Sejarah Panggung dimulai dengan cerita sesepuh-sesepuh desa yang tidak tercatat dalam dokumen resmi pemerintahan desa baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan cerita tersebut merupakan cerita turun temurun yang dilakukan antar generasi.
Ada 2 Versi sejarah tentang Panggung versi ke-1 Cerita Berdasarkan Keterangan Dari Juru Kunci Makam Mbah Panggung (M. HASAN MUTTAMIMI Alm) dan versi ke-2 Cerita Berdasarkan Keterangan Dari Sesepuh, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama Wilayah Kelurahan Panggung
Versi 1 Cerita Berdasarkan Keterangan Dari Juru Kunci Makam Mbah Panggung
( M. HASAN MUTTAMIMI Alm )
Mbah Panggung dikenal sebagai sosok ulama karismatik yang menyebarkan Islam di wilayah Kota Tegal, jauh sebelum Kota Tegal ada. Cerita perjalanan hidupnya pun memiliki sejumlah versi.
Berdasarkan salah satu versi yang dituturkan dari mulut ke mulut melalui juru kunci, Mbah Panggung hidup pada kurun waktu abad ke-4 hingga 6. Nama aslinya adalah Syekh Abdurrahman.
Seperti kebanyakan ulama yang datang ke Pulau Jawa untuk berdakwah, Mbah Panggung berasal dari Jazirah Arab. Ia pertama kali menginjakkan kaki di sebuah pulau tak berpenghuni yang saat ini menjadi Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur.
Di pulau itu, Mbah Panggung tinggal untuk berdakwah, hingga wafat. Makamnya kemudian didatangi ribuan peziarah tiap Bulan Syakban saat digelar haul dan pengajian untuk memperingati wafatnya.
Juru kunci makam Mbah Panggung, Hasan Mutamimi, mengatakan, nama Mbah Panggung merujuk pada tempat tinggal semasa hidup yang berupa pulau karang yang menjulang tinggi di tengah-tengah laut dan masih terpisah dengan Pulau Jawa.
"Karena tempatnya tinggi di atas permukaan laut, seperti panggung, orang-orang yang tahu keberadaan beliau sering menyebut,'Itu Mbah-mbah yang ada di panggung'. Konon dari situ asal muasal sebutan Mbah Panggung," kata Hasan.
Menurut Hasan, syiar Islam yang dilakukan Mbah Panggung tidaklah mudah. Pada awalnya Mbah Panggung harus berdakwah dengan pendekatan perorangan.
Mbah Panggung juga harus lebih dulu mendayung perahu ke pesisir Pulau Jawa yang kemudian menjadi wilayah Kota Tegal. Tak hanya di Kota Tegal, dakwah yang dilakukannya juga sampai ke Kabupaten Brebes.
"Kondisi masyarakat pada saat itu masih ada yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme," kata Hasan.
Selain melalui pendekatan perorangan, Mbah Panggung juga berdakwah dengan cara membaur di masyarakat. Apa yang dilakukan masyarakat saat itu, seperti bercocok tanam, selalu diikuti Mbah Panggung.
"Dakwah diselipkan saat sedang berbaur mengikuti aktivitas masyarakat. Misalnya orang nandur beliau ikut nandur dan memberikan pelajaran-pelajaran nandur, ini lho caranya nandur. Jadi tidak hanya lisan, tapi juga praktik," ujar Hasan.
Masih kuatnya kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat juga tidak membuat Mbah Panggung berdakwah dengan keras. Mbah Panggung lebih sering mengedepankan kelembutan dan keteladanan. "Dakwahnya jauh dari tekanan dan kekerasan," kata Hasan.
Hasan mengungkapkan, Mbah Panggung pernah mendirikan padepokan ketika mulai banyak masyarakat yang datang ke tempat tinggalnya untuk menimba ilmu. Sayangnya, tidak ada jejak terkait keberadaan padepokan itu. "Dulu padepokan, kalau sekarang pondok pesantren," ucapnya.
Terkait keturunan Mbah Panggung, Hasan mengaku tidak mengetahuinya. Namun, diyakini Mbah Panggung memiliki istri. Perempuan yang dinikahinya itu berasal dari Jawa. "Tidak ada catatan mengenai silsilahnya," pungkas Hasan.
Selain dikenal dengan nama Syekh Abdurrahman, Mbah Panggung juga dikenal nama Syekh Malang Sumirang berdasarkan versi lain terkait asal usulnya. Syekh Malang Sumirang berasal dari Kesultanan Demak, sebelum tiba dan menyiarkan Islam di sebuah wilayah Tegal yang masih berupa hutan lebat. Nama Mbah Panggung konon berasal dari keberadaan pohon-pohon dengan ranting-ranting (pang) berukuran besar (agung).
Versi 2 Cerita Berdasarkan Keterangan Dari Sesepuh, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama Wilayah Kelurahan Panggung
Di bawah rerimbunan pohon kamboja, makam itu tampak menonjol dari kejauhan. Agaknya memang sengaja dibangun dalam kapasitas keistimewaan tersendiri, karena bentuknya seperti makam raja-raja Jawa. Lokasi makam itu juga diberi benteng tembok sebagai pembatas dari makam-makam lainnya. Itulah makam Sunan Panggung atau orang Tegal menyebutnya Mbah Panggung. Makam Mbah Panggung terletak di wilayah Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Siapakah sebenarnya Mbah Panggung atau Sunan Panggung itu? Dia adalah sama orangnya dengan Sunan Drajat, salah seorang Walisanga. Putra dari Sunan Ngampel atau Raden Rachmat dari istri yang berasal dari Campa. Dia, termasuk pangeran terpandai diantara saudaranya. Ia tidak suka berdiam diri di dalam istana kerajaan dibanding dengan Sunang Bonang, saudaranya, yang lebih suka mendekam di istana.
Sebaliknya Sunan Panggung justru lebih memilih jalan pengembaraan untuk memperdalam ilmu Agama Islam. Namun dalam pengembaraannya itu, semakin hari perbuatannya semakin tak dimengerti banyak orang dan segala hukum agama diterjang. Misalnya, ekspresi diri yang berwujud nafsu ‘luwamah’ dan ‘amarah’-nya itu, telah ia keluarkan dari badan wadagnya berwujud anjing hitam dan anjing merah. Kedua anjing itu senantiasa mengikuti ke mana tuannya melakukan perjalanan. Anjing yang hitam diberi nama ‘Imam’, sedang anjing yang merah dia berinama ‘Tauhid’. Kalau misalnya Sunan Panggung pergi ke sebuah mushola atau masjid, kedua anjing tersebut mengikuti dan duduk di belakang tuannya sambil mendengarkan tuannya mengaji atau melakukan sholat. Tingkah lakunya yang neka-neka dan aneh-aneh itu, menyebabkan banyak orang tidak menyukai dan mencela habis-habisan.
Namun perbuatan itu tidak digubrisnya hingga menjadi sebuah berita yang menggemparkan. Sementara Sunan Bonang yang pernah mengikuti perjalanan Sunan Panggung ke suatu daerah, melihat ajaran yang menyimpang dari Agama Islam. Maka ia pun melapor kepada para Walisanga dan Sultan Bintoro (Demak). Mendengar laporan itu, para Walisanga mengadakan musyawarah besar- besaran di Demak untuk membahas tingkah laku Sunan Panggung. Dalam musyawarah itu, hadir juga Sultan Demak. Sunan Panggung kemudian dipersalahkan telah berlaku kafir dan kufur. Maka atas usulan Sunan Bonang, Sultan Panggung harus menjalani hukuman mati dengan cara dibakar di ‘tumangan’ (api unggun). Hal itu dikarenakan, Sunan Panggung dipersalahkan telah meninggalkan sarak Nabi atau syariat serta memberikan pelajaran ilmu sejati dengan menjalankan shalat daim yaitu shalat di dalam batin. Dipanggilnya Sunan Panggung ke Demak untuk menjalani hukuman itu. Sunan Panggung menyanggupi dengan syarat ada utusan yang datang untuk memanggul dua anjing piaraannya yang katanya sedang sakit. Syarat itu dipenuhi, Sultan Demak mengutus abdi dalem untuk datang ke tempat pengembaraan Sunan Panggung.
Walau pekerjaan itu sangat hina, namun abdi dalelm Kerajaan Demak sendiko dawuh. Berangkatlah ia ke hadapan Sunan Panggung, dan tidak berapa lama mereka menghadap Sultan Demak dan para Walisanga. Setelah Sunan Panggung tiba di Demak, diberitahukan tentang hasil kebulatan musyawarah para Walisanga dimana ia harus menjalani hukuman mati dengan jalan dibakar. Ternyata, Sunan Panggung tidak gentar sedikitpun karena semua itu adalah kehendak Tuhan. Detik-detik berikutnya, para abdi dalem mengumpulkan kayu bakar dan tidak lama api berkobar-kobar.
Pelaksanaan hukuman pembakaran Sunan Panggung yang terjadi tahun 1452 itu disaksikan oleh para abdi dalem dan lapirasan masyarakat Bintoro. Sebelum Sunan Panggung melaksanakan hukuman bakar diri itu, dia meminta restu pada Sultan Demak agar disediakan ‘nasi tumpeng’.Permintaan itu dikabulkan, akan tetapi setelah nasi itu diberikan, dilempar ke tengah-tengah api yang menyala-nyala. Sertamerta kedua anjing piaraannya memburu masuk ke alam kobaran api. Ajib! Kobaran api yang membara, padam dan kedua anjing itu ke luar dari tumpukan kayu dengan selamat dan tidak terluka sama sekali. Para Walisanga dan Sultan Demak menjadi terkesima.
Di tengah kemasgulan itu, Sultan Demak berkata: “Duh ta paman, sampun nyumerepi ing keh lampah élok; nanging maksih kirang utaminé lamun mboten andika pribadi kang umanjing agni; kirang antepipun dèné among asusilih kirik lan tarumpah karo” yang artinya ‘Duh Paman, sudah kami saksikan peristiwa yang masgul; akan tetapi masih belum sempurna kalau bukan paduka pribadi yang masuk ke dalam kobaran api; kurang meyakinkan jika hanya diganti oleh anjing dan nasi tumpeng saja’. Dengan tenang Sunan Panggung berkata: “Duh Jeng Sultan sampun kuatir, manira pribadi kang umanjing latu” yang artinya: ‘Duh Paduka Sultan, jangan kuatir, kalau saya sendiri yang bakal masuk ke dalam bara api’.
Permintaan pelaksanaan hukuman mati bagi Sunan Panggung pun datang dari adiknya yang tahu bagaimana kesaktian dia. Yaitu agar hukuman tersebut dilaksanakan dengan sempurna, dan hendaklah dia sendiri yang menjalankannya. Permintaan adiknya yang menjadi Ratu Bintoro (Demak) itu dipenuhi juga dengan satu permintaan agar kepadanya diberi kertas dan tinta. Sebab ia hendak menulis sesuatu pedoman agar nantinya dapat diterima dihadirat Tuhan. Selanjutnya, setelah api dinyalakan kembali oleh Patih Demak, Sunan Panggung mengambil alat tempat duduk dan menaruhnya di tengah- tengah api. Segeralah dia terjun ke dalam api dengan diikuti oleh kedua anjingnya.Setelah api padam, musnahlah Sunan Panggung berikut kedua anjingnya dengan meninggalkan sebuah suluk (pedoman) yang belakangan dikenal orang dengan nama ‘Suluk Malang Sumirang’.
Maksud dari sulut tersebut adalah suatu peringatan kepada para orang muda agar jangan buru-buru mengambil keputusan terhadap seseorang yang nampaknya menyalahi segala hukum (Malang Sumirang) dan tidak menurut syareat sebagai kafir dan kufur. Sebab, mungkin orang itu pada hakekatnya lebih berdekatan dengan Tuhan. Begitulah sepenggal kisah Sunan Panggung atau Mbah Panggung yang juga bernama Syech Abdulrachman dengan gelar Sunan Geseng, Sunan Drajat atau Pangeran Panggung (kata Pangeran berasal dari kata ‘pengerehan atau pemimpin’). Nama Drajat dari Mbah Panggung adalah nama waktu kecil. Namun sejauh itu, para ahli sejarah tidak seorangpun yang menetapkan di mana ia bertempat tinggal yang membekas, atau di mana ia meninggal dunia atau dimakamkan. Makam Mbah Panggung yang ada di Tegal itu, bisa jadi hanyalah sebuah petilasan. Tapi ajaibnya, dari berbilang tahun, makam itu seperti telah menjadi sebuah mitos.
Keberadaannya memiliki daya sedot luar biasa bagi para peziarah. Tidak hanya dari kalangan masyarakat biasa, melainkan berbagai pejabat dari manapun berdatangan. Sedemikian kharismatiknya Mbah Panggung, sampai masyarakat di sana pun begitu alergi terhadap kesenian wayang. Entah kenapa hal itu terjadi, konon kabarnya Mbah Panggung kurang suka terhadap kesenian wayang digelar di wilayahnya karena merupakan daerah kesucian atau keputihan. Masyarakat Panggung kemudian percaya, pertunjukkan wayang akan mengundang bencana dan dhemit. Itulah sebabnya, dari berabad lamanya masyarakat Panggung tak pernah berani menanggap wayang. Sampai sekarang, para dalang pun mempercayai kalau Panggung menjadi daerah pamali.