Konsepsi jiwa Plato, yang diilhami oleh ajaran Socrates, mengajarkan bahwa jiwa (bahasa Yunani Kuno: ψῡχή, translit. psūkhḗ, har. 'nafas') merupakan esensi manusia yang menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Plato menganggap jiwa sebagai inkorporeal (tidak berwujud fisik) dan merupaka aspek abadi dari keberadaan seseorang. Plato mengatakan bahwa setelah kematian pun jiwa tetap ada; dia percaya bahwa saat tubuh fisik musnah, jiwa terus hidup dengan tubuh baru (metempsikosis) pada alam berikutnya. Plato membagi jiwa menjadi tiga aspek: logistikon (pikiran, akal), thymoeides (semangat, nafsu), dan epithymetikon (hasrat, syahwat).
Konsepsi Jiwa
Plato adalah orang pertama dalam sejarah filsafat yang percaya bahwa jiwa bukan saja esensi hidup manusia, tetapi juga esensi pikirannya.[1] Dalam naskah-naskah Plato, kita menemukan bahwa jiwa memainkan banyak peran, di antaranya pemberi kehidupan pada tubuh (banyak diungkap dalam Laws dan Phaedrus) dalam pengertian jiwalah yang menggerakan tubuh; pembawa sifat-sifat moral, di mana budi baik seseorang ditentukan; dan sebagai akal, di mana jiwa itulah yang berpikir.
Phaedo merupakan salah satu naskah yang banyak menjelaskan tentang jiwa. Namun, Phaedo juga memancing banyak perdebatan di kalangan para pengkaji Plato karena menghadirkan berbagai konsepsi jiwa yang berbeda-beda. Pada satu sisi, saat menjelaskan siklus kehidupan, jiwa ditampilkan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan gerak-hidup. Batuan, atau benda mati lainnya ataupun orang mati, tidak akan bergerak kecuali ada oknum lain yang menggerakkannya; tetapi makhluk yang hidup mampu bergerak sendiri. Plato menggunakan ilustrasi ini untuk menekankan bahwa jiwa adalah penggerak diri. Di sisi lain, saat menjelaskan rekoleksi, Plato menghadirkan jiwa sebagai aspek diri yang mengetahui.
Para pengkaji kesulitan untuk menjelaskan bagaimana kedua peran jiwa ini saling terkait satu sama lain. Sarah Broadie, yang dikenal atas kritiknya, mengatakan: "para pembaca Phaedo kadang-kadang mengikuti Plato yang mencampuradukan antara jiwa sebagai pikiran atau yang berpikir dengan jiwa sebagai yang menggerakkan tubuh."[2] Para pengkaji lainnya, seperti M. Crombie dan Dorothea Frede, juga berpendapat serupa.[3]
Para pengkaji mutaakhir telah menangkis tuduhan ini, dengan memberi alasan bahwa unsur kebaruan dari konsepsi jiwa Plato adalah menyatukan sifat dan potensi jiwa yang berbeda-beda yang kemudian mewarnai karakter filsafat Yunani Kuno dan filsafat Abad Pertengahan.[1] Bagi Plato, seperti argumen seorang pengkaji, jiwa menggerakkan tubuh melalui pikirannya, dan karenanya jiwa adalah aspek penggerak (yakni sebagai asas kehidupan di mana hidup dipahami sebagai gerak-diri atau self-motion) sekaligus aspek pemikir.[1]
Tiga Aspek Jiwa
Jiwa Platonis terdiri dari tiga bagian yang terletak di berbagai wilayah tubuh:[4][5]
- logistikon ( λογιστικόν ), atau logos, terletak di kepala, berhubungan dengan pikiran dan mengatur bagian-bagian tubuh lainnya;
- thumoeidés (θυμοειδές), atau thumos, terletak di dekat daerah dada, terkait dengan nafsu atau semangat; dan
- epithumetikon (ἐπιθυμητικόν), atau eros, terletak di perut, terkait dengan hasrat atau syahwat seseorang.
Logistikon
Pikiran atau logistikon (dari kata logos ) adalah aspek jiwa yang berpikir yang mencintai kebenaran dan berusaha mempelajarinya. Plato mengidentifikasi jiwa yang didominasi oleh aspek ini dengan sosok Athena.[6]
Plato menegaskan logistikon merupakan aspek paling sedikit dari jiwa (dibanding aspek-aspek lainnya), sebagaimana dalam sebuah polis pun yang mengatur negara hanya sedikit, tetapi jiwa dapat dideklarasikan sebagai merdeka hanya jika aspek-aspek lainnya setuju bahwa logistikon lah yang seharusnya memimpin manusia.[7]
Thumoeidés
Menurut Plato, thumoeidés (dari thymos) adalah aspek jiwa yang membuat kita marah atau sabar.[8] Dia juga menyebut aspek ini sebagai 'memiliki nafsu tinggi' dan mengidentifikasi jiwa yang didominasi oleh aspek ini seperti orang-orang Thrakia, Skithia, dan orang-orang di "wilayah utara" lainnya yang gemar berperang.[8]
Epithumetikon
Menurut Plato, epithymetikon (dari epithymia, diterjemahkan ke bahasa Latin sebagai concupiscentia atau desiderium) adalah hasrat-hasrat rendah seperti kepada makanan.[9]
Lihat juga
Referensi