Mukhtaran MaiMukhtaran Bibi (مختاران بیبی, lahir sekitar 1972) adalah seorang perempuan Pakistan dari sebuah desa kecil dan miskin Meerwala, yang terletak di tehsil (kabupaten) pedesaan Jatoi di Distrik Muzaffargarh, Pakistan. Ia juga dikenal sebagai Mukhtar Mai, Mukhtiar atau Mukhtaran saja. Ia diperkosa beramai-ramai atas tuntutan orang-orang sesukunya — atau, menurut sebagian laporan, atas perintah panchayat (dewan kesukuan) — dari sebuah klan setempat yang dikenal sebagai Mastoi. Klan Mastoi dilaporkan pernah bertikai sengit dengan klan Mukhtaran, Tatla. Ringkasan cerita, berdasarkan catatan pengadilanLaporan-laporan berita memuat cerita yang sangat berbeda-beda tentang kejadian pemerkosaan tersebut. Karenanya, laporan berikut ini didasarkan pada kesaksian yang diberikan para saksi di pengadilan yang menghukum mati para pemerkosa Mukhtaran, ditopang dengan rincian dari teks amaran Pengadilan Tinggi Lahore. Mukhtaran bersaksi bahwa pada bulan Juni saudara lelakinya yang masih remaja Shakoor dicurigai dan dituduh oleh klan Mastoi melakukan ziadti (pemerkosaan, sodomi atau hubungan seks tidak sah) atau zina dengan seorang gadis Mastoi, yang juga dikenal sebagai Nasim. Tuduhan ini hampir pasti bohong (dan pada proses peradilan, hakim mengatakan bahwa tuduhan ini tidak berdasar.) Sabtu sore, 22 Juni 2002Sore hari Sabtu, 22 Juni 2002, Shakoor diculik oleh tiga lelaki Mastoi. Ia dibawa ke tempat tinggal tertutudh utama, Abdul Khaliq, kakak lelaki Salma. (Shakoor bersaksi bahwa ia telah diculik oleh tiga lelaki Mastoi, yang masing-masing menyodominya di sebuah kebun tebu. Pengadilan menetapkan, berdasarkan kesaksian seorang dokter, bahwa Shakoor memang telah disodomi dan/atau diserang. Para penyerangnya dinyatakan bersalah dalam sebuah peradilan terpisah) Shakoor berteriak-teriak minta tolong ketika ia dibawa ke rumah Abdul Khaliq, dan sanak keluarganya mendengar teriakannya ini. Mukhtaran, ibundanya, dan perempuan-perempuan lain di dalam rumah itu bergegas keluar, dan di situ beberapa lelaki Mastoi mengatakan kepada mereka bahwa Shakoor telah melakukan ziadti dengan Salma. Kaum perempuan itu segera pergi ke rumah Abdul Khaliq untuk menuntut agar Shakoor dibebaskan, tetapi Abdul Khaliq menolak. Ibunda Mukhtaran lalu mengirim saudara lelakinya untuk meminta bantuan polisi. Di Meerwala tidak ada telepon ataupun polisi dan kantor polisi Jatoi jauhnya 13 km di sebelah utara dengan menempuh jalan berdebu. Klan Mukhtaran, Tatla, berkumpul bersama dalam sebuah akath (rapat kecil). Kepada mereka diberitahukan bahwa seorang sanak mereka, Shakoor ditahan oleh klan Mastoi karena ia dituduh melakukan ziadti atau berzina dengan Salma. Di pihak lain, sebuah akath Mastoi berlangsung dan dihadiri oleh sekitar 200 hingga 250 anggota klan Mastoi yang berkumpul di luar rumah, kurang dari 100 meter dari rumah Abdul Khaliq. Menurut beberapa laporan, sebuah dewan kesukuan Mastoi dibentuk, yang terdiri atas tiga orang tertuduh: Ramzan Pachar, G.F. Mastoi dan seorang ketua klan Mastoi, Faiz M. Mastoi, yang juga dikenal sebagai Faiza atau Faizan. Akath ini diberi tahu bahwa Shakoor telah melakukan ziadti dengan Salma. Polisi tiba sebelum magrib, membebaskan Shakoor dari klan Mastoi, dan membawanya ke kantor polisi dan menahannya dengan kemungkinan menjatuhkan tuduhan kejahatan seks kepadanya. MalamHari itu matahari terbenam pada pk. 19.20, dan senja berlangsung hingga sekitar pk. 19.48. Karena tak ada listrik, keadaan pun gelap. (Di peradilan oleh Pengadilan Tinggi, pembela menyatakan bahwa para saksi penuntut tak mungkin melihat beberapa hal yang mereka klaim telah lihat.) Keluarga Mukhtaran mengusulkan penyelesaian masalahnya dengan klan Mastoi dengan cara menikahkan Shakoor dengan Salma, dan menikahkan Mukhtaran dengan salah seorang lelaki Mastoi, dan – bila Shakoor terbukti bersalah – memberikan sejumlah tanah kepada keluarga Salma. Usul ini disampaikan kepada Faizan, tua-tua Mastoi. Menurut beberapa saksi penuntut, Faizan mulanya setuju, tetapi dua lelaki dari keluarga Salma - tertuduh Ramzan Pachar dan G.F. Mastoi – menolak dan menuntut balas dendam dengan cara zina ganti zina. Beberapa alelaki Mastoi lainnya konon bergabung dengan mereka dalam tuntutan ini. Ramzan Pachar dan G.F. Mastoi lalu mendatangai keluarga Mukhtaran, dan mengatakan kepada mereka bahwa klan Mastoi akan menerima usulan itu bila Mukhtaran secara pribadi mau datang dan meminta maaf kepada keluarga Salma dan kepada akath Mastoi. Mukhtaran pergi ke akath itu bersama ayahnya dan paman dari pihak ibunya. Faizan, yang berbicara kepada akath, yang kini telah mulai bubar dan saat itu jumlahnya hanya sekitar 70 orang, menyatakan bahwa pertikaian itu sudah diselesaikan, dan keluarga Mukhtaran harus "dimaafkan". PemerkosaanSegera sesudah itu dan kurang dari 100 meter dari akath, Abdul Khaliq, dengan membawa pistol kaliber 30, dengan paksa membawa Mukhtaran masuk ke sebuah kamar yang gelap dengan lantai tanah, dan di sana ia G.F. Mastoi dan dua orang tertuduh lainnya memperkosanya. Ayah dan paman Mukhtaran dihalang-halangi dari usaha untuk menyelamatkannya, dan dibiarkan di luar, oleh para lelaki Mastoi. (Sebuah pernyataan oleh Dr. Shahida Safdar, yang secara medis memeriksa Mukhtaran pada 30 Juni, sembilan hari setelah pemerkosaan itu, menyatakan bahwa ia menemukan dua abrasi yang telah sembuh pada diri korban, 1,5 cm x 0,5 cm dan 3 cm x 1 cm. Ia juga mengambil contoh-contoh pada potongan kain yang ternyata bernoda air mani. Tapi pada pakaiannya tidak ditemukan bekas air mani, karena saudara perempuan Mukhtaran telah mencucinya.) Setelah sekitar satu jam berada di dalam, ia didorong keluar dengan hanya mengenakan qameez (baju yang panjang) yang telah robek-robek. Sisa pakainnya dilemparkan keluar bersamanya. Ayahnya menutupi tubuhnya dan membawanya pulang. (Pakaian-pakaian itu diajukan sebagai barang bukti di pengadilan.) Pada malam yang sama, polisi diberi tahu bahwa kedua klan itu telah menyelesaikan pertikaian mereka, dan bahwa kelaurga Salma menarik pengaduannya terhadap Shakoor. Pamannya membawanya keluar dari pos polisi sekitar pk. 2 atau 3 pagi. Minggu berikutnyaSeorang imam setempat, Abdul Razzaq, mengutuk pemerkosaan itu dalam ceramahnya pada hari Jumat setelah hal itu terjadi. Ia membawa seorang wartawan setempat, Mureed Abbas, untuk menemui ayah Mukhtaran, dan membujuk keluarganya untuk mengajukan pengaduan terhadap para pemerkosa. Mukhtaran dan keluarganya pergi ke pos polisi Jatoi pada 30 Juni 2002 untuk menyampaikan pengaduan. Liputan mediaDalam beberapa hari berikutnya, cerita ini menjadi topik utama di Pakistan, hingga berbulan-bulan lamanya. Banyak versi dari cerita ini dilaporkan pada hari-hari berikutnya, dan varian-variannya masih tetap ada hingga sekarang. Pada 3 Juli, BBC mengangkat berita ini dalam laporannya.[1] Time melaporkan kasus ini pada pertengahan Juli.[2] Surat-surat kabar dan jaringan internasional melaporkan perkembangan kasusnya. Unsur-unsur dalam media Barat telah dituduh mereduksi penderitaan Mai dan mengisahkan ceritanya hanya sebagai naratif korban.[3] Reaksi pemerintahAwal Juli 2002, Ketua Mahkamah Agung Pakistan menyebut pemerkosaan Mukhtaran sebagai kejahatan yang paling keji pada abad ke-21. Ia memanggil para pejabat polisi senior dan mengecam mereka karena inkompetensi mereka dalam menangani kasus ini. Pemerintah Pakistan memberikan ganti rugi kepada Mukhtaran sejumlah 500.000 rupee (AS$8.200) pada 5 Juli 2002. Mukhtaran konon mengatakan kepada Attiya Inayatullah, Menteri Pengembangan Perempuan yang memberikan cek itu kepadanya bahwa ia "tentu sudah bunuh diri andaikan pemerintah tidak datang untuk menolongnya." [4] Keputusan pengadilanPengadilan anti-terorismePara penyerang Mukhtaran, dan apa yang disebut panchayat Mastoi yang berkomplot dalam pemerkosaannya, dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Anti-Teroris Dera Ghazi Khan. Pengadilan Anti Teroris (ATC) adalah sejenis pengadilan di Pakistan yang mengkhususkan diri dalam menuntut kasus-kasus yang berkaitan dengan teror atau intimidasi massa. Pengadilan ini telah dikritik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia karena menggunakan standar pembuktian yang lebih rendah daripada pengadilan-pengadilan biasa. ATC menerima kabar angin sebagai bukti, dan tidak menuntut bahwa kesalahan harus terbukti dengan sangat meyakinkan. Jalur ATC dianggap tepat dalam kasus ini karena klan Mastoi telah mengintimidasi dan meneror (dan terus mengancam) klan Mukhtaran dan orang-orang di wilayah itu. ATC mennyatakan bersalah enam laki-laki dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka pada 31 Agustus 2002. Setelah hukuman dijatuhkanSetelah hukuman dijatuhkan kepada para penyerangnya, Mukhtaran menjadi lambang bagi para pembela kesehatan dan keamanan perempuan di wilayahnya, sehingga perhatian nasional dan internasional tertuju kepada masalah-masalah ini. Mukhtaran menggunakan uang ganti rugi yang diterimanya dari Presiden Musharraf untuk membangun dua sekolah setempat, satu untuk anak-anak perempuan, dan satu lagi untuk anak-anak lelaki. Sebelum ini tak ada sekolah untuk anak perempuan di desa Mukhtaran dan ia sendiri tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Sejumlah donor Barat telah ikut pula memberikan sumbangannya. Pengadilan Tinggi LahoreMeskipun Pengadilan Anti-Terorisme mulanya diciptakan sebagai cara untuk memperoleh pembuktian yang cepat dan pasti untuk kejahatan-kejahatan yang mengerikan, Mahkamah Agung Pakistan memutuskan pada 1998 bahwa keputusan-keputusan ATC dapat dibanding dalam sistem pengadilan biasa Pakistan, yang mempunyai standar pembuktian yang lebih tinggi. Keenam lelaki yang dinyatakan bersalah itupun naik banding di Pengadilan Tinggi Lahore. Pada 3 Maret 2005 lima dari keenam lelaki yang dijatuhi hukuman mati itu dibebaskan berdasarkan banding kepada Pengadilan Tinggi Lahore, pengadilan tertinggi di provinsi Punjab, sebagian karena bukti-bukti penting yang tidak dapat diterima.[5] Pemerintah Pakistan memutuskakn untuk naik banding atas pembebasan itu, dan Mukhtaran meminta pengadilan agar tidak memerintahkan pembebasan kelima lelaki itu, yang kemudian tetap ditahan di bawah hukum yang memungkinkan penahanan selama 90 hari tanpa tuduhan.[6][7] Representasi hukumMukhtaran diwakili oleh sebuah panel pengacara. Salah satu dari tim itu dipimpin oleh Jaksa Agung Pakistan, Makhdoom Ali Khan. Panel lainnya dipimpin oleh Aitzaz Ahsan, seorang pengacara dan politikus terkemuka yang juga anggota Partai Rakyat Pakistan yang telah mewakili Mukhtaran pro bono. Sepupu Mukhtaran dan sahabat dekatnya, mahasiswa hukum Naseem Ghazlani, disebut sebagai pendamping tetapnya dalam berurusan dengan para pengacara. Garis waktu dari perkembangan berikutnyaPengadilan Tinggi Lahore memutuskan pada 6 Juni 2005 bahwa para tertuduh dapat dilepaskan dengan membayar uang jaminan sebesar 50.000 rupee ($840). Namun, para lelaki itu tidak sanggup menyediakan uang itu, dan tetap dipenjarakan sementara permohonan banding diproses.[8] Hanay dua minggu kemudian, Mahkamah Agung ikut campur dan menunda pembebasan kelima lelaki ini serta delapan orang yang dibebaskan pada pengadilan sebelumnya pada 2002. Ke-14 orang ini akan diadili kembali di Mahkamah Agung.[9] Juga pada 10 Juni 2005, tak lama sebelum ia dijadwalkan terbang ke London atas undangan Amnesty International, Mukhtaran dimasukkan dalam Daftar Kontrol Exit (ECL),[10] sebuah daftar orang-orang yang dicekal bepergian ke luar negeri, sebuah langkah yang menimbulkan protes di Pakistan[11] dan di seluruh dunia. Presiden Musharraf sedang tidak ada di dalam negeri karena sedang berkunjung ke Australia dan Selandia Baru, dan tidak segera dapat diketahui siapa yang memasukkan nama Mukhtaran dalam daftar cekal itu. Pada 12 Juni 2005 Muktharan secara mendadak diminta oleh pemerintah untuk pergi ke Lahore untuk menemui seorang perempuan anggota parlemen provinsi Shagufta Anwar, dan kemudian pergi ke Islamabad untuk menemui penasihat Presiden Nilofer Bakhtiar.[12] Pada 13 Juni 2005, di Lahore, Mukhtaran ditemukan oleh para wartawan di tempat kediaman resmi Ketua Menteri Punjab, setelah sebelumnya ia makan siang di sana, tetapi mereka tidak dapat mewawancarai atau menghubunginya karena "telepon genggamnya tidak menjawab selama berjam-jam." Mukhtaran berangkat sore itu ke Islamabad.[13] Tanggal 14 Juni 2005, pada sebuah konferensi pers di Islamabad, Mukhtaran meminta namanya dihapus dari Daftar Kontrol Exit, dan juga mengeluh bahwa ia "praktis mengalami tahanan rumah" karena sejumlah besar polisi diperintahkan melindunginya.[14] Pada hari yang sama, kolomnis, New York Times Nicholas Kristof mengklaim bahwa ia "dikenai tahanan rumah" dan bahwa polisi telah "memotong garis komunikasinya" untuk "membungkamnya".[15] Namun, pelayanan telepon local terganggu oleh pemogokan serikat buruh telepon minggu itu,[16] dan pelayanan baru pulih setelah Angkatan DArat mengambil alih hubungan telepon di distrik Muzaffargarh.[17] Dalam artikel yang sama, Kristof mengklaim bahwa Mukhtaran telah "dibawa sambil menangis ke tempat penahanan yang dirahasiakan" dan "dilarang menghubungi siapapun".[15] Dalam konferensi persnya minggu itu di Islamabad, Mukhtaran menjelaskan bahwa sesungguhnya ia tidak dikenai tahanan rumah, tetapi merasakan demikian karena perlindungan polisi yang sangat ketat. Pada 15 Juni 2005, Perdana Menteri Shaukat Aziz memerintahkan nama Mukhtaran dicabut dari daftar cekal.[18] Pada 17 Juni 2005, Presiden Musharraf mengungkapkan pada sebuah konferensi pers di Auckland, Selandia Baru bahwa ia telah melarang Mukhtaran pergi ke New York karena ia ingin melindungi citra Pakistan di luar negeri.[19] Sebuah situs berita India, Rediff, melaporkan bahwa Musharraf mengatakan Mukhtaran Mai sedang dibawa ke Amerika Serikat oleh sejumlah LSM "untuk menjelek-jelekkan Pakistan" atas "keadaan yang menyedihkan" dari kaum perempuan di negara itu. Ia konon mengatakan bahwa sejumlah LSM adalah "unsur-unsur pinggiran Barat" yang "sama jeleknya dengan kaum ekstremis Islam".[19] Musharraf menjelaskan dalam situsnya bahwa ia telah melarang Mukhtaran pergi menghadiri konferensi ANAA di New York karena ia yakin bahwa maksud penyelenggaranya adalah "menjelek-jelekkan Pakistan dengan motif tersembunyi, dan bukan dengan tulus ingin menolong Mai."[20] Pada 17 Juni 2005 BBC News menggambarkan reaksi media internasional sebagai sebuah bencana hubungan masyarakat.[21] Pada 19 Juni 2005, kolomnis New York Times Nicholas Kristof melaporkan bahwa sementara Mai kembali dari kedutaan besar AS di Islamabad, setelah memperoleh cap visa AS di paspornya, paspornya itu "disita" sekali lagi, dan membuatnya tidak mampu bepergian meninggalkan Pakistan.[22] Sebuah kolom oleh Khalid Hasan dalam surat kabar Pakistan Daily Times menyebut tindakan pemerintah "bodoh" dan "kasar", dan mengatakan bahwa pemerintah telah "gagal dengan sangat menyedihkan" untuk mendukung liberal "keyakinan-keyakinan" liberal "yang konon dimilikinya" dengan tindakan nyata.[23] Pada 27 Juni 2005 paspor Mukhtaran dikembalikan kepadanya.[24] Pada 29 Juni 2005, dalam situs pribadinya Diarsipkan 2008-07-05 di Wayback Machine. Musharraf menulis bahwa "Mukhtaran Mai bebas pergi ke mana saja ia mau, menjumpai siapapun yang ia kehendaki dan mengatakan apapun juga yang ia sukai." Pada 2 Agustus 2005, pemerintah Pakistan menganugerahi Mukhtaran medali emas Fatima Jinnah atas keberaniannya.[25] Pada kunjungannya selama bulan September 2005 ke Amerika Serikat, Washington Post melaporkan bahwa Presiden Musharraf, dalam suatu wawancara panjang, mengatakan bahwa pengakuan pemerkosaan telah menjadi suatu "keprihatinan tentang upaya mencari uang" di Pakistan. Musharraf menyangkal bahwa itu adalah pandangan nya, sehingga Post kemudian memasang sebagian dari wawancara Musharraf itu secara online. Dalam pita rekaman, Musharraf dapat didengar mengatakan, "Anda harus mengerti keadaan di Pakistan juga. Ada sejumlah pihak oposisi yang tidak mengutamakan kepentingan nasional dan karenanya demi agenda-agenda politik mereka sendiri mmm.. mereka ingin menggerogoti saya melalui hal ini.. dan juga hal ini telah menjadi …. keprihatinan tentang mencari … mencari uang." [26] Pada 2 November 2005, majlaah AS Glamour memilih Mukhtaran sebagai Tokoh Perempuan Tahun Ini.[27] Pada 12 Januari 2006, Mukhtaran Mai menerbitkan memoarnya dengan bekerja sama dengan Marie-Thérèse Cuny dengan judul "Déshonorée". Penerbit asli buku ini adalah OH ! Editions di Prancis dan bukunya diterbitkan berbarengan dalam bahasa Jerman oleh Droemer Verlag dengan judul "Die Schuld, eine Frau zu sein". Pada 16 Januari 2006, bersamaan dengan penerbitan memoarnya, Mukhtaran Mai pergi ke Paris (Prancis) dan diterima oleh Menteri Luar Negeri Philippe Douste-Blazy.[28] Pada Januari 2006, Mukhtaran direncanakan untuk berbicara di PBB pada 20 Januari 2006, tetapi PBB menunda kunjungannya pada menit-menit terakhir setelah Pakistan mengeluh bahwa penampilannya dijadwalkan pada hari yang sama dengan kunjungan oleh Perdana Menteri Shaukat Aziz. PBB ingin memindahkannya ke tanggal setelah 24 Januari, tetapi karena Mukhtaran harus meninggalkan New York pada 21 Januari, keluhan Islamabad praktis membatalkan kunjungan itu. Aziz mengklaim bahwa ia tidak tahu bahwa Mukhtaran dijadwalkan tampil sementara Mukhtaran mengatakan kepada surat-surat kabar bahwa "Perdana Menteri Aziz selalu anggun dan tanggap kepadanya dan telah mendorongnya untuk berbicara." [29] Pada 2 Mei 2006, Mukhtaran berbicara di markas besar PBB di New York. Dalam sebuah wawancara dengan TV PBB, Mai mengatakan bahwa "ia ingin menyampaikan pesan ke seluruh dunia bahwa orang harus berjuang demi hak-haknya dan demi hak-hak dari generasi yang akan datang."[30] Ia disambut oleh Wakil Sekjen PBB Shashi Tharoor, yang berkata, "Saya pikir tepat dikatakan bahwa siapapun yang memiliki keberanian moral dan kekuatan batin untuk mengubah serangan brutal seperti itu menjadi sebuah senjata untuk membela orang lain dalam posisi yang serupa, memang benar-benar seorang pahlawan, dan layak memperoleh penghormataan dan penghargaan kita yang terdalam".[31] Pada 31 Oktober 2006, memoar Mukhtaran diterbitkan untuk pertama kalinya di Amerika Serikat dengan judul "In the Name of Honor: A Memoir." Pada 15 November 2006, majelis rendah parlemen Pakistan memutuskan untuk mengubah undang-undang pemerkosaannya dan menugubahnya dari hukum agama ke hukum pidana, dan dengan demikiran praktis memisahkan antara pemerkosaan dengan zina. Majelis rendah juga memodifikasikan hukum sehingga tidak lagi mengharuskan si korban mengajukan empat orang saksi tentang penyerangan itu, dan memungkinkan bukti-bukti keadaan dan forensik digunakan untuk penyelidikan. Perubahan ini membutuhkan persetujuan dari majelis tinggi Parlemen sebelum bisa disahkan sebagai hukum.[32] Perubahan-perubahan ini disambut oleh kelompok-kelompok hak-hak sipil sebagai langkah positif.[33] Pada Maret 2007, Mukhtaran secara resmi menerima Penghargaan Utara-Selatan 2006 dari of Dewan Eropa atas kontribusinya kepada hak-hak asasi manusia.[34] Referensi
Pranala luarGaris waktu
Blog Mukhtaran
Wawancara
BeritaBerita terpilih, disusun secara kronologis.
Komentar
Teks keputusan pengadilanLihat pula |