Museum Sri Serindit adalah museum umum yang terletak di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Peresmian Museum Sri Serindit dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2008. Pemilik Museum Sri Serindit adalah Yayasan BP2SN.[1] Pemerintah Kabupaten Natuna menetapkan Museum Sri Serindit sebagai pusat kajian Lembaga Kajian Sejarah Kabupaten Natuna dan sebagai pusat sumber informasi tentang kawasan Laut China bagi para arkeolog Indonesia.[2] Lokasi Museum Sri Serindit adalah di Jalan Tok Ilok Nomor 31, Ranai Darat, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna.[3] Museum Sri Serindit dapat dicapai melalui Bandar Udara Ranai (4,6 km) dan Pelabuhan Penagi (7,9 km). Jenis koleksi utama yang dipamerkan di dalam museum adalah keramik.[4] Koleksi Museum Sri Serindit berupa benda harta karun yang ditemukan di kawasan Natuna dengan jumlah lebih dari 10.000 koleksi benda bersejarah. Koleksi Museum Sri Serindit berasal dari Dinasti Song, Dinasti Yuan, Dinasti Ming, Dinasti Qing, Kedatuan Giri, Kerajaan Thailand, Kerajaan Khmer, Belanda, Persia, Jepang, dan India Selatan serta dari barang pribadi milik Sultan Muda Kesultanan Lingga.[2]
Lokasi
Museum Sri Serindit merupakan salah satu objek wisata yang berlokasi di Ranai Darat, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.[3] Lokasi tepatnya adalah di Jalan Tok Ilok Nomor 31, Ranai Darat, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna. Jalur terdekat untuk mencapai Museum Sri Serindit adalah melalui Bandar Udara Ranai dengan jarak tempuh sejauh 4,6 kilometer dan melalui Pelabuhan Penagi dengan jarak tempuh sejauh 7,9 kilometer.[4]
Pengelola
Kepemilikan dan pengelolaan Museum Sri Serindit sepenuhnya menjadi hak Yayasan BP2N.[1] Museum Sri Serindit menjadi tempat bagi pengenalan sejarah peradaban manusia di dunia. Pemerintah Kabupaten Natuna menetapkan Museum Sri Serindit sebagai salah satu pusat kajian dari Lembaga Kajian Sejarah Kabupaten Natuna. Dalam hal ini, Museum Sri Serindit berperan sebagai tempat penampungan, perawatan dan penjagaan bagi benda-benda peninggalan sejarah yang telah ditemukan maupun yang akan ditemukan di masa depan. Museum Sri Serindit juga dijadikan sebagai pusat sumber informasi tentang kawasan Laut Tiongkok Selatan oleh para pengkaji arkeologi Indonesia. Nama Sri Serindit diperleh dari nama keris pusaka yang dimiliki oleh Datuk Kumbang. Ia merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di kawasan Natuna pada masanya.[2]
Koleksi
Koleksi Museum Sri Serindit berupa benda harta karun yang ditemukan di kawasan Natuna. Museum Sri Serindit memiliki lebih dari 10.000 koleksi benda bersejarah. Sebagian besar koleksi dari Museum Sri Serindit adalah keramik yang telah mencapai usia ratusan tahun. Keramik ini berasal dari Tiongkok, Belanda, Jepang, kawasan Asia Tenggara, benua Eropa dan pulau Jawa. Museum Sri Serindit juga mengoleksi peralatan rumah tangga berupa alat makan yang berbahan kuningan dan tembaga. Peralatan makan berbahan kuningan merupakan koleksi yang disumbangkan oleh masyarakat Kabupaten Natuna. Museum Sri Serindit juga mengoleksi lukisan, pedang, parang, keris, alat perang kuno, koin emas, benda berbahan perak dan perunggu, bebatuan lama, hingga kapak genggam prasejarah pada zaman Neolitikum. Koleksi benda yang ada di Museum Sri Serindit berasal dari abad ke-10 hingga abad ke-20 Masehi. Koleksi tersebut berasal dari Dinasti Song, Dinasti Yuan, Dinasti Ming, Dinasti Qing, Kedatuan Giri, Kerajaan Thailand, Kerajaan Khmer, Belanda, Persia, Jepang, dan India Selatan. Barang pribadi milik Sultan Muda Kesultanan Lingga juga menjadi bagian dari koleksi Museum Sri Serindit.[2]
Referensi
- ^ a b "Sistem Registrasi Museum Kemdikbud". museum.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-06-20. [pranala nonaktif permanen]
- ^ a b c d Pijarkepri.com (2018-09-19). "Melihat Peradaban Manusia di Museum Sri Serindit | Pijar Kepri". Diakses tanggal 2020-06-20.
- ^ a b "Wisata Museum Sri Serindit, Wisata Kepulauan Riau". Trepelin. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-22. Diakses tanggal 2020-06-20.
- ^ a b Rusmiyati, dkk. (2018). Katalog Museum Indonesia Jilid I (PDF). Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. hlm. 110. ISBN 978-979-8250-67-5.