Aksara-aksara baji ditorehkan pada lauh-lauh tanah liat basah dengan menggunakan gerip yang lazimnya terbuat dari sejenis gelagah (kalam). Setelah ditulisi, sebagian besar lauh-lauh ini hanya dikeringkan dengan cara dijemur atau diangin-anginkan, sehingga tetap rapuh. Lauh-lauh tanah liat yang tidak dibakar ini dapat direndam dalam air dan didaur ulang menjadi lauh-lauh baru. Sebagian dari lauh-lauh bertulis dibakar dalam tanur (atau kebetulan ikut terbakar bersama rumah penyimpanannya, baik yang terbakar secara tidak disengaja mupun yang sengaja dibakar dalam konflik) sehingga menjadikannya keras dan tahan lama. Kumpulan dokumen-dokumen lempung ini merupakan arsip-arsip paling pertama. Lauh-lauh ini merupakan cikal-bakal dari perpustakaan-perpustakaan perdana. Puluhan ribu lauh bertulisan, termasuk pecahan-pecahannya, telah ditemukan di Timur Tengah.[2][3]
Dalam peradaban Minoa/Mikena, tulis-menulis belum dimanfaatkan untuk berbagai keperluan selain menghitung. Lauh-lauh tanah liat dimanfaatkan sebagai label, terbukti dengan adanya bekas anyaman keranjang pada sisi belakang, sementara sisi depannya menampilkan semacam ringkasan tahunan, yang menyiratkan adanya suatu tata cara perhitungan yang canggih. Di wilayah peradaban ini lauh-lauh tanah liat tidak pernah dengan sengaja dibakar, karena tanah liatnya akan diolah kembali setahun sekali untuk dipergunakan lagi. Sekalipun demikian, beberapa lauh "terbakar" sebagai akibat dari kebakaran pada bangunan-bangunan penyimpanannya. Lain daripada itu adalah lauh-lauh tanah liat yang tidak dibakar, dan benar-benar rapuh; beberapa cendekiawan modern sedang menyelidiki kemungkinan untuk membakar lauh-lauh itu sekarang, untuk membantu pelestariannya.
Juru Tulis
Tulis-menulis pada zaman Mesopotamia kuno bermula sebagai tanda-tanda hitungan, kadang-kadang bersama tanda tertentu yang dipahami dengan baik, berupa sebuah citra gambar sederhana yang diukirkan pada kayu, batu, tembikar namun lebih sering ditorehkan pada keping-keping tanah liat. Dengan cara itu, hasil penghitungan jumlah barang dapat dicatat. Cara yang disepakati bersama ini bermula ketika masyarakat mengembangkan pertanian dan menetap dalam komunitas-komunitas permanen yang berpusat pada pasar-pasar atau gelanggang dagang yang terorganisir dan terus-menerus membesar[4] Di pasar-pasar ini orang memperdagangkan biri-biri, biji-bijian, dan ketul-ketul roti, tiap-tiap barang dagangan ini dicatat pada kepingan tanah liat. Keping-keping tanah liat ini mula-mula sangat kecil dan terus-menerus dipergunakan sejak zaman prasejarah Mesopotamia, 9000 SM, sampai permulaan zaman sejarahnya sekitar 3000 SM, tatkala pemanfaatan tulisan untuk pencatatan diadopsi secara luas.[4]
Lauh-lauh tanah liat pun digunakan oleh juru-juru tulis untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa yang berlangsung semasa hidupnya. Alat yang digunakan juru-juru tulis ini adalah gerip yang ujungnya diraut membentuk segitiga yang tajam, menjadikannya mudah meninggalkan bekas pada permukaan lempung.[5] Lauh-lauh tanah liat itu sendiri bermacam-macam warnanya seperti putih tulang, coklat, dan hitam arang.[6] Selanjutnya piktograf mulai tampil pada lauh-lauh tanah liat sekitar 4000 SM, dan setelah tata tulis aksara baji Sumeria semakin berkembang, muncul pula aksara separuh silabis yang canggih sekitar 2500 SM yang dapat digunakan untuk mengabadikan cara berbahasa setempat, yakni pertuturan sehari-hari khalayak ramai.[6]
Bangsa Sumeria menggunakan apa yang disebut sebagai “piktogram”.[4] Piktogram adalah lambang yang menyatakan gagasan akan suatu gambar, yakni logogram, sebagai arti dari sebuah kata. Tulisan perdana juga bermula di Mesir kuno dengan menggunakan apa yang disebut sebagai hieroglif; aksara hieroglif awal dan beberapa aksara Tiongkok adalah contoh-contoh lain dari piktogram. Bangsa Sumeria kelak beralih menggunakan kuneiform (dari dua kata Latin: cuneus yang berarti baji, dan forma yang berarti bentuk) atau aksara baji dalam bahasa Indonesia (terjemahan dari kata Belandaspijkerschrift), yang menambahkan lambang-lambang fonem, yakni silabogram.[5]
Penggunaan lauh tanah liat
Lauh-lauh tanah liat digunakan untuk mencatat mitos-mitos, dongeng-dongeng, esai-esai, kidung-kidung pujian, kata-kata mutiara, sajak-sajak kepahlawanan, hukum-hukum, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan.[6] Lauh-lauh tanah liat memungkinkan orang untuk menuliskan apa dan siapa yang penting menurut mereka. Salah satu contoh kisah-kisah hebat itu adalah Hikayat Gilgames. Hikayat ini mengisahkan tentang air bah yang menghancurkan Sumer. Ramuan obat dan resep masakan yang sebelumnya tidak dikenal dapat terwujud berkat lauh tanah liat. Beberapa dari resep masakan ini adalah rebusan, yang berbahan daging kambing, bawang putih, bawang, dan susu masam.
Komunikasi menjadi semakin cepat karena sudah ada cara untuk mengirim pesan seperti surat. Lauh-lauh tanah liat berisi informasi penting dan bersifat pribadi disaluti selapis tanah liat lagi agar pesannya tidak dibaca orang lain. Cara-cara berkomunikasi seperti ini digunakan selama lebih dari[6] 3000 tahun dalam lima belas bahasa yang berbeda-beda. Orang Sumeria, Babilonia, dan Ebla, semuanya memiliki perpustakaan lauh tanah liat sendiri.
Evolusi tulisan pada lauh tanah liat
Begitu cara tulis-menulis Sumeria pada lauh tanah liat umum digunakan, sebagian pihak mulai mengeluhkan lambang-lambang kata Sumeria yang memang terlampau rumit untuk dikuasai. Tidak semua orang mampu mengartikan tanda-tanda itu, dan orang pun menginginkan adanya suatu sistem tulis yang sederhana tetapi dapat digunakan untuk mengirim pesan. Orang Elam, Hurri, dan Ugarit kemudian meniadakan lambang-lambang kata Sumeria dari tata cara tulis mereka. Lauh-lauh yang ditemukan di selatan Baghdad terdiri atas karya-karya sastra, kamus-kamus, doa-doa, ramalan-ramalan, dan catatan-catatan astronomi yang masih tersusun pada tempatnya masing-masing. Kesulitan mengartikan lambang-lambang kata Sumeria ini justru membuka peluang bagi orang Ugarit untuk menciptakan abjad yang pertama.[6] Lauh yang konon memuat 32 aksara baji telah ditemukan di Suriah dan berasal dari sekitar 1450 SM. Bangsa Mesir justru lebih maju lagi dengan menjadi orang-orang paling pertama yang memiliki sistem tulis sendiri. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mereka menggunakan “hieroglif” bukannya abjad yang lazim. Hieroglif adalah kata Yunani yang berarti “tulisan suci”. Aksara Mesir Kuno disebut demikian karena orang Mesir percaya bahwa pengetahuan merupakan anugerah dari dewa-dewa mereka. Ada dua jenis hieroglif: logogram dan fonogram. Logogram mewakili gagasan sedangkan fonogram menitikberatkan bunyi sehingga sangat mirip dengan abjad.
Tulisan perdana
Lauh-lauh Tărtăria, peninggalan Peradaban Sungai Donau, mungkin tetap yang lebih tua, karena setelah dilakukan pengukuran umur melalui melalui metode tidak langsung (melakukan uji karbon atas tulang-tulang yang ditemukan dekat lauh-lauh itu) diperkirakan lauh-lauh itu berasal dari masa sebelum 4000 SM. Hasil uji karbon pada lauh-lauh itu sendiri menunjukkan masa yang jauh lebih kuno, yakni sekitar 5500 SM, tetapi penafsiran hasil uji karbon ini masih kontroversial karena lauh-lauh itu dibakar dalam tanur sehingga unsur karbonnya pun berubah.[7]
^Cuneiform Digital Library Initiative memberi angka perkiraan sebesar 500.000 untuk jumlah keseluruhan lauh (atau pecahan-pecahan lauh) yang telah ditemukan.