Negeri di Bawah Kabut
Negeri di Bawah Kabut (bahasa Inggris: The Land Beneath the Fog) adalah film dokumenter asal Indonesia yang dirilis pertama kali pada tahun 2011. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Shalahuddin Siregar, memotret kehidupan masyarakat petani yang hidup di Desa Genikan di kaki Gunung Merbabu. Latar BelakangDalam wawancaranya dengan filmindonesia.or.id, Shalahuddin "Udin" Siregar mengaku telah lama mengetahui Desa Genikan sejak ia tergabung pada organisasi pecinta alam di kampus, ia pertama kali melintasi desa ini pada pendakiannya ke Gunung Merbabu tahun 1997. Pada tahun 2006, ia baru tertarik mengenal penduduk desa lebih dekat, bukan hanya sekadar pendaki yang melintas sejenak, saat itulah ia tinggal bersama keluarga Sudardi dan Muryati, pasangan muda yang kemudian hari menjadi lakon dalam karyanya. Ide cerita film ini Udin dapat setelah melihat salah seorang warga desa yang menghancurkan kubis hasil panennya karena harga jualnya yang hanya 150 rupiah per kilogram.[1] Untuk mewujudkan karyanya, Udin sebelumnya pernah mengirim proposal untuk mengikuti Jiffest Script Development namun ditolak, dengan pengembangan berbeda ia kembali mengirim proposalnya pada tahun 2008 dan kembali ditolak. Proposalnya kemudian diterima oleh Doc Station Berlinale Talent Campus 2009, sebuah loka karya film yang diselenggarakan dalam rangkaian festival film Berlinale di Jerman.[1] Pengembangan kembali dilanjutkan dalam loka karya yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta, Goethe Institut dan Ford Foundation bertajuk 'Indonesia - Ten Years after Reformasi' hingga akhirnya selesai pada tahun 2011.[1] Produksi film ini total menghabiskan waktu lebih dari 4 tahun dengan proses pengambilan gambar selama 115 hari, dilanjutkan penyuntingan selama 18 bulan, menghasilkan footages 118 jam yang kemudian menjadi film berdurasi 105 menit.[1][2] PlotKeluarga Sudardi (32 tahun) dan Muryati (30 tahun) beserta masyarakat lain Desa Genikan di lereng Gunung Merbabu heran mengapa tahun ini hujan turun lebih banyak. Sistem kalender Jawa yang selama ini menjadi rujukan kegiatan tanam masyarakat kini tak lagi relevan dengan perubahan musim, gagal panen dan nilai tukar yang kian tak sebanding dengan biaya produksi menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Di sisi lain, Arifin (12 tahun) terpaksa mengubur mimpinya bersekolah di SMP negeri karena keterbatasan biaya keluarganya meski ia memiliki nilai kelulusan tertinggi di antara teman-temannya. Orang tua Arifin berusaha mencari pinjaman pada tetangga dan kerabatnya yang lain, namun sama-sama hidup dalam keterbatasan, Arifin harus rela sekolah di pesantren dengan biaya yang lebih terjangkau.[3] Kru
Penghargaan
Referensi
|