahaman singkatnya adalah Parhalaan adalah tentang hari atau bulan baik-buruk, Panggilingan adalah penjelasan tentang arti dari hari atau bulan baik-buruk tadi, sedangkan Pane Na Bolon berbicara tentang tempat yang baik-buruk.
Media & Jenis
Kertas sudah masuk ke Tanah Batak pada akhir abad ke-19.[8] Namun, jauh sebelum mengenal kertas[b], Datu-datu Batak menulis Parhalaan di atas media bambu, tulang binatang dan kulit kayu[lower-alpha 3][lower-alpha 3][lower-alpha 3][lower-alpha 3][lower-alpha 3][lower-alpha 3][lower-alpha 3]M[c]. Maka terdapat tiga jenis media Parhalaan: Bulu Parhalaan, Holi Parhalaan dan Pustaha Parhalaan. Yang pertama adalah Parlahan yang ditulis di atas media bambu. Bambu yang dipilih harus yang bisa untuk diukir. Parhalaan model ini sering juga disebut Bulu Suraton. Lalu ada Holi Parhalaan yang terbuat dari tulang bagian paha atau bagian kaki binatang: babi, sapi atau kerbau. Sengaja dipilih tulang paha atau kaki, mengingat bagian tersebut keras dan tidak mudah pecah atau retak ketika diukir. Media Parhalaan yang terakhir terbuat dari kulit kayu. Kulit kayu ini harus panjang dan lebarnya kurang lebih 30-40 cm. Kulit kayu biasanya dari pohon alim atau hau alim (aquilaria malaccensis).[9] Ini agar Pustaha Parhalaan dapat dengan mudah dilipat dan bentuknya menyerupai buku.
Untuk alat tulisnya para Datu menggunakan sejenis lidi yang terbuat dari daun enau. Orang Batak menyebutnya sebagai Tarugi. Sedangkan untuk tintanya, dipakailah campuran antara getah dan kayu-kayu yang sebelumnya telah dibakar terlebih dahulu. Untuk getah diperoleh dari berbagai macam tumbuh-tumbuhan. Tinta Batak ini disebut juga dengan Baja.[10] Sumber lain mengatakan, bahwa Baja sesungguhnya adalah endapan asap pada pembakaran kayu pohon damar. Selain sebagai tinta, Baja juga digunakan dalam ritual untuk menghitamkan gigi anak kecil yang sudah beranjak dewasa.[11]
Komunitas masyarakat Batak Toba mengenal empat jenis Pustaha Parhalaan jika dilihat dari biusnya[d]. Keempat Pustaha Parlahan yang dimaksud adalah: Pustaha Sibaganding di bius Balige, Pustaha Parbuhitan di bius Uluan, Pustaha Situahoda di bius Pangururan, dan Pustaha Sitiga-bulan di sebagian besar bius di Tanah Batak. Pustaha Sitiga-bulan merupakan Parhalaan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Batak. Hal ini karena bentuknya sederhana dan lebih mudah dimengerti[12]
Isi
Berikut ini adalah nama-nama bulan, hari, jam (waktu) dan nama mata angin dalam Parhalaan atau Kalender Batak.[13]
Nama Bulan
Bulan dalam Parhalaan secara sederhana dinamakan dengan urutan angka dalam bahasa Batak. Misal, untuk bulan pertama berarti dalam bahasa Bataknya adalah bulan si pahasada (atau ditulis si paha sada), bulan kedua disebut bulan (paha) si pahadua (atau ditulis si paha dua), dan begitu seterusnya sampai bulan ke sepuluh. Kecuali bulan sampai sepuluh, untuk bulan sebelas dan dua belas masing-masing disebut bulan li dan bulan hurung[14]
Bulan dalam kalender Batak vs Masehi
Bulan Batak
No
Indonesianya
Bulan Masehi
No Bulan Masehi
Si Paha Sada
1
Bulan Satu
April
4
Si Paha Dua
2
Bulan Dua
Mei
5
Si Paha Tolu
3
Bulan Tiga
Juni
6
Si Paha Opat
4
Bulan Empat
Juli
7
Si Paha Lima
5
Bulan Lima
Agustus
8
Si Paha Onom
6
Bulan Enam
September
9
Si Paha Pitu
7
Bulan Tujuh
Oktober
10
Si Paha Walu
8
Bulan Delapan
November
11
Si Paha Sia
9
Bulan Sembilan
Desember
12
Si Paha Sampulu
10
Bulan Sepuluh
Januari
1
Si Paha Sampulu Sada (atau Li)
11
Bulan Sebelas
Februari
2
Si Paha Sampulu Dua (atau Hurung)
12
Bulan Dua Belas
Maret
3
Mata Angin
Sejak dahulu Masyarakat Batak sudah memiliki pengetahuan tentang arah mata angin. ada delapan penjuru mata angin, yang terbagi dalam empat induk dan empat anak mata angin. Empat induk terdiri dari Purba (Timur), Dangsina (Selatan), Utara dan Pastima (Barat). Sedangkan empat anak mata angin adalah Anggoni (Tenggara), Nariti (Barat Daya), Manabila (Barat Laut), dan Irisanna (Timur Laut). Pengetahuan tentang delapan arah mata angin tersebut dipakai ketika hendak melakukan perjalanan atau mau mengadakan suatu upacara.
Parhalaan dalam hal ini tidak bisa ditafsirkan tanpa memahami letak posisi pane na bolon (atau hala godang) terlebih dahulu Menurut kepercayaan masyarakat Batak kuno, pane na bolon merupakan sinar menyerupai kilat yang digambarkan sebagai naga lumajang atau ular besar yang panjang. Diperkirakan panjangnya seperempat dari lingkaran bumi dan mengitari delapan penjuru mata angin tadi, mulai dari arah barat menuju ke selatan, lalu ke timur, ke utara (induk rnata angin) lalu kemudian balik lagi ke barat. Pengitaran berlaku selama setahun. Setiap 3 bulan pane na bolon berhenti lebih lama di setiap induk mata angin. Orang Batak pantang melakukan kegiatan apa pun pada posisi menghadap ke kepala dan membelakangi pane na bolon. Posisi pane na bolon sendiri diketahui lewat nama-nama bulan seperti telah diuraikan di atas.
Jam dan waktu
Istilah-istilah pembagian waktu dalam Parhalaan:
Binsar Mata Ni Ari: Matahari Terbit
Tarbakta: Satu Jam Setelah Matahari Terbit
Tarbakta Raja: Satu Jam Sebelum Matahari Terbit
Moraos: Satu Jam Sebelum Siang
Tingkos: Siang Hari
Guling: Dua Jam Setelah Siang Hari
Guling Dao: Empat Jam Setelah Siang Hari
Potang: Lima Jam Setelah Siang Hari
Lusut Mata Ni Ari: Matahari Terbenam
Atia Mardahan: Senja
Atia Mangan: Waktu Makan Malam
Sampe Modom: Waktu Tidur
Tonga Bomging: Tengah Malam
Menjalang Andostrang: Subuh
An dos Siang: Pagi
Satu hari dalam Parhalaan adalah 24 jam. Pagi dimulai pada pukul 06.00 (saat matahari terbit) dan malam dimulai pada pukul 18.00 (saat matahari terbenam). Sedangkan perhitungan satu malam mulai pukul 18.00 sore sampai pukul 06.00 esok hari. Hal ini berbeda dengan pergantian hari dalam kalender Masehi, dimana hari baru dimulai setelah pukul 24.00. Berikut Istilah-istilah dalam 24 jam:
1. Binsar Mata ni Ari = Pukul 01.00 pagi
2. Pangului = Pukul 07.00 pagi
3. Tarbakta = Pukul 08.00 pagi
4. Tarbaktaraja = Pukul 09.00 pagi
5. Sagang = Pukul 10.00 pagi
6. Humarahos = Pukul 11 .00 siang
7. Hos Pukul 12.00 siang
8. Guling Pukul 13.00 siang
9. Guling Dao = Pukul 14.00 siang
10. Tolu Gala = Pukul 01.00 sore
11. Dua Gala = Pukul 16.00 sore
12. Sagala = Pukul 17.00 sore
13. Mate Mate ni Ari = Pukul 18.00 sore/magrib/matahari terbenam
14. Samon = Pukul 19.00 malam
15. Hatiha Mangan = Pukul 20.00 malam/waktu makan
16. Tungkap Hudon = Pukul 21.00 malam
17. Sampe Modom = Pukul 22.00 malam
18. Sampe Modom na Bagas 23.00 malam
19. Tonga Borngin = Pukul 24.00 tengah malam
20. Haroro ni Panangko =Pukul 01.00 malam
21. Tahuak Manuk I = Pukul 02.00 malam/kokok ayam ke I
22. Tahuak Manuk II = Pukul 03: 00 subuh/kokok ayam ke II
23. Buha-Buha Ijuk = Pukul 04.00 subuh
24. Torang Ari=Pukul 05 .00 pagi
Nama Hari
Jumlah hari dalam setiap bulan adalah 30 sesuai peredaran bulan. Terbitnya bulan diawali pada hari pertarna (Artia) dan berakhir pada hari ke-30 disetiap bulannya.
Minggu
Hari ke
Nama Hari
Pertama
1
Artia
2
Suma
3
Anggara
4
Muda
5
Boraspati
6
Sikkora
7
Samisara
Kedua
8
Artia ni Aek
9
Suma ni Mangadop
10
Anggara Sampulu
11
Mudani Mangadop (Halial)
12
Boraspati Tinangkup
13
Sikkora Purnama
14
Samisara Purnama
Ketiga
15
Tula (Bulan Purnama)
16
Suma ni Holom
17
Anggara ni Holom
18
Muda ni Holom
19
Boraspati ni Holom
20
Sikkora Maraturun
21
Samisa Mora Turun
Keempat
22
Attian ni Anggara
23
Sumani Mate
24
Anggara ni Begu
25
Muda ni Mate
26
Boraspati ni Gok
27
Sikkora Duduk
28
Samisara Bulan Mate
29
Hurung
30
Li
Jurnlah hari dalam setahun pada Parhalaan adalah sebanyak 355 hari, lebih banyak sepuluh hari pada kalender Masehi (365 hari). Untuk itu Parhalaan mengenal bulan Lamadu yang diperkirakan hadir dalam tiga tahun sekali, yakni antara hari ke-29 akhir tahun dengan hari pertama awal bulan pada tahun keempat. Maka jika dihitung-hitung jumlah hari selama tiga tahun dalam tahun Masehi akan sama banyaknya dengan jurnlah hari dalam Parhalaan jika ditambah bulan Lamadu..
Penerapan
Parhalaan sering digunakan untuk menentukan hari baik atau buruk sebagai pedoman pelaksanaan berbagai tradisi adat Batak. Beberapa diantaranya adalah kelahiran, pernikahan, kematian, membuka huta (kampung), memasuki rumah baru, pertanian dan masih banyak lagi. Peran Datu sangat penting, mengingat hanya merekalah yang memiliki pengetahuan tentang Perhalaan. Oleh karena itu masyarakat Batak begitu sangat menghormati Datu Parhalaan. Masyarakat Batak menyebut Datu yang mengerti Parhalaan sebagai Datu Parhalaan. Keilmuan Datu dalam Perhalaan sifatnya diwariskan secara turun-temurun. Jika si Datu memiliki murid atau pengikut, maka merekalah yang diwarisi ilmu Parhalaan milik gurunya itu.[15]
Kelahiran dan Pasca Lahir
Di bawah ini beberapa contoh apa yang dilakukan Datu bagi anak yang baru lahir dengan berpedoman pada Kalender Batak.
Kelahiran. Jika misalnya si bayi hari lahirnya ternyata pada hari yang kurang baik, biasanya si Datu Parhalaan akan menangkal hari yang kurang baik itu.
Pemberian Nama. Jika orang tua telah menyiapkan nama si bayi, Datu Parhalaan akan menentukan apakah nama tersebut bagus atau tidak. Datu Parhalaan juga akan menentukan makanan apa yang baik untuk disuguhkan pada acara pemberian nama itu.
Penyembuhan. Jika si bayi terlahir sakit-sakitan, maka Datu akan melakukan upaya-upaya terkait dengan pengobatan, mulai dari penyebab, apa nama penyakitnya, resep atau obat apa yang cocok buat si bayi, termasuk hal-hal apa saja yang harus dilakukan orang tua si bayi demi kesembuhannya .
Peramalan. Dengan berpedoman Parhalaan, sang Datu bisa meramalkan nasib si bayi ke depan, meramalkan berapa lama sehatnya si bayi, atau bagaimana rezekinya. Sebenarnya masih banyak lagi bentuk ramalan-ramalan si Datu. Intinya, jika ramalannya buruk, maka Datu akan melakukan upaya atau memberikan petunjuk agar terjadi hal-hal yang baik ke depan.
Pernikahan
Proses pernikahan orang Batak terdiri dari beberapa tahapan prosesi, mulai dari Martandang, Meminang, Tukar cincin, Marhata Sinamot (membicarakan uang mahar kedua belah pihak keluarga), Martonggo Raja, Pesta kawin (mangadati), Manugkir Tanggu dan yang terakhir Panlak Une. Hari pelaksanaan tiap prosesi ditentukan oleh Datu Parhalaan.
Upacara Kematian
Orang Batak terdahulu meyakini bahwa Datu Parhalaan mampu melihat atau mengartikan hari apa seseorang meninggal, Lewat kalender Batak Datu juga bisa menentukan apakah kematian itu perlu dipestakan atau tidak, makanan apa saja yang boleh disajikan jika pesta diadakan.
Kegiatan Pertanian
Selain digunakan atau menjadi pedoman dalam proses daur hidup (lahir-meninggal), Parhalaan juga dijadikan petunjuk bagi Masyarakat Batak dalam kegiatan pertanian (musim tanam, panen dan lain sebagainya). Dalam Parhalaan terdapat keterangan tentang musim. Biasanya sejak bulan Sipaha Sada (April) sampai dengan Sipaha Lima (Agustus) masyarakat tidak melakukan kegiatan di sawah. Selama lima bulan itu musim tidak memungkinkan. Contoh, pada bulan Sipaha Sada (April) diperkirakan terjadi musim panas dan angin bertiup kencang selama sebelas hari.
Kegiatan di sawah baru dimulai pada akhir bulan Sipaha Lima (Agustus) atau pada awal bulan Sipaha Onom (September). Dalam periode tersebut mereka mulai mengolah tanah dengan mencangkul. Lalu pada bulan Sipaha Pitu (Oktober) mereka mulai membajak sawahnya. Hal ini kerena pada bulan tersebut akan turun hujan deras. Para petani lalu mulai menanam benih padi pada bulan Sipaha Walu (November). Sebulan kemudian (Oktober) biasanya pekerjaan mengolah sawah sampai menanam padi telah rampung. Pada bulan ini mereka merumput dan memberi pupuk untuk padi. Pada bulan ini juga diadakanlah upacara mamele, atau memberi sesajen kepada roh-roh nenek moyang dengan perantaraan Datu. Hal ini dilakukan agar hasil yang mereka tanam memuaskan, hasilnya berlimpah.
Selanjutnya pada bulan Li biasanya turun hujan lebat, bunyi halilintar dan kilat sambung menyambung yang terkadang bisa merubuhkan tanaman padi di sawah. Pada bulan Hurung (Maret) seluruh kegiatan selesai dikerjakan. Sambil menunggu panen mereka biasanya menganyam tikar, wadah tempat padi dan memperbaiki peralatan pertanian yang rusak. Mereka juga mengadakan upacara agar tanaman tidak rusak. Musim panen sendiri dimulai pada bulan Juni (Sipaha Tolu). Setelah panen mereka mengadakan upacara panen (gotilon) dengan memberikan sesajen sebagai wujud ucapan terima kasih atas hasil pertanian mereka.
Parmalim
Saat sekarang Parhalaan sudah jarang digunakan.[16] Kelompok Batak yang sampai sekarang masih menggunakan Kalender Parhalaan adalah Parmalim. Parmalim merupakan penganut aliran kepercayaan yang ajarannya berdasarkan pada leluhur nenek moyang orang Batak.[17] Penggunaan Parhalaan oleh Parmalim salah satunya adalah ketika melakukan ritual keagamaan yang disebut sebagai Sipaha Lima. Ritual ini dilangsungkan setahun sekali pada bulan lima menurut kalender batak, atau bulan Agustus jika dalam kalender Masehi. Upacara ini diadakan sebagai bentuk rasa syukur umat atas rezeki, rahmat dan karunia yang telah diberikan Debata Mulajadi na Bolon selama setahun.[18] Dalam ritual itu Parmalim berdoa, menari, menyerahkan sesembahan, dan tidak lupa turut mendengarkan petuah dari pimpinan mereka (disebut juga Ihutan). Upacara Sipaha Lima berlangsung selama tiga hari dan tentu saja menggunakan bahasa Batak.[19]
Catatan
Catatan kaki
^Joustra membagi suku bangsa Batak atas enam subsuku. Dia mendasarkan pembagiannya atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan dialek diantara masing-masing subsuku, sebagai berikut: Batak Karo, di bagian utara Danau Toba; Batak Pakpak atau Dairi di bagian barat Tapanuli; Batak Timur atau Simalungun di timur Danau Toba; Batak Toba di tanah Batak pusat dan di utara Padang Lawas; Batak Angkola di Angola, Sipirok, Padang Lawas Tengah dan Sibolga bagian Selatan. (Simanjuntak (2006), hlm. 18)
^Surat Sisimangaraja XII ditulis dengan pena di atas kertas dan tidak digores pada permukaan bambu (Kozok (2009), hlm. 166)
^Diantara 500 naskah Batak yang ada di berbagai koleksi di Jerman, naskah kulit kayu dan bambu yang paling banyak, yakni masing-masing sebesar 43%, sedangkan naskah tulang 12%, dan naskah kertas hanya 2% (Kozok (2009), hlm. 29)
^Bius merupakan paguyuban yang terdiri dari beberapa Horja. Bius adalah paguyuban dengan kekuasaan dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu, sebagai penguasa irigasi, keagamaan, tertib hukum dan pengayoman hukum pertanahan (hak ulayat). (Ganda (2012))
Referensi
^Pelawi, dkk (1992), hlm. 88 :"Parhalaan" dapat diartikan sebagai kalender atau penanggalan untuk mengetahui waktu, termasuk nama-nama hari dan nama-nama bulan yang dianggap oleh masyarakat Batak Toba mengandung arti baik maupun arti buruk ...".
^Kozok (2009), hlm. 52 : “Kalender tersebut tidak pernah dipakai untuk penanggalan melainkan untuk tujuan meramal hari yang disebut panjujuron ari ...".
^Gultom (2014), hlm. 202 : “Porhalaan atau penanggalan ini adalah manifestasi kesadaran orang Batak terhadap fenomena alam, perbintangan, gerak matahari, perjalanan bulan yang mengelilingi bumi ...".
^Pelawi, dkk (1992), hlm. 88-89 : “Menurut kepercayaan pada masyarakat Batak Toba khusus-nya, apabila akan memulai sesuatu kegiatan dalam kehidupan sehari-hari harus melihat "parhalaan" lebih dahulu ...".
^Pelawi, dkk (1992), hlm. 88 : “Parhalaan" berasal dari kata hala" ditambah awalan par dan akhiran an ...".
^Pelawi, dkk (1992), hlm. 90 : “Menurut kepercayaan masyarakat Batak umumnya dan Batak Toba khususnya, bahwa hanya “datu" yang mampu membuat, membaca dan mengetahui arti dari lambang-Jarnbang itu ...".
^DB, Ditin (17 Desember 2015). "Pustaha Lak-lak". kemdikbud. Diakses tanggal 20 April 2019.
^Pelawi, dkk (1992), hlm. 89-93 : “Sebelum masyarakat Batak mengenal kertas, alat yang mereka gunakan untuk menuliskan sesuatu adalah bambu, tulang binatang dan kulit kayu ...".
^Fadlan (2013), hlm. 5 : “Baja adalah endapan asap pada pembakaran kayu pohon damar ...".
^Pelawi, dkk 1992, hlm. 93 : “Baja adalah endapan asap pada pembakaran kayu pohon damar ...".
^Pelawi (2009), hlm. 96-103 : “Untuk mengetahui letak posisi "pane na bolon" pada saat tertentu, masyarakat Batak juga memiliki pengetahuan tentang nama-nama bulan yang berjumlah 12 bulan dalam 1 tahun ...".
^Kozok (2009), hlm. 52 : “Bulan dihitung dengan mengurutkannya sebagai bulan pertama (bulan sipaha sada), kedua (sipaha dua, dan seterusnya hingga bulam ke sepuluh...".
^Pelawi, dkk (1992), hlm. 108-118 : “Parhalaan atau kalender Batak ini digunakan untuk menentukan hari baik dalam melaksanakan upacara. Banyak upacara yang dilakukan dalam hidup manusia seperti upacara kelahiran, upacara perkawinan dan upacara kematian ...".
^Gultom (2014), hlm. 202 : “Meski di masa sekarang porhalaan jarang dipergunakan ...".
^Kozok (1999), hlm. 55 : “Kelompok Batak yang sampai sekarang masih menggunakan Parhalaan adalah Parmalim ...".
Simanjuntak, Bungaran Antonius (2006). Struktur sosial dan sistem politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi, Budaya Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 18. ISBN979-461-584-6.
Pelawi, Kencana S.; Sitanggang, Hilderia; Tobing, Nelly (1992/1993). Parhalaan Dalam Masyarakat Batak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)
Kozok, Uli (2009). Surat Batak, Sejarah Perkembangan Tulisan Batak Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII (edisi ke-1). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN978-979-91-0153-2.
Kozok, Uli (1999). Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN979-9023-33-5.