Milieudefensie et al v Royal Dutch Shell |
---|
|
Pengadilan | Pengadilan Negeri The Hague |
---|
Diputuskan | 26 Mei 2021 (2021-05-26) |
---|
ECLI | ECLI:NL:RBDHA:2021:5337 |
---|
Transkrip | in Dutch; in English |
---|
|
Kebijakan, niat kebijakan, dan ambisi Royal Dutch Shell (RDS) untuk Grup Shell tidak sesuai dengan kewajiban pengurangan emisi karbon RDS. Perintah yang diklaim untuk memenuhi kewajiban itu harus diterima. Perintah tersebut dinyatakan berlaku dalam waktu dekat. |
|
Hakim anggota majelis | Larisa Alwin, Irene Kroft, dan Michiel Harmsen |
---|
Milieudefensie et al v Royal Dutch Shell adalah kasus hukum yang dibacakan pengadilan negeri The Hague di Belanda tahun 2021 terkait upaya perusahaan multinasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Di bulan Mei 2021, pengadilan memerintahkan Royal Dutch Shell (RDS) untuk mengurangi emisi karbonnya secara global dari level tahun 2019-nya sebesar 45% di tahun 2030. Kasus hukum ini dikatakan sebagai litigasi perubahan iklim yang besar melawan korporasi.
Latar belakang
Pasca penerapan secara global Perjanjian Paris di tahun 2016 yang bertujuan untuk membatasi perubahan termperatur rata-rata dunia hingga di bawah 2 oC melalui serangkaian pencapaian hingga tahun 2030 dan seterusnya, perusahaan besar yang beroperasi di bawah negara penandatangan Perjanjian Paris mulai melakukan evaluasi terkait operasi perusahaan mereka untuk memenuhi target perjanjian tersebut. Perusahaan multinasional berbendera Inggris dan Belanda, Royal Dutch Shell adalah salah satu perusahaan migas terbesar di dunia dan berkantor pusat di Belanda, salah satu negara penandatangan Perjanjian Paris. RDS merupakan perusahaan terbesar kesembilan dalam hal emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap 1% emisi global.[1][2] Saat perjanjian Paris mulai dirumuskan, RDS mulai mengevaluasi usahanya untuk menentukan apa yang dapat dilakukan untuk memenuhi target emisi, namun mereka juga menyatakan di tahun 2014 bahwa target Perjanjian Paris tidak dapat dicapai dan tidak berencana untuk mengubah model usaha migasnya.[1] Pasca penandatanganan Perjanjian Paris, RDS mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan melihat kembali emisinya, dan merilis rencana yang bertindak mengurangi emisi karbon dioksidanya sebanyak 30% di tahun 2035, dibandingkan dengan level tahun 2016-nya, dan 65% di tahun 2050.[1]
Para aktivis lingkungan melihat rencana ini jauh lebih lambat dari apa yang ditargetkan perjanjian Paris. Tujuh organisasi lingkungan, yaitu Milieudefensie, Greenpeace, Fossielvrij, Waddenvereniging, Both ENDS, Jongeren Milieu Actief, dan ActionAid serta 17 379 penggugat perseorangan di Belanda mengajukan gugatan perwakilan kelompok melawan RDS di bulan April tahun 2019, berpendapat bahwa RDS dapat mengubah model usahanya untuk menginvestasikan lebih banyak di sektor energi terbarukan dan mencapai target pengurangan emisi 45% di tahun 2030.[1][3] Jika gagal mengubah usaha bisnisnya, maka gugatan menyatakan bahwa RDS telah gagal dalam menjunjung tinggi standar yang telah tertulis di dalam Hukum Perdata Belanda Burgerlijk Wetboek Buku 6 Bagian 162, juga European Convention on Human Rights pasal 2 dan 8.[1][4][5] RDS merespon perkara hukum tersebut bahwa mereka telah melakukan upayanya dalam mengatasi perubahan iklim, dan "setiap upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat transisi energi adalah kebijakan yang efektif, investasi di bidang teknologi, dan perubahan perilaku konsumen. Semua itu tidak akan dicapai lewat perkara hukum ini. Menangani tantangan ini membutuhkan upaya dan kerja sama global."[1]
Pengadilan
Sesi pembacaan perkara pada pengadilan negeri The Hague dilakukan di bulan Desember tahun 2020. Penggugat, berdasarkan hukum Belanda, diminta mendemonstrasikan bahwa model bisnis yang diajukan ada dan dapat dilakukan RDS untuk memenuhi reduksi global sebesar 45%. Mereka menggunakan model transformasi bisnis perusahaan Denmark Ørsted yang berhasil beranjak dari model bisnis berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan.[1] Selama pengadilan berlangsung, RDS menyatakan ikrar untuk mencapai karbon netral di tahun 2050.[6] Penggugat mempertimbangkan bahwa ikrar RDS tidak cukup dan perusahaan akan gagal dalam memenuhi target yang tertuang dalam Perjanjian Paris.[7]
Pengadilan mengeluarkan keputusannya pada 26 Mei 2021. Dalam keputusannya, pengadilan menemukan bahwa kebijakan RDS "tidak cukup nyata" dan tingkat emisi globalnya melebihi hampir setiap negara di dunia.[7] Atas semua faktor ini, pengadilan memerintahkan RDS untuk mengurangi emisi globalnya hingga 45% di tahun 2030, dibandingkan dengan level 2019-nya. Target pengurangannya mencakup emisi yang dikeluarkan setiap rekan bisnisnya, yaitu para penyuplai dan pembeli.[2] Pengadilan menetapkan perintah ini berlaku dengan segera, sekalipun salah satu pihak mengajukan banding.[7][8][9]
Kasus hukum ini dikatakan sebagai pencapaian dalam hukum terkait lingkungan dan perubahan iklim. Berbagai gugatan hukum terkait lingkungan sebelumnya telah dapat memperbaiki emisi, namun kasus hukum ini merupakan yang paling besar melawan korporasi untuk memenuhi Perjanjian Paris.[7] Keputusan hukum hanya berlaku di Belanda,[10] namun kemenangan ini dapat menjadi sumbu untuk memicu gugatan hukum lainnya melawan korporasi dengan emisi gas rumah kaca yang tinggi, yang belum mengambil langkah-langkah pengurangan emisi, di berbagai negara.[2][8][9][11][12] Dampak dari keputusan pengadilan ini dikatakan dapat diperkuat karena perubahan iklim kini secara internasional sudah dikaitkan dengan hak asasi manusia.[2][7][13]
RDS menyatakan akan naik banding.[2][14]
Lihat pula
Referensi