Korps Tempur Sukarelawan (国民義勇戦闘隊code: ja is deprecated , Kokumin Giyū Sentōtai) adalah unit pertahanan sipil yang dipersenjatai. Direncanakan pada tahun 1945 oleh Kekaisaran Jepang sebagai tindakan putus asa terakhir untuk mempertahankan kepulauan Jepang terhadap proyeksi Sekutu selama invasi Operasi Downfall ('Ketsugo Sakusen') pada tahap akhir Perang dunia II.
Pada bulan Maret 1945, kabinet Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengeluarkan undang-undang yang menetapkan pembentukan unit-unit pertahanan sipil yang tidak bersenjata, Korps Sukarelawan (国民義勇隊code: ja is deprecated , Kokumin Giyūtai), dengan dukungan dari partai politik 'Taisei Yokusankai', 'Partai Pemuda Jepang Agung' dan 'tonarigumi' (semacam rukun tetangga). Unit-unit ini dibentuk pada Juni 1945.
Kokumin Giyūtai bukan kombatan, tetapi unit kerja untuk pemadam kebakaran, produksi makanan, dan evakuasi. Semua warga sipil pria berusia antara 12 hingga 65 tahun, dan wanita berusia 12 hingga 45 tahun adalah anggotanya. Mereka menerima pelatihan teknik pemadaman kebakaran dan pertolongan pertama dasar.
Reformasi sebagai milisi
Pada bulan April 1945, kabinet Jepang memutuskan untuk mereformasi Kokumin Giyūtai menjadi milisi sipil. Pada bulan Juni, kabinet mengeluarkan undang-undang wajib militer khusus, dan menamakan unit-unit milisi ini sebagai Korps Tempur Sukarelawan (国民義勇戦闘隊code: ja is deprecated , Kokumin Giyū Sentōtai).
Kokumin Giyū Sentōtai akan diorganisir, jika unit pendaratan Sekutu sudah berada di dekat tanah air Jepang. Gubernur di setiap Prefektur dapat memerintahkan semua warga sipil laki-laki berusia antara 15 hingga 60 tahun dan perempuan yang belum menikah berusia 17 hingga 40 tahun untuk mengikuti wajib militer.[1] Komandan diangkat dari pensiunan personel militer dan warga sipil yang sudah berpengalaman menggunakan senjata.
Sesi pelatihan tempur diadakan, meskipun anggota korps terutama ditugaskan untuk mendukung tugas-tugas seperti konstruksi, transportasi dan pendistribusian.
Korps tempur sukarelawan dimaksudkan sebagai cadangan utama bersama dengan "garis pertahanan kedua" bagi pasukan Jepang untuk meneruskan perlawanan melawan pasukan invasi dengan taktik perang atrisi. Setelah invasi Sekutu, pasukan ini dimaksudkan untuk membentuk sel perlawanan atau perang gerilya di kota, daerah, atau pegunungan.
Kekuatan
Ada sekitar 28 juta pria dan wanita yang dianggap sudah "mampu bertempur" pada akhir Juni 1945, namun hanya sekitar 2 juta dari mereka yang direkrut pada saat perang berakhir, dan sebagian besar dari mereka tidak pernah mengalami pertempuran yang sesungguhnya karena Jepang telah menyerah sebelum Sekutu menginvasi Jepang. Pertempuran Okinawa terjadi sebelum pembentukan Korps Tempur Sukarelawan.[3] Pada saat itu, kurangnya persenjataan dan amunisi modern berarti bahwa sebagian besar dari para sukarelawan dipersenjatai dengan pedang atau bahkan tombak bambu.
Di Jepang, Korps Tempur Sukarelawan tidak pernah digunakan dalam pertempuran, kecuali di Sakhalin Selatan (Pertempuran Okinawa yang terjadi sebelum pertempuran resmi dimulai, dan Boeitai (semacam garda nasional memberlakukan wajib militer di sana). Unit sukarelawan serupa juga diorganisir di luar kepulauan Jepang yang digunakan dalam pertempuran. Unit-unit di Korea, Kwantung dan Manchukuo yang menderita banyak korban dalam pertempuran melawan Uni Soviet selama invasi Soviet ke Manchuria di hari-hari terakhir Perang Dunia II.[4]