Jerusalem Embassy Act
Undang-Undang Kedutaan Besar Yerusalem 1995 (Jerusalem Embassy Act of 1995)[1] adalah undang-undang Amerika Serikat yang disahkan oleh Kongres ke-104 pada tanggal 23 Oktober 1995. UU ini disahkan sebagai dasar hukum dimulainya proses dan alokasi dana pemindahan Kedutaan Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, selambat-lambatnya 31 Mei 1999. UU ini menahan 50 persen dana yang dialokasikan ke Kementerian Luar Negeri untuk pos "Pengadaan dan Pengelolaan Bangunan di Luar Negeri" pada tahun anggaran 1999 sampai Kedutaan Besar Amerika Serikat di Yerusalem resmi dibuka.[2] UU ini juga mengakui Yerusalem sebagai kota yang tidak terpisahkan dan ibu kota negara Israel. Israel menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibu kotanya, tetapi klaim ini tidak diakui secara internasional karena dialog status akhir konflik Israel–Palestina belum usai. RUU ini disetujui Senat (93–5),[3] dan DPR (374–37).[4] Walaupun sudah sah, UU ini tidak dilaksanakan oleh Presiden Clinton, Bush, dan Obama.[5] Mereka memandang UU ini sebagai bentuk campur tangan Kongres terhadap kewenangan kebijakan luar negeri Presiden yang sudah dimandatkan Konstitusi. Mereka mengeluarkan ketetapan presiden (tappres) yang menunda pelaksanaan UU ini atas dasar keamanan nasional. Presiden Donald Trump mengeluarkan satu tappres penangguhan pada Juni 2017, lalu pada tanggal 6 Desember 2017, ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memulai proses pemindahan kedutaan besar.[6][7] Latar belakangYerusalem memiliki nilai spiritual dan keagamaan yang unik bagi agama-agama Abrahamik dunia: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Usai Perang Dunia I, Negara-Negara Sekutu Utama yang memenangi perang mengakui ketiga agama tersebut sebagai "warisan peradaban yang sakral" dan menekankan bahwa segala hak dan klaim yang berkaitan dengan ketiga-tiganya harus dilindungi selamanya di bawah jaminan dunia internasional.[8][9][10] Isi Deklarasi Balfour Britania Raya 1917 disertakan dalam Mandat Britania atas Palestina oleh Liga Bangsa-Bangsa. Pemerintah Amerika Serikat tidak terlibat dalam perjanjian-perjajian ini; kebijakan luar negeri resmi AS tahun 1919 adalah "tidak menolak" Deklarasi Balfour, tetapi juga tidak menyatakan dukungan resmi terhadap Zionisme.[11][12] Pada tanggal 21 September 1922, Kongres Amerika Serikat mengesahkan resolusi bersama yang mendukung tanah air bangsa Yahudi di Palestina, tetapi tidak merugikan kebudayaan lain yang sudah ada di sana pada waktu itu.[13][14] Pengesahan ini terjadi pada hari yang sama ketika Mandat Palestina disetujui oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB); meski hasil investigasi resmi pemerintah mengenai pilihan penentuan nasib sendiri bangsa yang terdampak sudah menyebar di kalangan pejabat pemerintahan, temuan ini baru dirilis ke publik pada bulan Desember tahun itu.[15] Kebijakan luar negeri Amerika Serika tidak berubah. Klaim-klaim nasionalis yang saling bertentangan mendorong maraknya kekerasan sipil pada masa antarperang; usai Perang Dunia II, "Persoalan Palestina" diangkat di Perserikatan Bangsa-Bangsa selaku lembaga penerus LBB. Pada tanggal 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 181, Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Palestina. Rencana ini mengandung rekomendasi agar Yerusalem ditempatkan di bawah pemerintahan internasional khusus, atau corpus separatum, yang dikelola oleh PBB dan terpisah dari negara yang dikehendaki bangsa Yahudi dan Arab. Setelah konflik tahun 1948, gencatan senjata dan Perjanjian Gencatan Senjata 1949 dirundingkan dan disepakati oleh kedua pihak. Salah satu poin yang disepakati adalah pembelahan Yerusalem untuk sementara. Perjanjian Gencatan Senjata dengan Yordania ditandatangani tanggal 3 April 1949,[16] tetapi secara internasional dianggap tidak berkekuatan hukum untuk melawan keabsahan resolusi yang menghendaki pemisahan dan internasionalisasi Yerusalem.[17] Pada tanggal 25 April 1949, Raja Abdullah secara resmi mengganti nama Transyordania menjadi Kerajaan Hasyimiyah Yordania. Ia sudah didukung oleh Britania Raya (bersyarat—Britania Raya tidak mengakui wilayah Yerusalem Timur dan menegaskan bahwa daerah itu harus menjadi bagian dari corpus separatum, wilayah kantong internasional).[18] Pada tanggal 5 Desember 1949, Kabinet Israel rapat di Tel Aviv dan mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Tanggal 23 Januari 1950, sidang Knesset Pertama menyatakan bahwa "Yerusalem selalu dan akan selalu menjadi ibu kota Israel."[19] Selain itu, pada tanggal 24 April 1950, Dewan Deputi dan Dewan Bangsawan Yordania dalam rapat bersama mengesahkan resolusi aneksasi Tepi Barat dan Yerusalem. Karena status Yerusalem sebelumnya sudah dimasukkan ke Rencana Pemisahan PBB, sebagian besar negara anggota tidak menerima posisi Israel dan membangun kedutaan besarnya di luar Yerusalem.[17][20] Amerika Serikat menyatakan bahwa sikapnya terhadap Yerusalem mengacu pada perbatasan geografis yang ditetapkan untuk "Kota Yerusalem", atau Corpus Separatum, sesuai Resolusi 181, tetapi sejak 1950, berbagai diplomat AS sering bepergian ke Yerusalem dari Kedutaan AS di Tel Aviv untuk melakukan bisnis dengan pejabat-pejabat Israel.[21] Amerika Serikat juga menyatakan bahwa Yerusalem adalah bagian dari Mandat Palestina. Secara de jure, artinya Yerusalem belum menjadi bagian dari negara berdaulat manapun.[22] Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan[dibutuhkan verifikasi sumber] Setelah seluruh kota dan Tepi Barat dicaplok saat Perang Enam Hari tahun 1967, Amerika Serikat kembali menegaskan keinginannya untuk mendirikan rezim internasional di kota Yerusalem.[23] Dukungan terhadap UU Kedutaan Besar Yerusalem mencapai puncaknya ketika masa-masa kritis perundingan Piagam Oslo dalam rangka proses perdamaian Israel–Palestina, walaupun ditentang oleh pemerintah Israel maupun Amerika Serikat.[24] Pemindahan kedutaan ditunda terus-menerus oleh pemerintah supaya Amerika Serikat terlihat netral menghadapi isu Yerusalem. Namun demikian, pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memerintahkan Departemen Luar Negeri untuk memulai persiapan pemindahan kedutaan besar.[25] PerincianUndang-undang ini menegaskan bahwa setiap negara berhak menetapkan ibu kotanya sendiri, dan Israel memilih Yerusalem. Undang-undang ini mencatat bahwa "kota Yerusalem adalah tempat berdirinya kantor Presiden, Parlemen, dan Mahkamah Agung Israel, dan berbagai kementerian dan lembaga sosial dan budaya." Yerusalem didefinisikan sebagai pusat spiritual Yudaisme. Selain itu, UU ini mencantumkan bahwa sejak penyatuan kembali Yerusalem tahun 1967, seluruh warga mendapat jaminan kebebasan beragama. S. 1322 juga menyatakan bahwa "Yerusalem harus diakui sebagai ibu kota negara Israel; dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Israel harus didirikan di Yerusalem paling lambat 31 Mei 1999". Walaupun pemungutan suara Senat dan DPR dilakukan sebelum kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Wali Kota Yerusalem Ehud Olmert ke Washington dalam rangka perayaan 3.000 tahun deklarasi Yerusalem sebagai ibu kota bangsa Yahudi oleh Raja Daud,[26] pemindahan gedung Kedutaan Besar A.S. ke Yerusalem tidak mengalami kemajuan sampai Desember 2017. JadwalPasal 3 undang-undang ini menjelaskan kebijakan A.S. dan menetapkan prasyarat agar Menteri Luar Negeri membuat laporan supaya mendapat alokasi dana penuh selambat-lambatnya Mei 1999. Pasal ini juga mencantumkan secara singkat kebijakan A.S. perihal alokasi dana.
Hambatan besarnya adalah sejauh mana dampak pemindahan kedutaan ini terhadap pihak-pihak berkepentingan atau negara-negara tetangga yang terlibat dalam diplomasi dan kebijakan luar negeri Timur Tengah yang kadang-kadang cukup tegang. Sejak UU ini diajukan, berbagai pihak sepakat bahwa tindakan ini memiliki risiko besar terhadap keamanan nasional Amerika Serikat di dalam dan luar negeri. Pemisahan kekuasaanMenurut Konstitusi Amerika Serikat, Presiden memiliki kewenangan eksklusif untuk mengakui kedaulatan asing atas suatu wilayah.[27] Badan Penasihat Hukum Departemen Kehakiman menyimpulkan bahwa pasal-pasal UU ini berlawanan dengan kewenangan eksklusif presiden dalam urusan luar negeri sehingga bersifat inkonstitusional.[28] Mantan presiden A.S. Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama menyinggung atau menyatakan terang-terangan bahwa upaya Kongres untuk mengatur kebijakan luar negeri melanggar kewenangan dan tugas cabang eksekutif dalam pelaksanaan hubungan luar negeri A.S. yang layak dan efektif. Perihal status Yerusalem, Presiden Bush menganggap Kongres hanya "penasihat" semata. Ia mengatakan bahwa "[Kongres] tanpa izin mencampuri kewenangan Presiden yang dijamin oleh konstitusi".[29] Konstitusi A.S. memberikan hak menetapkan kebijakan luar negeri kepada Presiden; resolusi Kongres, seperti yang ada di UU Pemberian Kewenangan Pertahanan Nasional 2003 yang menyertakan pasal-pasal UU Kedutaan Besar Jerusalem, justru membuat dukungan terhadap pengaturan kebijakan luar negeri oleh Kongres sangat problematis atau bahkan keliru bila mengacu kepada Konstitusi. Bahkan sejak awal perumusan UU ini, persoalan campur tangan Kongres yang berlebihan dan potensi pelanggaran kewenangan cabang eksekutif atas urusan luar negeri sudah menjadi topik perdebatan saat itu. Karena tidak setuju, Presiden Clinton mengambil tindakan yang tidak lazim dengan tidak menandatangani/memberlakukan UU Kedutaan Besar Yerusalem setelah dilimpahkan oleh Kongres selama 10 hari. Setelah itu, RUU ini dikembalikan ke Kongres dan otomatis berlaku seperti yang diatur dalam Konstitusi. Sikap Clinton yang tidak berbuat apa-apa menegaskan perbedaan antara cabang-cabang pemerintahan federal tanpa perlu dihujani kritik masyarakat akibat "bersikap negatif" terhadap undang-undang yang tampaknya populer dan tidak mungkin diveto kala itu.[30][31][32] Surat penangguhanPermasalahan konstitusional ini muncul ketika RUU ini dibahas di DPR dan Senat. Amendemen Sen. Dole yang ditambahkan ke RUU versi awal menyertakan pasal yang mengembalikan wewenang hubungan luar negeri kepada pejabat eksekutif. Sejak 1998 sampai Desember 2017, pemindahan kedutaan besar dari Tel Aviv ditunda oleh Presiden setiap enam bulan atas dasar keamanan nasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 undang-undang ini.
Sejak aturan ini berlaku pada akhir 1998, semua Presiden yang menjabat saat itu menetapkan bahwa pemindahan kedutaan akan berdampak besar terhadap keamanan nasional A.S. dan memilih untuk menerbitkan surat penangguhan yang menunda proses pemindahan. Evaluasi ulang dilaksanakan setiap enam bulan. Menanggapi hal tersebut, sejumlah anggota Kongres mulai memasukkan kalimat-kalimat yang menghapus hak eksklusif Presiden untuk membuat surat penangguhan atau menghapus total aturan penangguhan dari UU Kedutaan Besar Yerusalem.[33][34] PerkembanganAda sejumlah perkembangan besar sejak UU ini disahkan dan jauh setelah tenggat awal (31 Mei 1999):
Pada Maret 2011, sebuah rancangan undang-undang baru bernama Undang-Undang Kedutaan Besar dan Pengakuan Yerusalem 2011 (H.R. 1006) diajukan di Kongres. RUU ini disponsori oleh 14 Anggota Kongres, termasuk Ketua Subkomite Eropa DPR Dan Burton (R), Ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR Ileana Ros-Lehtinen (R), dan Ketua Subkomite Timur Tengah DPR Steve Chabot (R). RUU ini akan menghapus hak penangguhan presiden sesuai UU 1995, memindahkan Kedutaan Besar A.S. di Tel Aviv ke Yerusalem, dan menegaskan kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak terpisahkan.[41] Pada akhir 2011, RUU ini dinyatakan tidak lolos karena tidak disetujui Komite Urusan Luar Negeri DPR. Presiden TrumpPresiden Donald Trump menandatangani surat penangguhan pada tanggal 1 Juni 2017. Gedung Putih menyatakan bahwa dukungan Trump untuk Israel tetap tidak berubah dan ia akan memenuhi janjinya memindahkan kedutaan besar.[7] Tanggal 5 Juni 2017, Senat dengan bulat (90-0) mengesahkan resolusi peringatan 50 tahun penyatuan kembali Yerusalem. Resolusi ini menegaskan kembali UU Kedutaan Besar Yerusalem dan meminta Presiden dan semua pejabat pemerintah melaksanakan ketentuannya.[42] Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden Trump mengumumkan keputusan resminya yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel dan memerintahkan Departemen Luar Negeri untuk memulai persiapan pemindahan Kedutaan Besar A.S. dari Tel Aviv ke Yerusalem.[6] Usai pengumuman, Presiden Trump menandatangani Memorandum Presiden untuk Menteri Luar Negeri (Ketetapan Presiden No. 2018-02) tentang penangguhan pemotongan 50% anggaran yang biasanya dilakukan ketika kedutaan besar baru dibuka. Penangguhan ini dinilai perlu untuk "melindungi kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat."[43] Menteri Luar Negeri Rex Tillerson menyatakan bahwa proses pemindahan akan dimulai secepatnya. Pemindahan ini sendiri membutuhkan waktu beberapa tahun.[44] Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia