Edward Said
Edward Wadie Said (bahasa Arab: إدوارد وديع سعيد, Idwārd Wadīʿ Saʿīd; pengucapan bahasa Arab: [wædiːʕ sæʕiːd]; 1 November 1935 – 24 September 2003) adalah seorang akademisi, kritikus sastra, dan aktivis politik Palestina-Amerika.[3] Ia merupakan profesor sastra di Universitas Columbia dan termasuk salah satu pendiri bidang studi pascakolonial.[4] Ia lahir di Mandat Britania atas Palestina dan merupakan warga negara Amerika Serikat keturunan Palestina; ayahnya adalah seorang veteran Angkatan Darat AS. Meskipun ia dididik dalam sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah berbahasa Inggris dan di Amerika, Said dapat menerapkan pendidikan dan perspektif antar kultural untuk menjelaskan kesenjangan pemahaman budaya dan politik antara dunia Barat dan dunia Timur, khususnya berkenaan dengan konflik Israel-Palestina di Timur Tengah. Para pemikir yang mempunyai pengaruh besar terhadap dirinya antara lain Antonio Gramsci, Frantz Fanon, Aimé Césaire, Michel Foucault, dan Theodor Adorno.[5] Said menjadi terkenal karena karyanya, Orientalism, yang terbit pada 1978. Dalam buku ini, Said menganalisis dan mengkritik aspek-aspek budaya yang menjadi dasar Orientalisme — bagaimana dunia Barat memandang dunia Timur.[6][7][8][9] Model analisis tekstual Said mentransformasi diskursus akademik dalam teori sastra, kritik sastra, dan kajian Timur Tengah — bagaimana akademisi mengkaji, mendeskripsikan, dan mendefinisikan budaya yang dipelajari.[10][11] Sebagai sebuah teks yang fondasional, Orientalism menimbulkan kontroversi di kalangan sarjana studi Oriental, filsafat, dan sastra.[5][12] Selain menjadi seorang intelektual publik, Said juga merupakan anggota Dewan Nasional Palestina yang kontroversial karena kritik publiknya terhadap Israel dan negara-negara Arab, khususnya berkaitan dengan kebijakan politik dan budaya rezim negara-negara Muslim yang bertindak bertentangan dengan kepentingan nasional rakyatnya.[13][14] Said mengadvokasi pembentukan negara Palestina untuk menjamin kesetaraan dan hak asasi manusia bagi warga Palestina di Israel, termasuk hak untuk kembali ke tanah air mereka. Ia mendefinisikan oposisinya terhadap status quo sebagai tugas intelektual publik yang harus "menyaring, menilai, mengkritik, memilih, sehingga pilihan dan kapasitas kembali ke individu" pria dan wanita. Pada tahun 1999, konduktor musik Daniel Barenboim dan Said mendirikan West–Eastern Divan Orchestra yang berbasis di Sevilla. Said juga merupakan seorang pianis yang ulung. Bersama Barenboim, ia ikut menulis buku Parallels and Paradoxes: Explorations in Music and Society (2002), sebuah kompilasi percakapan dan diskusi publik mereka tentang musik yang diadakan di Carnegie Hall, New York.[15] Kehidupan dan karier![]() Masa mudaEdward Wadie Said lahir pada tanggal 1 November 1935[16] dari pasangan Hilda Said dan Wadie Said. Ayahnya, Wadie Said adalah seorang pengusaha di Yerusalem yang saat itu merupakan bagian dari mandat Inggris atas Palestina (1920–1948).[17] Wadie Said adalah orang Palestina yang bergabung dengan Pasukan Ekspedisi Amerika dalam Perang Dunia I. Dinas militer pada masa perang ini membuat ayah Said dan keluarganya diberikan kewarganegaraan Amerika Serikat. Ibu Said, Hilda Said, adalah keturunan Palestina dan Lebanon, lahir dan besar di Nazareth, Kesultanan Utsmaniyah.[18][19][20] Pada tahun 1919, Wadie Said mendirikan sebuah bisnis alat tulis di Kairo bekerja sama dengan sepupunya. Said memiliki empat orang adik perempuan. Salah satu dari mereka, Rosemarie Said Zahlan, kelak juga menjadi seorang akademisi.[21][22][23] Ayah dan ibu Said mempunyai latar belakang Kristen Arab, dan keluarga Said menganut agama Kristen Protestan.[24][25] Namun, di akhir masa hidupnya, Said menjadi seorang agnostik.[26][27][28][29][30] PendidikanSaid menggambarkan masa kecilnya (sampai ia berumur dua belas tahun) seperti "hidup di antara dua dunia" (Kairo dan Yerusalem).[31] Pada tahun 1947, ia mulai bersekolah di St. George's School, Jerusalem. Dalam memoirnya, Out of Place, ia menulis:
Said kemudian bersekolah di Victoria College, Alexandria. Salah satu teman satu sekolahnya adalah Raja Hussein dari Yordania dan aktor Omar Sharif, yang dikenangnya sebagai seorang "bocah sadis yang gemar menyiksa. Victoria College adalah sekolah bagi anak laki-laki Mesir, Suriah, Yordania, dan Arab Saudi yang nantinya diharapkan akan menjadi menteri, perdana menteri, dan pemimpin dan pengusaha di negaranya masing-masing."[32] Selama Palestina di bawah mandat Inggris, fungsi sekolah bergaya Eropa seperti Victoria College adalah untuk mendidik anak-anak muda terpilih dari kelas atas Arab dan Suriah untuk menjadi politisi pasca-kolonial yang akan memerintah negara mereka setelah proses dekolonisasi. Mengenai Victoria College, Said menulis:
Pada tahun 1951, Victoria College mengeluarkan Said karena kelakuannya yang buruk, meskipun prestasi akademisnya yang baik. Keluarganya kemudian memutuskan untuk mengirim Said ke Amerika. Dia selanjutnya bersekolah di Northfield Mount Hermon School, Massachusetts, sebuah sekolah asrama prestisius untuk persiapan memasuki perguruan tinggi. Di sana, ia menjalani tahun-tahun yang berat karena merasa terasing secara sosial. Meskipun demikian, ia menunjukkan performa akademik yang sangat baik. Ia meraih peringkat pertama (valedictorian) atau kedua (salutatorian) di kelas yang terdiri dari seratus enam puluh siswa. Ia melanjutkan studinya di Universitas Princeton, meraih gelar sarjana pada tahun 1957. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Harvard, tempat ia meraih gelar master pada tahun 1960 dan doktor pada tahun 1964, keduanya dalam bidang sastra Inggris. Said adalah seorang intelektual poliglot (fasih berbahasa Inggris, Prancis, dan Arab).[33][34] KarierPada tahun 1963, Said mulai mengajar di Jurusan Perbandingan dan Sastra Inggris, Universitas Columbia. Pada tahun 1977, ia menjadi Profesor Perbandingan dan Sastra Inggris dan pada 1993 menjadi Profesor Humaniora. Pada tahun 1974, Said menjadi profesor tamu dalam bidang perbandingan sastra di Harvard. Ia juga pernah menduduki kursi fellow di Center for Advanced Study in Behavioral Science, Universitas Stanford (1975-76) dan profesor tamu bidang ilmu budaya di Universitas Johns Hopkins (1979).[35] Selain itu, ia juga pernah mengajar di Universitas Yale dan puluhan universitas lain di seluruh dunia. Ia pensiun dari Universitas Columbia pada tahun 2003.[36] Said juga pernah menjadi ketua Modern Language Association; redaktur Arab Studies Quarterly di American Academy of Arts and Sciences; anggota dewan eksekutif International PEN; dan anggota sejumlah lembaga akademisi prestisius lainnya, seperti American Academy of Arts and Letters, Royal Society of Literature, Council of Foreign Relations;[35] dan American Philosophical Society.[37] Pada tahun 1993, Said memberikan Reith Lectures tahunan BBC yang berjudul Representations of the Intellectual. Ia mengkaji peran intelektual publik dalam masyarakat kontemporer yang kemudian diterbitkan BBC pada tahun 2011.[38] Dalam karyanya, Said sering meneliti istilah dan konsep arsip budaya, terutama dalam bukunya Culture and Imperialism (1993). Ia menyatakan bahwa arsip budaya adalah situs utama ditemukan dan dikembangkannya usaha dalam penaklukan imperialisme, dan arsip tersebut mencakup "narasi, sejarah, dan kisah-kisah perjalanan".[39] Said menekankan bahwa proyek imperialisme Barat berperan dalam kekacauan arsip budaya. Ia menyatakan teorinya bahwa disiplin ilmu seperti sastra komparatif, bahasa Inggris, dan antropologi dapat dikaitkan langsung dengan konsep imperialisme. Pada tahun 1980-an, menurut Nubar Hovsepian, Said menulis bahwa para intelektual Amerika mendukung Israel dengan melakukan "demonisasi terhadap rakyat Palestina"; Hovsepian juga menulis bahwa Said dilarang berkontribusi di The New York Review of Books oleh rekan editornya, Robert Silvers.[40] KaryaBuku terbitan pertama Said, Joseph Conrad and the Fiction of Autobiography (1966), merupakan perluasan dari disertasi doktoral yang ia hasilkan untuk mendapatkan gelar PhD. Abdirahman Hussein mengatakan dalam Edward Saïd: Criticism and Society (2010), bahwa novel Heart of Darkness (1899) karya Conrad adalah "dasar bagi seluruh karier dan proyek Said"[41][42] Dalam Beginnings: Intention and Method (1974), Said menelaah landasan teoritis kritik sastra dengan menggunakan pandangan dari Vico, Valéry, Nietzsche, de Saussure, Lévi-Strauss, Husserl, dan Foucault.[43] Karya-karya Said selanjutnya antara lain:
OrientalismSaid dikenal sebagai seorang kritikus budaya karena bukunya, Orientalism (1978). Di dalam karya monumentalnya itu, ia memberikan sebuah kritik terhadap orientalisme, yang ia deskripsikan sebagai representasi budaya yang keliru yang digunakan dunia Barat dalam melihat dunia Timur, terutama Timur Tengah. Tesisnya adalah terdapat "prasangka Eurosentris yang halus dan terus-menerus terhadap masyarakat Arab-Islam dan budaya mereka."[44] Prasangka ini berasal dari tradisi panjang budaya Barat yang melihat dan meromantisasi Asia secara keliru, khususnya pada Timur Tengah. Representasi budaya itu terus berfungsi sebagai pembenaran bagi kolonialisme dan imperialisme negara-negara Eropa dan AS. Selain itu, Said mengecam malpraktik politik dan budaya yang dilakukan oleh rezim elit Arab yang berkuasa yang telah menginternalisasi representasi budaya Arab yang salah yang diciptakan oleh para orientalis Anglo-Amerika.[44] ![]()
Dalam Orientalisme, Said berpendapat bahwa sebagian besar studi Barat tentang peradaban Islam adalah suatu intelektualisme politik yang dimaksudkan untuk mengafirmasi identitas Eropa, bukan studi akademik yang obyektif. Dengan demikian, bidang akademik studi Oriental berfungsi sebagai metode praktis diskriminasi budaya dan dominasi imperialis — artinya, sarjana orientalis Barat dianggap mengetahui lebih banyak tentang "dunia Timur" dibandingkan dengan "orang Timur" sendiri.[44][46] Menurut Said, representasi budaya dunia Timur dalam Orientalisme patut dicurigai secara intelektual, dan tidak dapat diterima sebagai representasi yang benar dan akurat mengenai masyarakat di dunia Timur. Said berpendapat bahwa sejarah pemerintahan kolonial dan dominasi politik Eropa atas peradaban Asia telah mendistorsi tulisan para Orientalis yang bahkan dianggap paling berpengetahuan, bermaksud baik, dan simpatik terhadap budaya Timur sekalipun.
Dalam Orientalism, Said juga menyatakan bahwa kesenian Barat telah keliru dalam menggambarkan dunia Timur dengan stereotip sejak zaman Antiquity, seperti dalam tragedi The Persias (472 SM), karya Aeschylus, di mana karakter protagonis Yunani terjatuh karena ia keliru memahami sifat sebenarnya dari orang-orang Timur.[46] Dominasi politik Eropa di Asia telah membuat teks-teks Barat mengenai dunia Timur yang paling obyektif sekalipun menjadi bias. Hal ini tidak disadari oleh para sarjana Barat yang mengambil alih produksi ilmu pengetahuan berupa karya-karya akademik yang mempelajari, mengeksplorasi, dan menafsirkan bahasa-bahasa, sejarah, dan masyarakat Asia. Oleh karena itu, produksi ilmu pengetahuan tentang dunia Timur oleh sarjana Orientalis Barat secara tersirat menunjukkan bahwa orang-orang subaltern kolonial (masyarakat terjajah) dianggap tidak mampu berpikir, bertindak, atau berbicara untuk diri mereka sendiri, sehingga tidak mampu menulis sejarah nasionalnya sendiri. Dalam keadaan imperialis seperti itu, para sarjana Orientalis Barat menulis sejarah dunia Timur — dan kemudian membangun identitas budaya Asia yang modern dengan sudut pandang bahwa dunia Barat adalah standar budaya yang harus ditiru, norma yang menjadi dasar untuk menilai eksotisme dan hal yang tidak dapat dipahami.[46] ![]() Kritik terhadap OrientalismDi kalangan akademisi, Orientalism mendapatkan banyak kritik baik secara profesional maupun pribadi terhadap Said.[47] Para sarjana orientalis terkemuka seperti Albert Hourani, Robert Graham Irwin, Nikki Keddie, Bernard Lewis, dan Kanan Makiya mendapat dampak negatif karena Orientalism mempengaruhi persepsi publik terhadap integritas intelektual mereka dan kualitas kajian akademik Orientalis mereka.[48][49][51] Sejarawan Nikki Keddie mengatakan bahwa karya kritis Said telah menyebabkan:
Dalam Orientalism, Said mendeskripsikan Bernard Lewis, seorang orientalis Anglo-Amerika, sebagai "perwujudan sempurna [dari] seorang Orientalis mapan [yang karyanya] dimaksudkan sebagai keilmuan yang objektif dan liberal, namun, pada kenyataannya, hampir menjadi propaganda yang bertentangan dengan materi bidang keilmuannya."[46] Lewis menanggapi Said dengan mengkritik keras Orientalism. Ia menuduh Said telah mempolitisasi kajian-kajian akademik tentang Timur Tengah (dan khususnya kajian Arab); mengabaikan kritik-kritik akademik orang-orang Barat dalam penemuan mereka; dan memberikan "keleluasaan" pada bias yang dimilikinya.[53] Pengaruh Orientalism![]() Dalam dunia akademia, Orientalism telah menjadi teks dasar bidang studi pasca-kolonial. Sebagaimana yang dikatakan oleh intelektual Inggris Terry Eagleton, kebenaran utama yang ditunjukkan oleh Orientalism adalah bahwa "secara historis, deskripsi-deskripsi yang merendahkan dunia Timur dan serangan imperialis ke dunia Timur berjalan secara beriringan."[54] Baik pendukung maupun pengkritik Said mengakui pengaruh transformatif Orientalism terhadap ilmu pengetahuan di bidang humaniora; Kritikus mengatakan bahwa tesis buku itu memberikan pengaruh yang membatasi secara intelektual bagi para sarjana, sementara para pendukungnya mengatakan bahwa tesis ini membebaskan secara intelektual.[55][56] Bidang studi pasca-kolonial dan ilmu budaya berupaya menjelaskan "dunia pasca-kolonial, masyarakatnya, dan ketidakpuasan mereka",[4][57] yang mana teknik penyelidikan dalam Orientalism, terbukti dapat diterapkan secara khusus dalam studi Timur Tengah.[10] Dengan demikian, penyelidikan dan analisis yang diterapkan Said dalam Orientalism terbukti sangat praktis dalam kritik sastra dan studi budaya,[10] seperti studi-studi sejarah pasca-kolonial India oleh Gyan Prakash,[58] Nicholas Dirks[59] dan Ronald Inden,[60] Kamboja modern oleh Simon Springer,[61] dan teori sastra Homi K. Bhabha,[62] Gayatri Chakravorty Spivak[63] dan Hamid Dabashi (Iran: A People Interrupted, 2007). Di Eropa Timur, Milica Bakić–Hayden mengembangkan konsep Nesting Orientalisms (1992), yang terinspirasi dari gagasan sejarawan Larry Wolff (Inventing Eastern Europe: The Map of Civilization on the Mind of the Enlightenment, 1994) dan gagasan Said dalam Orientalisme (1978).[64] Sejarawan Bulgaria Maria Todorova (Imagining the Balkans, 1997) menyajikan konsep etnologis Nesting Balkanisms (Ethnologia Balkanica, 1997) yang terinspirasi dari konsep Nesting Orientalisms yang dikembangkan oleh Milica Bakić–Hayden.[65] Dalam The Impact of "Biblical Orientalism" in Late Nineteenth-and Early Twentieth-Century Palestine (2014), sejarawan Lorenzo Kamel menyajikan konsep "Biblical Orientalism" dengan analisis historis mengenai penyederhanaan realitas lokal Palestina yang kompleks yang terjadi pada tahun 1830-an hingga awal abad ke-20.[66] Kamel mengatakan penggunaan selektif dan penyederhanaan agama dalam memahami tempat yang dikenal sebagai "Tanah Suci", menciptakan pandangan bahwa sebagai sebuah tempat, Tanah Suci tidak memiliki sejarah manusia selain sebagai tempat terjadinya cerita-cerita yang terdapat dalam Alkitab. Wacana pasca-kolonial yang disajikan dalam Orientalism, juga mempengaruhi teologi pasca-kolonial dan kritik alkitab pasca-kolonial.[67] Buku lain dalam bidang ini adalah Postcolonial Theory (1998), oleh Leela Gandhi, menjelaskan Post-kolonialisme dalam kaitannya dengan bagaimana hal itu dapat diterapkan pada konteks sejarah filosofis dan intelektual yang lebih luas.[68] PolitikPada tahun 1967, akibat Perang Enam Hari (5–10 Juni 1967), Said mulai berperan sebagai seorang intelektual publik ketika ia secara terbuka menentang stereotip misrepresentasi (faktual, sejarah, budaya) media-media AS dalam menjelaskan perang Arab-Israel; Reportase tersebut tidak sesuai dengan realitas sejarah Timur Tengah pada umumnya, serta hubungan Palestina dengan Israel pada khususnya. Untuk menjelaskan dan mengoreksi orientalisme tersebut, Said menerbitkan "The Arab Portrayed" (1968), sebuah esai deskriptif tentang "orang Arab" yang dimaksudkan untuk menghindari diskusi spesifik tentang realitas sejarah dan budaya masyarakat (Yahudi, Kristen, Muslim) Timur Tengah yang ditampilkan dalam jurnalisme (cetak, foto, televisi) dan beberapa jenis karya kesarjanaan (jurnal spesialis).[69] Dalam esainya yang berjudul Zionism from the Standpoint of Its Victims (1979), Said mendukung legitimasi politik dan autentisitas klaim dan hak orang-orang Zionis atas tanah air Yahudi; dan hak yang melekat pada rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri secara nasional.[70] Buku-buku Said tentang Israel dan Palestina antara lain The Question of Palestine (1979), The Politics of Dispossession (1994), dan The End of the Peace Process (2000). Dewan Nasional PalestinaDari tahun 1977 hingga 1991, Said menjadi anggota independen Dewan Nasional Palestina (Palestinian National Council, PNC).[71] Pada tahun 1988, ia turut mendukung solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina, dan memilih solusi pembentukan Negara Palestina pada pertemuan PNC di Aljir. Pada tahun 1993, Said keluar dari keanggotaannya di Dewan Nasional Palestina dengan tujuan untuk memprotes politik internal PNC yang berakibat pada penandatanganan Perjanjian Oslo (Deklarasi Prinsip-prinsip Pengaturan Pemerintahan Sendiri Sementara, 1993), yang menurutnya memiliki persyaratan yang tidak dapat diterima, dan karena persyaratan tersebut telah ditolak dalam Konferensi Madrid tahun 1991. Said tidak menyukai Perjanjian Oslo karena Perjanjian itu tidak menghasilkan Negara Palestina yang merdeka, dan karena perjanjian tersebut secara politik mempunyai status yang lebih rendah dibandingkan rencana yang ditolak oleh Yasir Arafat — sebuah rencana yang disampaikan Said kepada Arafat atas nama pemerintah AS pada akhir tahun 1970-an.[72] Yang paling mengecewakan Said adalah ia menganggap bahwa Yasir Arafat telah mengkhianati hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina ke rumah dan properti mereka di wilayah Garis Hijau Israel sebelum tahun 1967, dan bahwa Arafat telah mengabaikan ancaman politik yang semakin besar dari permukiman Israel di wilayah yang telah didirikan sejak penaklukan Palestina pada tahun 1967. ![]() Pada tahun 1995, sebagai tanggapan atas kritik politik Said, Otoritas Palestina melarang penjualan buku-buku Said. Otoritas Palestina kemudian mencabut larangan buku tersebut setelah Said secara terbuka memuji Yasir Arafat karena menolak tawaran Perdana Menteri Ehud Barak pada KTT Perdamaian Timur Tengah di Camp David (2000) di AS.[73][74] Pada pertengahan 1990-an, Said menulis kata pengantar untuk buku sejarah Jewish History, Jewish Religion: The Weight of Three Thousand Years (1994), karya Israel Shahak, tentang fundamentalisme Yahudi. Buku itu memaparkan proposisi kultural bahwa perlakuan buruk Israel terhadap warga Palestina adalah sebuah tindakan yang tidak pantas dan berakar pada ajaran Yudaisme yang mengizinkan orang Yahudi untuk melakukan kejahatan, termasuk pembunuhan, terhadap orang yang bukan Yahudi (non-Yahudi). Dalam kata pengantarnya, Said menulis bahwa buku itu "tidak lain adalah sejarah singkat Yudaisme klasik dan modern, sepanjang relevan dengan pemahaman tentang Israel modern"; dan memuji sejarawan Shahak karena mendeskripsikan Israel kontemporer sebagai sebuah negara yang tergabung dalam suasana budaya "Judeo-Nazi" yang memungkinkan terjadinya dehumanisasi terhadap Orang Palestina liyan:[75]
Pada tahun 1998, Said terlibat dalam In Search of Palestine (1998), sebuah film dokumenter BBC tentang Palestina. Ditemani putranya, Wadie, Said mengingat kembali masa kecilnya, dan menghadapi ketidakadilan yang dialami warga Palestina masa kini di Tepi Barat. Terlepas dari prestise sosial dan budaya produk bioskop BBC di AS, film dokumenter tersebut tidak pernah disiarkan oleh perusahaan televisi Amerika mana pun.[77][78] Pada tahun 1999, penerbitan bulanan masyarakat Yahudi Amerika, Commentary, mengutip dokumen-dokumen yang disimpan di Kantor Pendaftaran Pertanahan di Yerusalem selama periode Mandat untuk berargumen tentang kenangan masa kecil Said. Tulisan Justus Weiner dalam Commentary mengklaim bahwa "masa kanak-kanak [Said] di Palestina", pada kenyataannya, tidak lebih dari kunjungan sesekali dari Kairo, tempat orang tuanya tinggal, memiliki bisnis, dan membesarkan keluarga mereka.[79] Di PalestinaPada tanggal 3 Juli 2000, saat berkunjung ke Timur Tengah bersama putranya, Wadie, Said difoto sedang melemparkan batu melintasi Garis Biru perbatasan Lebanon-Israel. Foto tersebut menimbulkan banyak kritik politik karena tindakannya yang dianggap menunjukkan simpati terhadap terorisme. Di majalah Commentary, jurnalis Edward Alexander menjuluki Said sebagai "Profesor Teror", karena agresi yang dilakukan terhadap Israel.[80] Said menjelaskan pelemparan batu itu sebagai tindakan dalam dua dimensi, pribadi dan politik; kontes keterampilan antara seorang ayah dan putranya, dan sikap gembira seorang pria Arab pada akhir pendudukan Israel di Lebanon selatan (1985–2000): "Itu hanyalah sebuah batu kerikil; tidak ada siapa-siapa [yang terkena batu] di sana. Pos jaga itu jauhnya kira-kira setengah mil."[81] Said membantah bahwa ia mengarahkan batu tersebut ke pos jaga Israel. Surat kabar Beirut As-Safir melaporkan bahwa menurut seorang penduduk lokal Lebanon, Said berada pada jarak kurang dari sepuluh meter dari tentara Pasukan Pertahanan Israel (Israeli Defence Forces, IDF) yang berjaga di pos jaga dua lantai; Said melemparkan batu melewati pagar perbatasan dan menghantam kawat berduri di atas pagar perbatasan.[82] Meskipun terjadi perselisihan antara mahasiswa Universitas Columbia dan Liga Anti-Pencemaran Nama Baik B'nai B'rith International (Sons of the Covenant), pembantu rektor universitas tersebut mengeluarkan keterangan resmi yang membela tindakan Said sebagai kebebasan berekspresi akademisi: "Sepengetahuan saya, batu itu tidak ditujukan kepada siapa pun; tidak ada hukum yang dilanggar; tidak ada dakwaan yang dibuat; tidak ada tindakan pidana atau perdata yang diajukan terhadap Profesor Saïd."[83] ![]() Insiden tersebut juga berdampak pada beberapa aktivitas akademik Said seperti pembatalan undangan untuk memberikan kuliah umum di Freud Society, di Austria, pada Februari 2001.[84] Presiden Freud Society membenarkan penarikan undangan tersebut dengan menjelaskan bahwa "situasi politik di Timur Tengah telah menjadikan tuduhan anti-Semitisme sebagai masalah yang sangat serius, dan bahwa tuduhan semacam itu "telah menjadi lebih serius dan berbahaya" dalam politik Austria; dengan demikian, Freud Society membatalkan undangannya kepada Said untuk "menghindari benturan internal" tentang dia, yang secara ideologis dapat memecah Freud Society.[81] Dalam Culture and Resistance: Conversations with Edward Saïd (2003), Said menyamakan situasi politiknya dengan situasi yang dialami Noam Chomsky sebagai seorang intelektual publik:
Kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika SerikatDalam edisi revisi Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1997), Said mengkritik bias orientalis dalam pemberitaan media Barat tentang Timur Tengah dan Islam, terutama tendensi untuk melakukan editorialisasi "spekulasi mengenai konspirasi terbaru untuk meledakkan gedung, menyabotase pesawat komersial, dan meracuni pasokan air."[86] Ia juga mengecam keterlibatan militer Amerika dalam Perang Kosovo (1998–99) sebagai tindakan imperialis; dan mendeskripsikan Undang-Undang Pembebasan Irak (1998), yang diundangkan pada masa Pemerintahan Clinton, sebagai otorisasi yang mendorong AS untuk menginvasi Irak pada tahun 2003, yang disahkan melalui Resolusi Irak (2 Oktober 2002). Said juga mengkritik dukungan terus-menerus pemerintah AS terhadap Israel sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melanggengkan ketidakstabilan politik regional di Timur Tengah.[15] Meski menderita leukemia, Said terus mengkritik Invasi AS ke Irak pada pertengahan tahun 2003.[87] Di surat kabar mingguan Al-Ahram Mesir, Said menulis dalam artikel "Resources of Hope" (2 April 2003) bahwa perang AS melawan Irak adalah upaya militer yang secara politik telah salah dipahami:
Di bawah pengawasan FBIPada tahun 2003, Haidar Abdel-Shafi, Ibrahim Dakak, Mustafa Barghouti, dan Said mendirikan Al-Mubadara (Inisiatif Nasional Palestina), yang dipimpin oleh Mustafa Barghouti. Al-Mubadara adalah sebuah partai reformis dan demokratis pihak ketiga yang dimaksudkan untuk menjadi alternatif dari sistem dua partai Palestina. Sebagai sebuah partai politik, ideologi Al-Mubadara berbeda dari politik ekstremis Fatah yang sosial-demokrasi dan Islamis Hamas. Terlibatnya Said dalam pendirian partai ini, serta aktivitas politik internasional lainnya mengenai Palestina menjadi perhatian pemerintah AS pada waktu itu. Said kemudian berada di bawah pengawasan FBI, yang menjadi lebih intensif setelah tahun 1972. David Price, seorang antropolog di Evergreen State College, meminta file FBI tentang Said melalui Freedom of Information Act atas nama CounterPunch dan menerbitkan laporannya di sana tentang temuannya.[89] Dokumen-dokumen FBI tentang Said menunjukkan bahwa FBI telah membaca buku-buku Said dan melaporkan isinya ke Washington.[90][91] Musik![]() Selain menjadi seorang intelektual publik, Edward Said adalah seorang pianis ulung dan juga kritikus musik untuk majalah The Nation. Ia menulis empat buku tentang musik: Musical Elaborations (1991); Parallels and Paradoxes: Explorations in Music and Society (2002), dengan Daniel Barenboim sebagai rekan penulis; On Late Style: Music and Literature Against the Grain (2006); dan Music at the Limits (2007). Dalam buku terakhirnya, ia berbicara tentang refleksi musik dari ide-ide sastra dan sejarah yang ditemukan dalam komposisi yang berani dan penampilan yang kuat.[92][93] Komposer Mohammed Fairouz mengakui pengaruh mendalam Edward Said terhadap karya-karyanya; secara komposisi, First Symphony Fairouz secara tematis menyinggung esai "Homage to a Belly-Dancer" (1990) tentang Tahia Carioca, penari, aktris, dan militan politik Mesir; dan piano sonata berjudul Reflections on Exile (1984), yang secara tematis merujuk pada emosi yang melekat pada orang buangan.[94][95][96] Pada tahun 1999, Said dan Barenboim mendirikan Orkestra Divan Barat-Timur, yang terdiri dari musisi muda Israel, Palestina, dan Arab. Mereka juga mendirikan The Barenboim–Said Foundation di Sevilla untuk mengembangkan proyek pendidikan melalui musik. Selain mengelola Orkestra Divan Barat–Timur, Yayasan Barenboim–Said membantu administrasi Akademi Studi Orkestra, Proyek Pendidikan Musik di Palestina, dan Proyek Pendidikan Musik Anak Usia Dini di Sevilla.[97] PenghargaanEdward Said dianugerahi sekitar dua puluh gelar kehormatan universitas selama kehidupan profesionalnya sebagai akademisi, kritikus, dan Man of Letters.[98] Penghargaan-penghargaan yang diberikan kepadanya antara lain:
Kematian dan peninggalan![]() Pada tanggal 24 September 2003, Said meninggal di usia 67 tahun di New York City setelah menderita penyakit leukemia limfositik kronis selama 12 tahun.[13] Ia meninggalkan istrinya, Mariam C. Said, putranya, Wadie Said, dan putrinya, Najla Said.[102][103][104] Para tokoh yang memberikan eulogi antara lain Alexander Cockburn ("Hati yang Kuat dan Penuh Semangat");[105] Seamus Deane ("Gaya Humanisme Tahap Akhir");[106] Christopher Hitchens ("Salam untuk Edward Said");[107] Tony Judt ("Kosmopolitan Tanpa Akar");[108] Michael Wood ("Tentang Edward Said");[109] dan Tariq Ali ("Mengingat Edward Said, 1935–2003").[110] Said dimakamkan di Pemakaman Protestan di Broumana, Jabal Lubnan, Lebanon. Nisannya menunjukkan dia meninggal pada 25 September 2003. Pada bulan November 2004, Universitas Birzeit di Palestina mengganti nama sekolah musik mereka menjadi Konservatorium Musik Nasional Edward Said.[111] Penghormatan kepada Said diwujudkan dalam bentuk publikasi buku dan pendirian sekolah; seperti Waiting for the Barbarians: A Tribute to Edward W. Said (2008) menampilkan esai karya Akeel Bilgrami, Rashid Khalidi, dan Elias Khoury;[112][113] Edward Said: The Charisma of Criticism (2010), oleh Harold Aram Veeser, sebuah biografi kritis; dan Edward Said: A legacy of Emancipation and Representations (2010), esai oleh Joseph Massad, Ilan Pappé, Ella Shohat, Ghada Karmi, Noam Chomsky, Gayatri Chakravorty Spivak, dan Daniel Barenboim. Akademi Barenboim–Said (Berlin) didirikan pada tahun 2012. Pada tahun 2002, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nayhan, pendiri dan presiden Uni Emirat Arab, dan tokoh-tokoh lainnya menganugerahkan Edward Said Chair di Universitas Columbia; saat ini diketuai oleh Rashid Khalidi.[114][115] Pada tahun 2016, California State University di Fresno mulai menerima lamaran pekerjaan untuk jabatan guru besar yang dibentuk dalam Studi Timur Tengah yang dinamai Professor Edward Said. Tetapi setelah berbulan-bulan memeriksa pelamar, Fresno State membatalkan jabatan tersebut. Beberapa pengamat menyatakan pembatalan tersebut karena adanya tekanan dari beberapa individu dan kelompok.[116] Referensi
Bibliografi
Pranala luar![]() Wikimedia Commons memiliki media mengenai Edward Said.
|
Portal di Ensiklopedia Dunia