Menjelek-jelekkan musuhDemonisasi musuh dapat disebut dengan Menghancurkan citra musuh atau menjelek-jelekkan musuh (dalam bahasa Inggris disebut dengan demonizing the enemy) [1] adalah suatu strategi psikologis dan komunikasi yang kemudian berkembang menjadi sebuah teknik propaganda, istilah ini merujuk pada upaya untuk menggambarkan musuh atau lawan secara negatif, seringkali dengan cara yang berlebihan atau tidak adil, sehingga mereka terlihat sebagai entitas jahat, kejam, atau tidak manusiawi[2] Demonisasi bertujuan untuk menciptakan citra musuh yang sangat negatif, sehingga masyarakat atau kelompok yang disasar menjadi penuh kebencian terhadap musuh tersebut, menjadikannya lebih mudah untuk diserang atau dihancurkan secara fisik maupun psikologis.[3] Kriteria dasarJules Boykoff mengidentifikasi empat kriteria yang digunakan oleh media dan negara untuk menggambarkan musuh dalam kerangka moral yang sederhana.
SejarahDemonisasi terhadap musuh sudah menjadi bagian penting dalam sejarah konflik manusia, dan contoh awal tercatat dalam karya Thucydides, seorang sejarawan Yunani Kuno, yang menggambarkan Perang Peloponnesos antara Athena dan Sparta. Dalam catatannya History of the Peloponnesian War, Thucydides menjelaskan bagaimana kedua pihak saling menggambarkan musuh mereka sebagai entitas yang jahat dan terancam, guna membangkitkan kebencian dan memobilisasi dukungan rakyat. Athena menggambarkan Sparta sebagai bangsa yang keras, terbelakang, dan barbar, sementara Sparta melihat Athena sebagai kota yang penuh dengan kemewahan dan korupsi. Demonisasi ini bertujuan untuk menciptakan citra musuh yang sepenuhnya negatif, mengurangi kemungkinan perdamaian, dan memudahkan justifikasi untuk bertindak agresif. Dengan cara ini, kedua belah pihak merasa perang adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan mereka, tanpa mempertimbangkan upaya diplomatik atau rekonsiliasi.[5][6] Phillip Knightley berpendapat bahwa penggambaran musuh sebagai iblis, dimulai dengan pemimpin musuh dan kemudian individu-individu dari kelompok tersebut, telah menjadi pola yang bisa diprediksi dan diikuti oleh media Barat sepanjang sejarah konflik. Dalam proses ini, media secara bertahap membangun citra musuh yang sepenuhnya negatif, dengan fokus pertama pada pemimpin yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan, sebelum merambah ke individu-individu dari kelompok tersebut yang juga digambarkan sebagai ancaman. Knightley menunjukkan bahwa tahap akhir dari demonisasi ini adalah kekejaman, di mana musuh tidak hanya digambarkan sebagai musuh yang harus dikalahkan, tetapi sebagai sosok yang tidak berperasaan, kejam, dan tidak manusiawi. Proses ini mempermudah justifikasi terhadap tindakan kekerasan, karena masyarakat yang terpengaruh oleh narasi ini merasa bahwa musuh mereka tidak layak diperlakukan dengan cara manusiawi.[7] Selama Perang Dunia II, Amerika Serikat menggunakan film dokumenter propaganda sebagai alat untuk membentuk opini publik dan memobilisasi dukungan terhadap upaya perang. Film-film ini, yang disiapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan lembaga negara lainnya, sering kali berisi diskriminasi terhadap musuh—terutama terhadap Jepang, Jerman, dan Italia—serta menampilkan pesan patriotisme yang kuat, mengibarkan bendera Amerika sebagai simbol perjuangan untuk kebebasan dan keadilan. Film-film ini menggambarkan musuh dengan citra yang sangat negatif, menggambarkan mereka sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang dianggap luhur oleh Amerika. Setelah disetujui oleh pihak berwenang, film-film tersebut didistribusikan luas, baik untuk konsumsi domestik maupun di luar negeri, guna memperkuat solidaritas nasional, menanamkan kebencian terhadap musuh, dan membenarkan tindakan agresi militer Amerika Serikat. [8] Personifikasi dan demonisasiDemonisasi terhadap musuh menjadi lebih efektif ketika musuh tersebut dipersonalisasi pada satu individu, seperti yang terjadi pada Kaisar Wilhelm II selama Perang Dunia I. Media populer di Rusia menggambarkan Wilhelm sebagai simbol dari kejahatan dan agresi Jerman, menjadikannya fokus utama kebencian dan ketakutan publik. Sebagai pemimpin Jerman, ia dipandang sebagai sumber dari segala kehancuran yang ditimbulkan oleh perang, digambarkan sebagai sosok yang haus kekuasaan dan kejam. Dengan memusatkan kebencian pada satu individu, demonisasi ini memungkinkan Rusia untuk membingkai konflik dalam kerangka moral yang sederhana, di mana perjuangan mereka diposisikan sebagai perlawanan terhadap tirani yang dipimpin oleh figur jahat tersebut, memperkuat dukungan publik untuk tindakan keras terhadap Jerman. [9] Referensi
Bacaan lebih lanjut
|