Museum Niat Lima Laras atau dikenal juga dengan Istana Niat Lima Laras adalah situs sejarah peninggalan masyarakat Melayu pesisir yang berusia lebih dari 100 tahun. Museum ini terletak di Dusun 1, Desa Lima Laras, Kecamatan Nibung Hangus, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Sekitar 136km dari kota Medan.[1]
Penamaan
Penamaan istana dengan kata ‘niat’ merupakan sebuah ungkapan niat dari datuk Muhammad Yoeda, sebelumnya kerajaan Lima Laras tunduk pada Kesultanan Siak dan berpindah-pindah. Setelah datok Muhammad Yoeda wafat pada 1919 M, maka berakhirlah kerajaan Lima Laras dan sekarang warisan tersebut dirawat cucunya Datok Muhammad Azminsyah. terdapat bukti-bukti peninggalan barang pusaka seperti tempayan berukir naga, barang pecah belah, pedang dan tombak.[1]
Sejarah
Istana Niat Lima Laras berada di kawasan pemukiman nelayan yang dibangun berawal dari niat seorang Datuk Matyoeda Sri Diraja (Raja Kerajaan Lima Laras XII) yang dikenal dengan nama Datuk Muhammad Yuda, putera tertua dari seorang Raja yaitu Datuk Haji Djafar gelar Raja Sri Indra (Raja Kerajaan Lima Laras XI) yang bertahta pada tahun 1883 - 1919.[1]
Akibat adanya larangan berdagang oleh pemerintah Hindia Belanda, Datuk Matyoeda yang sering berdagang kopra, damar, dan rotan ke Malaka, Malaysia, Singapura, dan Thailand membuat ia seringkali berhadapan dengan pemerintah Hindia Belanda. Sehingga Datuk Matyoeda berniat untuk membangun Istana apabila ia dapat berlabuh dengan selamat di pelabuhan Tanjung Tiram.[2]
Raja kerajaan Lima Laras ke-XII yaitu Datuk Muhammad Yoeda pun mendirikan istana ini pada tahun 1907 dan selesai pada 1912 di saat ia masih bertahta. Pengerjaannya mendatangkan para ahli dari China dengan biaya sebesar 150.000 gulden dengan luas lahan 102x98 meter berbentuk persegi panjang.[1]
Pada tahun 1942, tentara Jepang masuk ke Indonesia dan menguasai Istana tersebut. Pada masa Agresi Militer II, Istana Lima Laras kembali ke Republik Indonesia dan ditempati oleh Angkatan laut dan dijadikan pusat perjuangan.[3]
Bangunan
Bangunan ini memiliki 4 lantai dengan luas sekitar 40x35 meter menghadap ke arah timur yang ditandai dengan adanya pintu. Model atap dan kisi-kisinya berarsitektur melayu dengan 6 anjungan sesuai arah mata angin. Bangunan Istana memiliki 66 pasang jendela dan 28 pintu serta 27 anak tangga yang melingkar di tengah-tengah ruangan.[1]
Bangunan istana mengarah ke arah selatan dan berupa rumah panggung yang dibangun dengan adaptasi arsitektur campuran Eropa, Cina, dan Melayu. Unsur Melayu pada bangunan ini dominan pada bentuk di hiasan di bagian atap, jalusi pintu dan jendela.[4]
Pada lantai pertama terdapat balai dengan ornamen China yang terbuat dari beton dan digunakan untuk musyawarah. Pada lantai 2 dan 3 terdapat beberapa kamar dengan ukuran 6x5 meter yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan dan hanya terbuat dari kayu.[2]
Motif hiasan
Di beberapa bagian bangunan terdapat motif hewan seperti motif itik bertukar menjadi itik pulang petang, jerejak tangga dan jerejak anjung yang ditaksir merupakan gaya seni pada tahun 1907-1912. Selain itu juga terdapat ornamen bergaya melayu dengan motif yang berasal dari bentuk tumbuhan, binatang, nama alam benda, geometris, maupun kombinasi motif. Pada tahun 1920-1923, adanya penambahan seni motif yang mengambil dari motif yang terdapat pada kain tenun songket. Motif tersebut antara lain motif tepak sirih, pucuk betikam, pucuk perak, pucuk pandan dan pucuk caul.[5]
Saat ini, kondisi bangunan museum memprihatinkan. Lantai istana tidak terlalu bersih di hampir sudut bangunan, baik di atas maupun di bawah bangunan, kayu-kayunya sudah lapuk dan terdapat beberapa sudut dinding yang sengaja ditempeli kayu papan seadanya, catnya mulai kusam, atapnya juga menganga dan berlubang.[3]
Referensi