Lawang Sekepeng adalah atraksi silat dari suku Dayak Ngaju dari provinsi Kalimantan Tengah. Lawang artinya pintu atau gapura dan sakepeng berarti satu keping. Lawang sakepeng sering diperagakan pada upacara adat baik untuk menyambut tamu maupun acara perkawinan. Gapura Lawang sakepeng biasanya dibuat dari kayu dengan lebar kurang lebih 1,5 meter dengan tinggi 2,3 m, bagian atasnya di ukir dengan tanaman rambat dan hiasan burung enggang, bagian sisi sampingnya dihiasi dengan janur atau daun kelapa muda serta telawang (perisai suku Dayak).[1]
Sejarah
Pencak silat menjadi dasar dari kebanyakan atrkasi Lawang sakepeng. hal ini konon di pengaruhi oleh budaya dari luar yang dibawa oleh para pedagang yang masuk ke kawasan Kalimantan. Pengaruh gerakan tersebut antara lain adalah gerakan mirip bela diri dari dataran Cina, maupun silat dari Sumatera dan Jawa. Awal muasal nenek moyang Suku Dayak dahulu mengadopsi gerakan dan tingkah laku hewan dalam belajar silat, yaitu terinspirasi dari hewan endemik yang banyak dihuni dihutan yaitu beruk yang disebut bangkui oleh Suku Dayak. Perkembangan silat ini akhirnya menjadi sebuah tradisi kesenian yang terus mengalami perkembangan, hingga kini tak hanya menjadi gerakan bela diri namun juga sebagai bentuk kesatria nagi laki-laki yang akan melaksanakan pernikahan. Dan kemudian berkembang menjadi atraksi seni budaya dalam menyambut dan menghormati tamu yang hadir dalam sebuah upacara adat. Tradisi Lawang sakepeng memiliki nilai adat dan agama yang kental, atraksi Lawang sakepeng dalam acara pernikahan bertujuan memeriahkan dan menyambut kedatangan pengantin laki-laki juga untuk menjauhkan segala rintangan dan musibah yang dapat dialami calon suami-istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga.[2]
Aturan permainan
Atraksi Lawang sekepeng diiringi oleh alat musik pengiring yaitu berupa 2 (dua) buah gendang manca, 1 (satu) buah garantung atau biasa disebut gong suku Dayak. Tradisi pencak silat yang ditampilkan dalam tradisi Lawang sakepeng merupakan perpaduan antara seni bela diri dan gerakan-gerakan tari tradisional suku Dayak, seperti tari kinyah atau tari perang. Atraksi dilakukan oleh dua orang berbeda sisi, dipisahkan oleh gapura, pasangan pesilat itu mewakili pihak laki-laki dan perempuan. Mereka saling beradu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencapai tujuan bersama.[3] Para pesilat berusaha memutus rintangan yang di pasang di Lawang sakepeng yang berbentuk gapura dan diberi 3 utas rintangan benang, pada benang penghalang dibuat berbaris 3 dari atas ke bawah dan dipasang bunga agar kelihatan indah dan menarik. Dilakukan oleh dua lelaki dewasa yang memiliki kepandaian bermain silat, namun sekarang ada yang menggunakan empat orang lelaki dewasa yang saling berhadapan dengan formasi 1 lawan 1 atau 2 lawan 2 dari kedua belah pihak laki-laki dan perempuan. Agar pihak laki-laki dapat masuk dan menikahi calon istri maka harus mampu melewati Lawang (gapura) yang diberikan tali pemisah, nah tali ini yang harus diputuskan oleh para penari sakepeng. Dengan kemahiran bermain silat itu, para pemain harus paham cara dan trik kapan waktunya untuk menyerang serta memukul lawan tanpa mengakibatkan cedera dan mampu pula menangkis serangan lawan. Pemain Lawang sakepeng harus memutuskan tali pemisah tadi adalah pemain dari pihak mempelai laki-laki. Filosofi benang pertama adalah menggambarkan putusnya halangan marabahaya yang terdapat dalam hidup dan kehidupan berkeluarga, tali kedua menggambarkan putusnya hubungan yang tidak baik antara keduanya untuk melakukan aktivitas berumah tangga, sedangkan tali ketiga adalah memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan maut.[4]
Pakaian
Pakaian adat dalam atraksi Lawang sakepeng biasanya menggunakan pakaian adat Dayak Ngaju, yaitu berupa rompi dari kulit kayu yang disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut ewah. Saat ini rompi sudah dibuat dari kain berwarna coklat muda seperti warna asli kayu. Bagian kepala menggunakan ikat kepala (salutup hatue) untuk kaum lelaki dan (salutup bawi) untuk perempuan, dan menggunakan giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu. Bahan-bahan aksesoris biasanya dari biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang yang dirangkai menjadi kalung, gelang terbuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras. Corak hiasan pada baju biasanya gambar pohon, daun, akar pohon dan harimau, warna hitam dari jelaga dan warna putih dari tanah putih, warna kuning dari kunyit dan warna merah dari buah rotan.[5]