Konstruksi relungKonstruksi relung adalah proses suatu organisme mengubah lingkungannya sendiri (atau spesies lainnya), terkadang tetapi tidak selalu dalam artian meningkatkan kesempatan bertahan mereka.[1] Beberapa ilmuwan biologi [2] berargumen bahwa konstruksi niche sama pentingnya pada evolusi sebagaimana seleksi alam (yaitu, tidak hanya lingkungan yang menyebabkan perubahan pada spesies lewat seleksi, tetapi spesies juga menyebabkan perubahan pada lingkungan mereka lewat konstruksi niche). Hal ini menimbulkan hubungan timbal-balik antara seleksi alam dan konstruksi-niche; dengan organisme mempengaruhi lingkungan mereka. Perubahan tersebut kemudian menyebabkan pergeseran tentang sifat-sifat apa yang sebenarnya secara alami merupakan suatu seleksi alam. Efek dari konstruksi niche secara khusus dikenalkan dalam situasi-situasi dengan perubahan lingkungan bertahan selama beberapa generasi, menyebabkan peran evolusi pada turunan ekologis. Perilaku-perilaku yang kurang drastis dari konstruksi-niche pada suatu organisme juga memungkinkan. Teori ini, bersamaan dengan seleksi alam, memperlihatkan bahwa organisme mewarisi dua peninggalan dari leluhurnya: gen dan lingkungan yang berubah. Bersama, kedua mekanisme evolusi ini menentukan kesesuaian suatu populasi dan adaptasi apa yang organisme tersebut kembangkan dalam rangka terus bertahan hidup. Contoh-contoh
ImplikasiKonstruksi niche memiliki banyak implikasi bagi ilmu manusia, lebih khususnya pada sosiobiologi manusia, evolusi psikologi, dan ekologi perilaku manusia. Teori evolusi standar hanya membolehkan proses kultural mempengaruhi evolusi genetis dengan menginfluensi individu, dan bergantung kepada kemampuan individu tersebut untuk bertahan dan mewariskankan gen mereka ke generasi berikutnya. Proses kultural dilihat hanya sebagai aspek dari fenotipe manusia dan tidak dipercaya berkonsekuensi terhadap evolusi manusia. Keberagaman kultural dipercaya merefleksikan variasi dalam lingkungan tempat populasi manusia yang berbeda berkembang di sana, dan tidak ada yang lain. Teori ini melebihkan fakta bahwa manusia dapat mengubah lingkungan pilihan mereka lewat aktivitas kultural, yang berakibat mempengaruhi seleksi. [6] "Proses kultural menambahkan pengetahuan kedua mengenai sistem turunan pada proses evolusi melalui informasi yang dipelajari secara sosial diperoleh, disimpan, dan disalurkan antara individu-individu keduanya terjadi dalam satu generasi dan antara generasi." [6] Dengan adanya bahasa pada kultur manusia mendatangkan peningkatan kapasitas mental. Hal ini membolehkan adaptasi manusia terhadap lingkungan menjadi proses belajar, tidak seperti spesies selain manusia, yang mana proses adaptasi mereka terjadi secara insting. Hal ini menghasilkan akselerasi lingkungan, perilaku dan modifikasi genetis. Seperti yang pendukung konstruksi niche Derek Bickertron tulis, "Kita dapat membentuk niche kita sendiri tanpa harus menunggu masukan terus menerus dari gen dan perilaku." [7] Teori dari koevolusi gen-kultur menyerukan hubungan integrasi yang lebih antara evolusi genetis dan proses-proses kultural daripada teori evolusi standar. Dalam model ini, aktivitas-aktivitas kultural dipercaya mempengaruhi proses evolusi dengan mengubah tekanan seleksi. Dengan kata lain, perubahan kultural memiliki kapasitas untuk mengarahkan evolusi genetis dari populasi mereka. Model matematik dan konseptual mengikutkan investigasi dari bahasa, penggunaan tangan, munculnya tabu inses, koevolusi turun temurun ketulian dan bahasa isyarat, dan seleksi seksual dengan suatu pilihan pasangan yang secara kultural ditransmisikan, memperlihatkan teori tersebut. Namun, teori ini masih bergantung kepada teori evolusi standar karena ia membutuhkan proses kultural yang hanya mempengaruhi gen secara langsung, tidak membolehkan faktor-faktor perantara dalam lingkungan untuk berinteraksi dengan proses-proses tersebut pada tingkat evolusi. Teori ini ada pada sistem turunan ganda yang hanya terdiri dari gen dan aktivitas kultural. "Sistem turunan ganda adalah suatu cara memasukan interaksi antara alam dan pertumbuhan dalam suatu sistem yang mudah diatur."[6] Dalam kebanyakan kasus teori ini bekerja secara baik, namun ada instansi-instansi yang aktivitas kultural membuat perubahan-perubahan dalam lingkungan abiotik yang mengakibatkan tekanan seleksi.[6] Pesatnya manusia mampu membentuk niche mengubah tekanan seleksi dan bisa saja evolusi genetis atau memajukan konstruksi niche sebagai hasilnya. [2] Sebuah contoh dari evolusi genetis lewat konstruksi niche dengan memasukan suatu faktor abiotik: Petani ketela di Afrika Barat membabat hutan untuk menanam, tetapi menyebabkan air menggenang yang menarik nyamuk dan meningkatkan wabah malaria. Hal ini menyebabkan suatu modifikasi terhadap tekanan seleksi bagi sel-sabit allele yang melindungi dari malaria. Perubahan secara evolusi semakin meningkat. Contoh dari pertumbuhan konstruksi niche: Manusia mengubah lingkungan lewat polusi. Efek-efek dari polusi diringankan dengan inovasi dan penggunaan teknologi baru. Respon kultural ini terhadap suatu konstruksi niche membuat suatu perubahan dalam lingkungan dan berkurangnya perubahan pada genetis. Hanya jika teknologi baru tidak diciptakan atau efektif maka perubahan secara evolusi terjadi. Manusia mampu menjaga keadaptasian mereka dengan merespon pada konstruksi niche leluhur lewat konstruksi niche kultural yang lebih jauh.[2] Tambahan konstruksi niche terhadap kajian dari proses evolusi memaksa ilmuwan menerima bahwa aktivitas kultural bukanlah alasan bagi manusia untuk mampu mengubah lingkungan mereka, tetapi sederhana karena upaya utama mereka melakukan hal yang sama yang spesies lain juga lakukan. Fakta bahwa sejumlah besar proses kultural dipelajari bukan secara genetis tertanam dalam individu, membuat kultur manusia sebagai metode konstruksi niche yang luar biasa kuat. "Seringkali, proses-proses kultural dapat dianggap sebagai jalan pintas untuk memperoleh informasi adaptif, saat individu-individu secara cepat belajar, atau diperlihatkan, apa yang dimakan, tempat tinggal, atau bagaimana menghindari bahaya dengan melakukan apa yang individu lebih berpengetahuan lakukan."[6] KonsekuensiSaat makhluk pindah ke niche baru, mereka dapat memberikan efek signifikan terhadap dunia di sekitar mereka. Konsekuensi pertama yang timbul dari konstruksi niche adalah bahwa organisme tersebut telah mengubah lingkungan tempat mereka tinggal. Contoh dari hal ini adalah semut pemotong-daun yang disebutkan di atas. Koloni-koloni pemotong-daun dapat berkembang menjadi berjumlah besar dan terdiri dari jutaan individu. Semut sejumlah besar tersebut membutuhkan persediaan makanan yang besar. Untuk menangani hal tersebut, semut butuh memasok setumpukan besar dedaunan untuk memberi makan tanaman jamur mereka. Hal ini bisa merusak kehidupan tanaman sekitar, terutama pohon-pohon muda yang membutuhkan semua cahaya matahari yang mereka bisa peroleh di hutan tropis. Konsekuensi lain adalah mereka dapat mempengaruhi tekanan seleksi alam terhadap suatu spesies. Burung adalah suatu contoh bagus dari konsekuensi ini. Spesies burung ini menjadi benalu bagi burung lain dengan menaruh telur mereka di sarang spesies burung lain. Hal ini menyebabkan beberapa adaptasi pada tekukur, salah satunya adalah pendeknya waktu inkubasi bagi telur mereka. Telur-telur tersebut harus ditetaskan terlebih dahulu supaya ibu burung dapat mendorong telur dari spesies lain keluar dari sarang, menjamin supaya tidak ada kompetisi bagi perhatian induknya. Adaptasi lain yang mereka peroleh yaitu si anak burung meniru suara beberapa anak burung muda, supaya induk membawa makanan tidak hanya bagi si bayi, tetapi bagi seluruh anak-anak. [The Negelected Process in Evolution 2] Catatan
Referensi
Pranala luar
|