Kuntjung (EYD: Kuncung; Lahir di Surakarta 1903 - wafat di Jakarta 2 Juli 1983[1]) adalah seorang pemain film dan pelawak yang bertubuh kecil-pendek, sederhana dan simpatik. Kuntjung awalnya aktif dalam kroncong dan tonil sebelum terjun ke layar lebar. Di tahun 1950 ia memulai debut filmnya Djembatan Merah atas ajakan Fred Young. Setelah itu ia muncul lagi dalam berbagai judul film seperti Bintang Surabaja 1951, Mirah Delima, Kumala Dewa Dewi, dll.
Biografi
Kuntjung dilahirkan dalam kalangan famili Tionghoa pada tahun 1903 di Solo, Jawa Tengah. Ia mempunya riwayat yang tersendiri dibandingkan dengan rekan lainnya: ia terlampau sederhana buat boleh dibanding renteng dengan rekan-rekannya. Tetapi iapun terlalu erat untuk diasingkan dari kawan-kawan itu. Kuntjung yang sekarang masih tetap kuntjung yang dahulu juga, yang menjadi lawak-lawak di atas panggung sandiwara, di dalam film dan di dalam kehidupan sehari-harinya.
Nama sendiri ialah Kwik Tjien Pang putera dari Kwik Kim Bie, salah seorang pedagang arang di Solo juga. Di kala baru berusia 12 tahun, orang kecil itu ditinggal oleh ayahnya dan hidup dalam pemeliharaan kakak tirinya. Belum pernah ia duduk belajar dalam bangku sekolah, tetapi kekerasan hatinya mendorong kepadanya untuk belajar sendiri bahasa Indonesia dan dia berhasil mencapai cita-citanya itu. Tatkala berusia 14 tahun dia memisahkan diri dari ibu dan kakak tirinya serta seorang adik kandungnya. Ia menuntut hidup sebagai buruh di toko meratjangan dengan hanya gaji beberapa rupiah setiap bulan plus makan dalam. Gaji sebesar itu ternyata tidak menjadi halangan untuk dia belajar terus dan kerajinanannya dalam membaca buku-buku cerita serta harian-harian membawanya kepadanya setingkat demi setingkat memanjat taraf yang lebih tinggi.
Sejak kecilnya ia merupakan kanak-kanak yang jenaka diantara kawan-kawannya, baik dalam menyusun kata-kata, maupun dalam gerak-geriknya. Oleh karenanya ia banyak dimintakan bantuan untuk pertunjukan-pertunjukan amateur yang diselenggarakan buat tujuan amal dan dari situlah dia mulai penghidupannya dalam kedudukan yang lebih baik. Sedikit waktu sebelum pecah perang dunia II ia bekerja selaku verkoper keliling dari toko Tjan Kok Thay, salah sebuah toko batik di Solo. Tetapi darah seniman tak mungkin dihalaukan daripada jiwanya dan di dalam kesibukan pekerjaannya itu, masih tetap ia mengabdikan dirinya pada pertunjukan-pertunjukan sandiwara amateur untuk keperuan amal.
Diwaktu pendudukan Jepang di indonesia, di mana banyak toko-toko batik terpaksa menggulung tikar, buat kesekian kalinya Kuntjung lari ke dunia seni dengan membentuk sebuah organisasi musik yang diberi nama KWIK. Mula-mula orang yang mendengar nama organisasi itu mengira nama familinya KWEE, tetapi secara jenaka ia menerangkan adalah bukan, melainkan Kroncong, Weerkoose, Indonesia, Kampung. Di situlah ia mulai berjuang hidupnya semata-mata dari hasil seni.
Tetapi belum pernah ia melupakan pekerjaan-pekerjaan amalnya. Demikianlah ketika pecah revolusi Indonesia, sering ia dengan rombongannya itu membuat pertunjukan-pertunjukan Kroncong di Kebumen, Boyolali dan tempat-tempat lainnya yang pendapatannya dipersembahkan untuk membiayai ongkos-ongkos perjuangan BPRI cabang Jogjakarta.
Sebelum itu, ia telah mendapat pekerjaan pada sandiwara Bintang Surabaya (jaman pendudukan Jepang) yang dipimpin oleh Fred Young dan ia berhasil menawan hati publik. Sejak itulah ia menjadi “Kembang bibir” kanak-kanak dan penonton dewasa karena kejenakaannya yang tidak tengik. Waktu berhubungan dengan keadaan jaman, Bintang Surabaya dibubarkan, Kuntjung kembali pulang kandang ke Solo. Baru kira-kira dalam tahun 1948 kembali ia terjun ke dunia sandiwara Pantjawarna di bawah pimpinan Djamaluddin Malik. Rombongan ini dalam tahun itu juga “menyelundup” ke Surabaya: tetapi dapat dicium oleh kaki tangan Belanda dan seluruh anggota rombongan Pantjawarna mendapat huisarrest dalam grand hotel di Surabaya. Akhirnya rombongan kembali ke daerah pedalaman berikut Kuntjung sekalian. Percobaan kedua untuk masuk ke dalam daerah pendudukan belanda dengan tidak memakai surat resmi telah dicobanya lagi kira-kira dalam tahun 1949 dan buat kedua kalinya kuntjung belajar kenal dengan tangan besi tentara Belanda di Malang yang terkenal ganas. Tetapi atas tanggungan dari Fred young dengan perantaraan Lie Boen Gie, dapatlah dia dimerdekakan setelah menderita beberapa hari dengan tidak berdosa.
Kemudian tatkala semi documentair film Djembatan Merah dibuatnya, kembali pencinta Kuntjung melihat kepadanya di layar perak. Sekali itu sebagai tukang catut di Pasar Turi, Surabaya. Lalu menyusul film-film, Bintang Surabaya 1951, Damarwulan dan sekarang dalam film Merah Delima. Dalam sepanjang itu, ia tetap merupakan lawak-lawak yang gayanya senantiasa menggelikan hati penonton. Setelah itu ia muncul dalam film-film Bintang Surabaya 1951 (1950), Mirah Delima (1951), Kumala Dewa Dewi (1952), Putri Solo (1953), Adios (1954), Tamu Agung (1955), Neng Atom (1956), Bunga Samurai (1958), 50 Megaton (1961).
Demikian Kuntjung menerangkan kepada wartawan. AAS pertanyaan pun diterangkan bahwa nama Kuntjung itu ia dapatkan ketika ia memberi sebuah Tusssennummer (selingan) dalam salah satu pertunjukan amateur di Solo.[2]
Ketika karirnya di film mulai merosot, kembali Fred Young hadir sebagai dewa penolong yang memberinya sebuah rumah dan modal, yang dipergunakan Kuntjung untuk berjualan nasi gudeg. Pada tahun 1973 diajak main dalam Sebatang Kara, menyusul film Kuntilanak (1974), Putri Solo (1974) dan Aku Mau Hidup (1974). Sebagai seniman tiga jaman, dia mendapat piagam penghargaan dari Pemerintah Daerah Jakarta Raya, 1971.[3]