Konsep Hagemoni Gramsci adalah gagasan yang berpusat pada pemahaman Antonio Gramsci mengenai hagemoni sebagai sarana kultural maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat, termasuk pada dasarnya tapi bukan secara kelas eksklusif penguasa, melestarikan dominasinya dengan mengamankan "persetujuan spontan" kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui penciptaan negosiasi konsensus politik maupun ideologis yang menyusup ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi.[1]
Yang membedakan Konsep Hagemoni Gramsci dengan konsep hagemoni oleh tokoh lainnya adalah Pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi kekuatan tertinggi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemekaian iistilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramsci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983).
Ada 3 tingkatan hagemoni menurut Gramsci, yaitu:
- Hegemoni Total
- Hegemoni yang ditandai dengan afiliasi masa yang mendekati totalitas, Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh
- Hegemoni Yang Merosot
- Menurut Gramsci pada tahap ini terjadi potensi disintegrasi atau potensi konflik yang tersembunyi dibawah permukaan, artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan dan sasarannya, namun mentalitas massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dan subjek hegemoni
- Hegemoni Minimum
- Hegemoni yang paling rendah tingkatannya, hegemoni ini bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomi, politik dan intelektual.
Lihat pula
Referensi
- ^ Strinati, Dominic (2010). Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. hlm. 254. ISBN 978-979-25-4653-8.