Masjid Agung Awwal Fathul Mubien |
---|
Berkas:Ujk Masjid Agung Awwal Fathul Mubien |
|
|
Afiliasi | Islam |
---|
|
Lokasi | Jalan Sultan Hasanuddin, Kelurahan Islam, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara |
---|
|
Tipe | Masjid Agung |
---|
Peletakan batu pertama | 1770 |
---|
Rampung | 1802 |
---|
|
Panjang | 26 meterr |
---|
Lebar | 26 meter |
---|
Kubah | 1 |
---|
Menara | 1 |
---|
Masjid Agung Awwal Fathul Mubien adalah sebuah masjid yang berlokasi di Jalan Sultan Hasanuddin, Kelurahan Islam, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara. Masjid ini didirikan sekitar tahun 1770 dan merupakan masjid pertama yang dibangun di Kota Manado.[1][2]
Sejarah
Sekitar tahun 1760, ketika Kota Manado mulai membuka dirinya sebagai lintasan perdagangan rempah-rempah di wilayah KTI setelah Makassar, Ternate dan Ambon, Kota Manado mulai dijadikan daerah transit (persinggahan) para pedagang.[1]
Awalnya para pendatang yang berprofesi sebagai pedagang dan beragama Islam dari Ternate, Tidore, Makian (Maluku Utara) dan Hitu (Ambon), mulai tinggal dan menetap sementara di Manado, tepatnya di kawasan Pondol.[1]
Seiring waktu dengan kian ramainya jalur perdagangan, para pedagang Islam dari Jawa Tengah, Solo, Yogyakarta serta Surabaya, pun mulai ikut menetap. Banyak dari mereka yang juga berprofesi sebagai pegawai yang bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda.[1]
Makin banyaknya penduduk Muslim baru di Manado, mereka perlahan-lahan mulai berpikir untuk mendirikan atau membangun suatu perkampungan baru yang khusus bagi komunitas Muslim, agar mereka lebih leluasa menjalankan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan agama.
Keinginan mereka baru bisa terealisasi sekitar 1770 atau 10 tahun kemudian.[1] Itu pun dengan persetujuan pemerintah Belanda yang memilih lokasi kosong dan layak untuk dihuni, yakni ujung Utara Manado, kala itu bernama Kampung Suraya. Kampung itulah yang kemudian menjadi tempat bagi pendatang komunitas Muslim dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya.
Kampung Islam
Menurut penuturan Hi. Hasan Jan SE, dalam sebuah risalah singkatnya mengenai sejarah berdirinya Masjid Awal Fathul Mubien menilai, daerah tersebut dipilih karena waktu itu, wilayah tersebut rawan konflik. Artinya sering terjadi perang antar suku asli yang mendiami kawasan Manado bagian utara dengan suku asli yang mendiami kawasan Manado bagian selatan.
Kampung Islam mulai bertambah ramai menyusul pendatang baru yang datang dari Palembang, Padang, Banjar, Makassar, Indramayu dan Cirebon. Bahkan para pedagang Timur Tengah dari Hadramaut Yaman yang masuk melalui pantai Utara Jawa.
Di tengah-tengah kampung kemudian di dirikanlah sebuah masjid yang diberi nama Awal Fathul Mubien yang berarti sebagai awal atau pembuka yang nyata. Kira-kira sekitar 1802 dengan keadaan bangunan masjid masih menggunakan pondasi karang berlantai papan.
Sedangkan di bagian ujung kampung disediakan lahan pekuburan khusus bagi penduduk Kampung Islam.
Pemugaran
Sekitar 1830 bangunan masjid untuk pertama kalinya dipugar. Masjid direnovasi menjadi lebih besar dengan ukuran 8 x 8 meter, dengan pondasi mulai memakai campuran kapur dengan tras. Perbaikan bangunan masjid terus dilakukan. Tahun 1930, diubah menjadi 8 x 12 meter. Selanjutnya diperluas lagi menjadi 8 x 14 meter. Selanjutnya antara 1967 – 1995 diperluas menjadi 26 x 26 meter.[3] Dan pada 2001 sampai sekarang terus dilakukan perbaikan, dengan pemasangan tegel/keramik pada semua bagian masjid.
Ini dilakukan selain makin bertambahnya penduduk muslim, juga intensitas kegiatan dalam mengembangkan kebudayaan Islam makin banyak. Seperti, baca tulis Al-Quran, Barzanji, baca doa Maulud, kesenian Hadrah dan Samra.
Sebagai masjid pertama di Kota Manado dan kedua terbesar setelah Masjid Raya Ahmad Yani, Masjid Awal Fathul Mubien diberikan status sebagai masjid Agung pada 1 Juli 1991.[1] Tercatat pula, sejak masjid didirikan 1770 sampai sekarang, sudah 7 orang yang dipilih sebagai imam yakni, Taher Umar, Hi. Ahmad Buntjong, Hi. Umar Jaseh, Akwan Hamadi, Hi. Said T Bachmid, Achmad Z Makkah dan Drs Hi. Abdurrahman Noh (imam saat ini).[1]
Referensi