Zaini Mun'im

Zaini Abdul Mun'im
Raden Kiai Haji
NamaZaini Abdul Mun'im
Lahir1906
Galis, Pamekasan, Keresidenan Madura, Hindia Belanda
Meninggal26 Juli 1976
Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia
KebangsaanIndonesia
EtnisMadura dan Jawa
KaryaTaysir al Ushul fi Ilmi al Ushul
Tafsir al Qur’an bi al Imla’
Nazhmu Syu’ab al Iman
Nazhmu Safinah an Najah
A'malul Yaum Nurul Jadid
Guru-guruSyaikhona Kholil al-Bangkalani
RKH. Abdul Hamid bin Itsbat (Banyuanyar Madura)
RKH. Abdul Majid bin Abd Hamid (Banyuanyar Madura)
KH. Shanhaji (Paman)
KH. Muntaha (menantu Kiai Kholil)
KH. Nawawi (Sidogiri)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
KHR. Syamsul Arifin (Situbondo)
KH. Hazim (Pondok Pesantren Siwalan Sidoarjo)
IstriNy. Hj. Nafi’ah
Orang tuaKH. Abdul Mun’im (Ayah)
Nyai Hj. Hamidah (Ibu)
KeluargaKHR. As'ad Syamsul Arifin (Sepupu)

K.H. Zaini Mun'im bin Abdul Mun'im bin Mudarik bin Ismail, lahir pada tahun 1906 di Pamekasan - wafat 26 Juli 1976 di Probolinggo pada usia 70 tahun. adalah Ulama sekaligus Pendiri dan Pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.[1]

Kehidupan awal

Nama kecil Lora Zaini adalah Abdul Mughni. Sejak lahir, masyarakat Galis berharap banyak pada dirinya. Sebab, dalam tubuh beliau mengalir darah bangsawan sekaligus Ulama, yang mempunyai komitmen pada nilai nilai ajaran Islam, baik dari jalur ayahanda maupun dari ibunda. Lebih-lebih, jika diruntut, silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Bindere Sa’ud (Bendoro Saud).

Dari jalur ayahandanya, Lora Mughni adalah putera KH. Abdul Mun’im. Sedang Kiai Abdul Mun’im adalah putera Kiai Mudarik. Adapun Kiai Mudarik sendiri adalah putera ke 4 Kiai Ismail, generasi kedua penerus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan. Kiai Ismail adalah keponakan Kiai Mahalli, Pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning, yang pada tahun 619 M diangkat sebagai anak angkat Kiai Mahalli. Kakek Kiai Ismail adalah Kiai Nuruddin Gunung Tinggi Pakong, yang tidak lain adalah keturunan (dari jalur Kiai Batu Ampar Wetan) Bendoro Saud, alias Temenggung Tirtonegoro, adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur, atau cucu dari Sunan Kudus.[2]

Sedang dari jalur ibunda, Lora Mughni adalah keturunan para Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar (Ratoh Sidabulangan), penguasa Kraton Pamekasan Madura. Ibunda Lora Mughni berasal dari Desa Palesanggar, Kecamatan Pegantenan, Pamekasan, Madura. Kehidupan keluarganya terkenal sebagai keluarga santri.

Pada tahun 1937, Lora Abdul Mughni (yang lebih populer dengan nama KH. Zaini Mun’im) kemudian menikah dengan keponakan Kiai Abdul Madjid Banyuanyar, Nyai Nafi’ah. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai enam putera dan satu puteri.

Tiga putera beliau lahir di Madura,

  • K.H. Moh. Hasyim, BA.
  • Drs. K.H. Abdul Wahid Zaini, SH.
  • Nyai Hj. Aisyah Zaini (kemudian dipersunting oleh K.H. Hasan Abdul Wafi).

Sedang empat lainnya lahir di Karanganyar Paiton Probolinggo,

Kiprah

Pengembaraan Pengetahuan

Zaini adalah bangsawan Madura keturunan raja Sumenep dan Pamekasan, serta memiliki silsilah sampai ke Sunan Kudus. Ia menempuh pendidikan di Volkschool hingga lulus pada 1921, lalu nyantri di Pesantren Kademangan di bawah asuhan Kiai Khalil, menghafal 10 juz Al-Qur’an dan kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Pada usia 24 tahun, Zaini berhaji ke Makkah, lalu belajar di Pesantren Banyuanyar yang diasuh oleh Kiai Abdul Hamid, Setelah itu, melanjutkan ke Pesantren Sidogiri selama satu tahun kemudian kembali ke kampung halaman saat ayahnya meninggal dunia. Tahun berikutnya ia belajar ke Pondok Pesantren Tebuireng di bawah KH Hasyim Asy'ari. Pada 1928, di tahun tersebut Zaini kembali ke Indonesia dan melanjutkan kepemimpinan di pesantren yang telah ditinggalkan ayahnya.[4]

Masa Penjajahan

Selama pendudukan Jepang, Zaini Mun’im aktif memberikan penyuluhan kepada petani dan menjadi pimpinan Barisan Pembela Tanah Air. Pada 1943, saat kekejaman Jepang memuncak, pemberontakan para kiai terjadi, menyebabkan mereka ditangkap. Zaini terpaksa meninggalkan Madura dan menetap di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, hingga 1948 sebelum pindah ke Probolinggo.[5]

Di Desa Karanganyar Paiton, Zaini merintis Pondok Pesantren Nurul Jadid bersama dua santrinya. Namun, ia ditangkap dan dipenjara di LP Probolinggo dari Desember 1948 hingga Maret 1949. Pada 1950, Zaini diundang oleh Menteri Agama, KH Wahid Hasyim, untuk menjadi penasihat jamaah haji Indonesia dan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Air.[6]

Mengajar dan Aktif di NU

Ketika berada di tanah suci, Kiai Zaini Mun’im menerima dua santri yang ingin belajar kepadanya, yaitu Kiai Muntaha dari Pesantren Bata-Bata, Pamekasan, dan Kiai Sufyan dari Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo. Kedua kiai ini kemudian meneruskan pembangunan pesantren yang dirintis oleh Kiai Zaini. Selain mengajarkan ilmu kepada santrinya, Kiai Zaini juga aktif menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar, sehingga pesantren tersebut semakin dikenal luas.

Sepulang dari tanah suci, Kiai Zaini bersama masyarakat setempat mengembangkan Pondok Pesantren Nurul Jadid dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA) pada tahun 1950, TK Nurul Mun’im, dan lembaga pendidikan Al-Khairiyah yang kemudian pada tahun 1961 berubah menjadi Muallimin. Pada tahun 1969, Muallimin berkembang menjadi madrasah tsanawiyah dan tiga tahun setelahnya status MTs ini menjadi sekolah negeri.

Pesantren terus berkembang dengan berdirinya Sekolah Dasar Islam pada tahun 1974 yang dua tahun kemudian berganti nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Mun’im. Pada tahun 1975, didirikan Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid dengan program enam tahun, meskipun lembaga ini hanya berjalan selama tiga tahun. Kemudian, pada 1 September 1968, Kiai Zaini mendirikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama.

Sebagai pengasuh pesantren, Kiai Zaini juga menulis beberapa kitab, seperti Taysir usul Fi al-Ilal Usul yang membahas ushul fiqh dan Nadham Safina al Najah di bidang fiqih. Kitab-kitab tersebut kini menjadi koleksi penting perpustakaan pesantren dan rujukan wajib bagi para santri Nurul Jadid.

Pada tahun 1951, Kiai Zaini menerima kunjungan dari KH Hasan Sepuh Genggong, KH Abdul Latif, dan KH Fathullah dari NU Kraksaan yang memintanya untuk membantu membina warga melalui organisasi NU Cabang Kraksaan. Permintaan ini diterima dengan baik, dan setelah KH Abdul Latif wafat pada tahun 1953, Kiai Zaini diangkat menjadi Rais NU Cabang Kraksaan hingga tahun 1975.[7]

Pada Muktamar ke-21 NU di Medan, Sumatra Utara, Kiai Zaini terpilih menjadi anggota Dewan Partai NU dari 79 anggota yang ada. Keterlibatannya dalam politik nasional mulai menonjol sejak saat itu. Pada tahun 1960, ia diangkat menjadi Wakil Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, mendampingi Kiai Mahrus Ali yang menjabat sebagai Rais.[8]

Makna dakwah

Kiai Zaini Mun’im menggunakan dua metode dakwah, yaitu dakwah bil-lisani hal dan dakwah bil-lisanil maqal. Dalam dakwah bil-lisani hal, ia terlibat langsung dalam kegiatan masyarakat, seperti membangun jaringan irigasi, membuat sumur saat kemarau, dan memperkenalkan berbagai tanaman seperti jagung, palawija, tebu, dan tembakau dengan bibit dari Madura.

Sementara dalam dakwah bil-lisanil maqal, Kiai Zaini berfokus memotivasi masyarakat untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan kemalasan. Ia mengadakan pengajian, penyuluhan, bimbingan dari rumah ke rumah, dan desa ke desa. Ia juga melatih para dai, membekali mereka dengan pengetahuan agama dan wawasan sosial secara berkala.[9]

Akhir hayat

Tiga hari sebelum wafat, Kiai Zaini masih sempat berdakwah di Desa Bula Jaran, Probolinggo. Saat berceramah, ia merasa tidak enak badan dan meninggalkan acara lebih awal. Kondisinya semakin memburuk hingga dilarikan ke Rumah Sakit Islam Surabaya. Kiai Zaini wafat pada 26 Juli 1976 pukul 04.00 WIB akibat penyakit darah tinggi.[10]

Kewafatan Kiai Zaini Mun’im kala itu masih menyisakan duka amat mendalam di kalangan para pecintanya, terutama santri-santri beliau. Kiai Masjkur, seorang tokoh nasional yang pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU periode 1950-1956 turut menuaikan kesaksian akan ketokohan Kiai Zaini Mun’im. Dalam sambutannya pada buku ini beliau menyampaikan:

“Almarhum KH. Zaini Mun’im yang saya ketahui, di samping sebagai ulama pengasuh pondok pesantren yang masyhur di Jawa Timur, juga sebagai pemimpin ummat dan pejuang yang gigih bukan saja di Jawa Timur tapi tingkat nasional, baik di dalam wadah Nahdlatul Ulama’ maupun di dalam Partai Persatuan Pembangunan, sampai hari-hari akhir hayat beliau, juga termasuk ulama pejuang yang berkepribadian dan mempunyai keberanian mengemukakan dan mempertahankan masalah-masalah yang oleh beliau dianggap benar secara syar’iy”

Perjuangan Kiai As’ad dalam membesarkan NU tak dapat dipungkiri. Ia pun rela mengorbankan nyawa untuk memperjuangkan Islam melalui jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Kegigihannya melawan penjajah Belanda patut menjadi teladan bagi generasi berikutnya. Membela dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa menjadi nafas pada setiap denyut nadinya.

Ketegasan beliau itu ternyata ada sikap kasih sayang dan bahkan sedih sedalam-dalamnya, yaitu tatkala wafatnya KH. Zaini Abdul Mun’im.

Kiai A Zaim Ibrahimy menceritakan. Tidak ada yang membuat Kiai As’ad sedih kecuali atas wafatnya Kiai Zaini Mun’im Pendiri dan Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Bagaimana tidak, Kiai Zaini merupakan Kiai alim, egaliter, pejuang dan merawat NU.[11]

Referensi

  1. ^ Wibowo, Hari. "Profil Kiai Zaini Mun'im, Pendiri dan Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid - Jember Network - Halaman 2". Profil Kiai Zaini Mun'im, Pendiri dan Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid - Jember Network - Halaman 2. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  2. ^ Fakhrudin, Achmad. "KH Zaini Mun'im, Trah Sunan Kudus Pejuang NKRI dan Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo - Jala Pantura - Halaman 2". KH Zaini Mun'im, Trah Sunan Kudus Pejuang NKRI dan Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo - Jala Pantura - Halaman 2. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  3. ^ "Biografi Alm. KH. Zaini Mun'im – nuruljadid.net". www.nuruljadid.net. Diakses tanggal 2024-06-15. 
  4. ^ Jalil, Abdul (25 September 2022). "Kisah KH Zaini Mun'im, Antara Tembakau Probolinggo dan Pendiri Ponpes Nurul Jadid". timesindonesia.co.id. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  5. ^ Alifian, Muhammad Afnani (2023-11-20). "KH Muhyiddin Abdusshomad Ungkapkan Sifat Kiai Zaini Mun'im". Diakses tanggal 2025-01-25. 
  6. ^ "Kisah KH Zaini Mun'im Membasmi PKI di Wilayah Probolinggo". NU Online Jatim. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  7. ^ Malang, TIMES. "KH Zaini Mun'im, NU, Dakwah dan Perguruan Tinggi". TIMES Malang. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  8. ^ "Mengenal KH Zaini Mun'im, Pendiri Pesantren Nurul Jadid". NU Online Jatim. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  9. ^ BN, Fitriyah. "Karomah KH Zaini Mun'im Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, Menimba Air di Sumur Keluar Segumpal Emas - Bondowoso Network". Karomah KH Zaini Mun'im Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, Menimba Air di Sumur Keluar Segumpal Emas - Bondowoso Network. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  10. ^ Mika, Ponirin (2022-11-09). "Ketika Kiai As'ad sedih ditinggal wafat Kiai Zaini Mun'im". Harian Jatim. Diakses tanggal 2025-01-25. 
  11. ^ "Buku Monumental Sejarah Kiai Zaini Mun'im". Alif.ID. 2024-06-12. Diakses tanggal 2025-01-25. 


 

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia