Perusahaan ini awalnya didirikan dengan nama PT Indonesia Air Transport (IAT) pada 10 Agustus 1968[1] sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penerbangan sewa (charter). Usahanya adalah melayani eksplorasi industri migas, evakuasi medis, penerbangan pariwisata, kargo, pemeliharaan pesawat, survei, geofisika, eksplorasi udara, dll dengan pesawat fixed-wing atau helikopter. Mulanya fokus bisnis IAT ada pada pemberian jasa bagi Pertamina dan perusahaan swasta asing yang bergerak di industri sejenis.[2][3]
Pada mulanya IAT merupakan perusahaan modal asing yang dimiliki bersama oleh Schreiner Airways B.V., sebuah perusahaan Belanda yang bergerak di bidang penerbangan sebagai pemegang saham mayoritas (80%), perusahaan asal AS Petrolane Inc.,[4] (kemudian keduanya menjadi 40%-40%)[5] dan sejumlah pengusaha lokal. Adapun manajemen IAT juga ditangani oleh ekspatriat yang didatangkan dari Belanda.[6] Di tahun 1975 komposisi kepemilikan Schreiner merosot menjadi 50%, dengan setengahnya lagi dimiliki bersama oleh Soekardjono Sostrohamidjojo dan tiga pengusaha. Pada tahun 1983-1984 perusahaan ini kembali berpindah kepemilikan ke tangan PT Bimantara Citra milik Bambang Trihatmodjo.[7][8]
Perkembangan ekonomi dan bisnis membuat kinerja IAT berkembang dengan pada 1990 memiliki 12 helikopter, 6 pesawat terbang (baling-baling dan jet), mencatatkan omset US$ 35 juta, aset US$ 42 juta dan mempekerjakan 258 karyawan. Saat itu IAT memiliki satu base utama di Jakarta, ditambah 3 lainnya di Denpasar, Balikpapan dan Sumatera Selatan.[9][7]
Krisis moneter di akhir 1990-an membuat Bambang Tri harus melepas Bimantara Citra (termasuk IAT di dalamnya) kepada Hary Tanoesoedibjo, pemiliknya saat ini. Namun, di saat banyak perusahaan non-media dilepas, Hary tetap mempertahankan penguasaan atas IAT, seiring upayanya mengembangkan bisnis transportasi.[10] Malah, Hary kemudian membawa IAT go public di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada 13 September 2006, dengan melepas 25% saham ke publik dengan harga penawaran Rp 130.[11][12] IPO ini menjadikan IAT sebagai perusahaan penerbangan pertama di Indonesia yang go public.[13] Di tahun 2007, kepemilikan Bimantara atas IATA berpindah ke induknya, PT Bhakti Investama Tbk lewat PT Global Transport Services,[14] meskipun kemudian akan terdilusi karena konversi hutang.[15] Hal tersebut terjadi seiring rencana Bimantara pada Maret 2007 yang akan melepas kepemilikannya di IAT ke pihak lain.[16]
Gagalnya upaya Hary mengakuisisi Adam Air, membuat IAT mulai diproyeksikan untuk menjadi maskapai penerbangan kargo dan komersial berjadwal.[17] Alasannya, IAT sudah menorehkan catatan yang baik, seperti merengkuh 25% pangsa pasar penerbangan charter dan memiliki 15 armada. Hal tersebut diklaim bisa mendongkrak pendapatan perusahaan menjadi Rp 452 miliar di tahun 2011.[18] Pada 20 Juni 2008 izin penerbangan berjadwal (AOC-121) berhasil didapatkan,[19] meskipun baru efektif dioperasikan pada 2012-2013, dengan berbasis di Bandara Husein Sastranegara, Bandung dan menargetkan pasar ekonomi premium.[20] Sayangnya operasional penerbangan berjadwal komersialnya hanya berumur pendek, meskipun sudah memiliki pesawat besar seperti Fokker 50, ATR 42 dan Airbus A320.[21][22]
Diversifikasi usaha
Memasuki periode 2010-an, selain kegagalan bisnis komersial, IATA juga dihinggapi problem berupa menurunnya kontrak dari industri migas sebagai klien utamanya, sehingga perusahaan sempat memutuskan menjual armadanya yang tidak digunakan.[23] Maka, upaya perluasan bisnis pun dilakukan. Pada tahun 2012, perusahaan mendirikan PT MNC Infrastruktur Utama, yang bergerak di bidang pembangkitan listrik, proyek infrastruktur (jalan raya, tol, pelabuhan, dll), dan lainnya.[24] Proyek pertamanya adalah pembangunan dua pelabuhan batu bara di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.[25] Ditargetkan nantinya 40% pendapatan perusahaan akan berasal dari bisnis barunya. Penambahan fokus bisnis membuat nama perusahaan berganti menjadi PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk pada 7 November 2013.[26]
Meskipun per 2015 pelabuhan batu baranya sudah beroperasi,[1] namun hingga 2017 perusahaan masih mencatatkan kerugian.[27] Hingga 2021, rapor merah tersebut seakan tidak beranjak, sehingga IATA telah mengalami kerugian selama 13 tahun berturut-turut.[28] Akhirnya, pada 2021 Hary Tanoe memutuskan merestrukturisasi dan menambahkan cakupan bisnis perusahaan ini. Pada 2 September 2021, bisnis utama PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk di bidang penerbangan dipisahkan (spin-off) ke perusahaan tersendiri yang baru didirikan bernama PT Indonesia Air Transport.[1] Tahun sebelumnya (20 Desember 2020),[29] IATA mengakuisisi saham PT Global Maintenance Facility (GMF), sebuah perusahaan yang didirikan di tahun 2008 dan bergerak di bidang jasa layanan pemeliharaan pesawat.[30] Akuisisi GMF diklaim mampu menekan biaya perusahaan dalam mereparasi pesawatnya.[31]
Pemisahan bisnis penerbangan itu dilakukan seiring upaya perusahaan menjadi perusahaan induk dan investasi yang bisnisnya utamanya bergerak di bidang energi berupa pertambangan batu bara.[32] Di tahun yang sama, pada tanggal 1 Desember 2021, perusahaan ini menandatangani kesepakatan akuisisi perusahaan pengelola pertambangan batu bara PT Bhakti Coal Resources (BCR) yang dikuasai PT MNC Asia Holding Tbk dalam transaksi senilai US$ 140 juta, yang selesai dilakukan pada 23 Februari 2022. BCR didirikan pada 15 April 2010 dan memegang sejumlah perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan batu bara di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan seluas 72.000 ha. Saat diakuisisi BCR memiliki produksi tahunan 4,2 juta metrik ton. Selain itu, pada Maret-April 2022 IATA mendirikan PT Bhakti Migas Resources, yang kemudian mengakuisisi PT Suma Sarana yang mengelola sebuah blok migas di Papua Barat bernama Blok Semai III. Di tahun tersebut juga didirikan PT Bhakti Nickel Resources, yang sesuai namanya akan bermain di pertambangan nikel.[29] Dengan cepat, bisnis pertambangan tersebut menjadi sumber pendapatan utama perusahaan (96%), sedangkan persentase layanan penerbangan turun drastis menjadi kurang dari 5%.[1]
Untuk meresmikan perubahan bisnis itu sejak 10 Februari 2022 nama PT Indonesia Air Transport & Infrastructure Tbk diganti menjadi PT MNC Energy Investments Tbk.[33] Selanjutnya, pada Oktober 2022, MNC Energy Resources mengadakan rights issue senilai Rp 2,67 triliun[34] untuk membiayai akuisisi-akuisisi diatas. Pasca rights issue, sekitar 44,09% saham IATA kini dikuasai oleh PT MNC Asia Holding Tbk,[29] suatu perubahan dari sebelumnya dimana entitas MNC (PT Global Transport Services) hanya memiliki 7,5%.[1] Dengan reposisi bisnis ini MNC Energy berkomitmen untuk menjadi pemain utama di industri, melaksanakan kegiatan operasional yang berkualitas dan bertanggung jawab, serta berinvestasi di berbagai proyek yang dinilai bermanfaat untuk mendukung bisnis dan meningkatkan perekonomian daerah dengan menciptakan lapangan kerja baru.
Manajemen
Presiden Komisaris/Independen: Hamidin
Komisaris: Hartono Tanoesoedibjo
Komisaris: Christoporus Taufik
Presiden Direktur: Herry Suparman
Wakil Presiden Direktur: Agustinus Wishnu Handoyono
Saat ini tidak semua bisnis usaha pertambangan MNC Grup dikonsolidasikan dalam perusahaan ini. Di bawah PT MNC Asia Holding Tbk, masih ada PT MNC Energi yang memegang 51% saham[35] PT Nuansacipta Coal Investment (diakuisisi 2013),[36] yang memiliki hak konsesi pertambangan batu bara di Samarinda, Kalimantan Timur.[37] Direncanakan PT Nuansacipta akan dikonsolidasikan dalam IATA nantinya.[38]