Nadjamuddin Daeng Malewa dilahirkan pada tahun 1907. Dia dibesarkan di dalam lingkungan keluarga pengusahakapal yang tinggal di Buton. Malewa memiliki darah Makassar dari orangtuanya.[1]
Dia menikah dengan Siti Khodijah binti Daeng Mudhinun. Mereka memiliki 10 orang anak, masing-masing bernama Enny Djausah, Corry Sarsinah, Abdul Rahman Najamuddin, Siti Hamida, Aisyah, Siti Aminah Najamuddin, Siti Sarsinah dan Juwandi Abdulkarim. Tiga yang lainnya tidak diketahui.[2]
Politik
Pada akhir tahun 1920-an, saat kembali ke Makassar, Malewa bergabung dengan Perserikatan Selebes, sebuah organisasi massa pemuda dari berbagai daerah di Sulawesi. Kemampuan berorganisasi yang baik, membuat Malewa dipercaya memimpin Perserikatan Selebes cabang Makassar. Bersama pengurus lainnya, dia mengembangkan Perserikatan menjadi organisasi massa bercorak lokal. Karena latar belakang politik yang sangat beragam dan nilai sosial-budaya daerah perwakilan di dalam organisasi, memunculkan konflik antara "Utara" dan "Selatan". Malewa yang menjadi pemimpin cabang Makassar kemudian mengambil alih, dan mengganti namanya menjadi Partai Selebes. Partai Selebes kemudian bergabung dan menjadi anggota Parindra (Partai Indonesia Raya).[3]
Pada November 1935, Malewa juga membentuk Roekoen Pelayaran Indonesia (Roepelin) sebagai upaya menyaingi Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang memonopoli perdagangan laut di Indonesia. Dia juga mendirikan koperasi; salah satunya yang berhasil adalah Minasa Badji di Makassar. Malewa kemudian keluar dari Parindra karena tidak mendapatkan dukungan untuk menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) utuk periode tahun 1935 hingga 1939. Dia kemudian mendirikan Persatuan Selebes Selatan, dengan sikap loyal pada pemerintah dan bersedia bekerjasama dengan pihak Belanda.
Karier
Setiap kali berpidato, Daeng Malewa mengungkapan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia harus sama rata dan pembangunan negeri sebaiknya dilakukan secara federasi. Gubernur JenderalVan Mook menyambut baik ide tersebut. Van Mook kemudian mengadakan Konferensi Malino pada tanggal 25 Juli 1946 yang diikuti oleh sekitar 70 orang perwakilan dari berbagai daerah, termasuk dari Kalimantan dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur.[3]
Perdana Menteri NIT
Pada tanggal 24 Desember 1946, Negara Indonesia Timur (NIT) dideklarasikan. Pemilihan presiden NIT dilakukan dengan pemungutan suara anggota delegasi. Para calon terdiri dari Tjokorda Gde Raka Soekawati (Bali), Tajoeddin Noer (Sulawesi Selatan), dan Daeng Malewa (Sulawesi Selatan). Perolehan suara Daeng Malewa yang kecil pada putara kedua membuatnya tidak berhasil menjadi presiden.
Soekawati pada akhirnya terpilih sebagai presiden NIT dan Malewa sebagai perdana menteri merangkap MenteriPerekonomian. Dia kemudian menjabat perdana menteri dalam dua periode, dari 13 Januari hingga 2 Juni 1947 untuk periode pertama, dan 2 Juni 1947 hingga 11 Oktober 1947 untuk periode kedua.
Pada tanggal 20 September 1947, Malewa diberhentikan sebagai perdana menteri. Dia diadili dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Pada tanggal 24 September 1947, melalui surat keputusan Residen Zuid-Celebes, dia tidak dapat bermukim di daerah kekuasaan NIT, khususnya daerah yang diberlakukan darurat militer seperti Sulawesi Selatan.[3] Ia meninggal tanggal 5 Januari 1950 di Makassar.[4]